Oleh: Renals Y. Talaba, S.IP.,M.IP
Dosen Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora Universitas Halmahera
TAHUN politik, yakni pemilu serentak 2024 masih menyisahkan waktu kurang lebih satu setengah tahun lagi. Namun panasnya aroma persaingan politik di tingkat nasional oleh para bakal calon presiden yang saling berebut partai politik, sebagai pintu masuk menduduki jabatan publik, sudah mulai terasa tensi politiknya.
Begitu pula di tingkat daerah, wangi-wangian politik kandidat baik calon eksekutif (gubernur/bupati/walikota) maupun legislatif, sudah terasa aromanya yang diwangikan oleh para broker politik kepada pemilih. Hal itu terlihat dari fenomena pemasangan baliho politik dan atribut politik lainnya pada posisi jalan yang dianggap strategis untuk pemasaran politik.
Pemekaran propinsi, kabupaten/kota pada tahun 2004 dan dikuti dengan pemilihan anggota legislatif serta kepala daerah secara langsung, ditandai dengan dimulainya babak baru kehidupan politik dengan mengikutsertakan warga dalam kegiatan partisipasi politik pada setiap kontestasi politik lima tahunan, menggunakan kekuatan-kekuatan politik untuk menggalang dukungan massa.
Dalam konsep partisipasi politik, ada beberapa gejala politik yang secara fungsional mengandung muatan kebaikan bersama juga muatan kepentingan pribadi sebagai ciri manusia yang hidup dalam masyarakat yang membutuhkan sumber-sumber, seperti material-jasmaniah maupun yang bersifat ideal-spiritual. Tetapi kepentingan material-jasmaniah haruslah berjalan seimbang dengan kepentingan ideal-spiritual. Artinya kepentingan material-jasmaniah dalam bentuk uang, jabatan, dan lainnya jangan sampai mengorbankan kepentingan ideal-spiritual seperti kejujuran, kesejahteraan, keadilan, keluhuran budi dan perdamaian.
Secara umum dapat digambarkan bahwa pada setiap masyarakat, penguasa berusaha mempertahankan kekuasaannya yang istimewa dalam politik. Upaya itu seringkali dilakukan dengan mencari pembenaran-pembenaran dalam bentuk ideologi, mitos nasional, ajaran agama, dan formula-formula politik lainnya. Maksudnya penguasa acapkali melakukan pembohongan atau setengah benar-setengah bohong untuk meyakinkan masyarakat, karena politik tetap merupakan the art of the possible.
Harold Laswel dengan menggunakan kacamata fungsional dalam mempelajari gejala politik, menyimpulkan proses politik sebagai masalah “who gets what, when, how”, atau masalah siapa mendapatkan apa, kapan dan bagaimana. “Mendapatkan apa” artinya mendapatkan nilai-nilai. “Kapan” artinya ukuran pengaruh yang digunakan untuk menentukan siapa yang mendapatkan nilai-nilai terbanyak. “Bagaimana” artinya dengan cara apa seseorang mendapatkan nilai-nilai.
Sejalan dengan itu, pendekatan kekuasaan melihat politik sebagai kegiatan mencari dan mempertahankan kekuasaan dalam masyarakat. Robson merupakan salah seorang yang mengembangkan pandangan tentang kekuasaan ini. Dirumuskan, ilmu politik sebagai ilmu yang memusatkan perhatian pada perjuangan untuk memperolah dan mempertahankan kekuasaan, melaksanakan kekuasaan, mempengaruhi pihak lain ataupun menentang pelaksanaan kekuasaan. Ilmu politik mempelajari hal ihwal yang berkaitan dengan kekuasaan dalam masyarakat, yakni sifat, hakikat, dasar, proses-proses, ruang lingkup dan hasil-hasil kekuasaan.
Selanjutnya dikemukakan bahwa kemampuan para pemimpin agama untuk mempengaruhi jemaat, agar melaksanakan ajaran agama tidaklah beraspek politik, hal itu karena tidak berkaitan dengan pemerintah atau calon pemeimpin pemerintah selaku pemegang kewenangan yang mendistribusikan nilai-nilai, melainkan menyangkut lingkungan masyarakat yang lebih terbatas. Namun, apabila konseptualisasi di atas diikuti, kemampuan para pemimpin agama untuk mempengaruhi cara berpikir dan mempengaruhi perilaku anggota jemaat, mengandung aspek politik.
Dalam mempengaruhi cara berpikir dan mempengaruhi perilaku politik, terjadi interaksi antara calon pemimpin (kandidat/produsen: penyedia kebijakan jasa layanan dan barang publik) dan pemilih (konsumen: penerima manfaat kebijakan). Dalam transaksi politik demikian, umumnya terjadi relasi informasi yang tidak seimbang dalam pasar politik, sehingga manfaat transaksi politik lebih banyak didapatkan oleh produsen (kandidat) dan konsumen (pemilih) biasanya menjadi pecundang. Kondisi pasar politik yang tidak seimbang, sering memunculkan konflik. Menurut Ramlan Surbakti, konflik politk disebabkan karena kepentingan. Kepentingan tersebut mengarah kepada kepentingan ekonomi, melalui sarana kekuasaan politik.
Dengan adanya otonomi daerah, politik dianggap sebagai sebua alternatif solusi, disamping menjadi pemimpin politik untuk mengatur dan mengusahakan kebaikan bersama di tingkatan lokal, politik juga diyakini sebagai solusi memaksimalkan kebutuhan material-jasmaniah dan mendapatkan pengaruh. Tak jarang, agama dan moral biasanya dijadikan sebagai alat untuk mendapatkan kekuasaan, selanjutnya melupakan akibat dari kegagalan politik yang dapat memicu lahirnya konflik.
Secara operasional, biasanya terdapat dua subjek yang terlibat dalam konflik politik, jika diasumsikan menurut ekonomi konvensional. Pertama, ditinjau dari aspek penawaran (supplay), yakni pusat kekuasaan yang dipilih (elected centers of power) dan pusat kekuasaan yang tidak dipilih (non elected centers of power) yaitu calon kepala daerah, calon anggota legislatif dan birokrat; kedua, pada sisi permintaan (deman) aktornya ialah pemilih (voters) dan kelompok-kelompok penekan/kelompok yang berkepentingan.
Pusat kekuasaan akan memperluas kekuasaannya, untuk memaksimalkan keuntungan dari jabatannya sekaligus ingin mengontrol kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang lebih luas. Dengan kata lain, hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat, ingin dikendalikan oleh pusat kekuasaan, karena menguntungkan secara ekonomi maupun politik. Sedangkan pemilih akan memberikan suara untuk mendapatkan kebijakan yang diinginkan, sementara kelompok-kelompok penekan/kelompok yang berkepentingan akan mengelola sumber daya yang dipunyai untuk memperoleh keuntungan yang diharapkan. Selanjutnya jika dalam penanganan aspirasi dan kepentingan politik pihak-pihak yang terlibat tidak dikelola secara seimbang, hal ini juga dapat memicu lahirnya konflik. Pertanyaannya, siapa yang bertanggung jawab jika konflik sosial dan politik benar-benar terjadi?
Dalam kontestasi politik yang jarang disadari kemungkinan yang melekat otomatis, yakni kegagalan politik. Bahwa kontestasi tidak dapat dilakukan secara sederhana/simple. Kegagalan politik bisa dideskripsikan bahwa tujuan konsolidasi dan intervensi aktor politik secara konsepsional sangat bagus, tetapi adanya rintangan-rintangan politik dalam operasionalnya menyebabkan kemungkinan untuk mencapai tujuan mengalami kegagalan. Kegagalan politik inilah yang patut diwaspadai, yang jika tidak dikelola secara hati-hati dapat melahirkan sisnisme dan saling menyalahkan.
Sisnisme dan menyalahkan orang lain atau terhadap suatu institusi dapat menimbulkan konflik hingga perpecahan. Olehnya itu, dibutuhkan pula calon pemimpin yang bertarung, yang memiliki kepribadian, yang jika kalah tidak kecewa dan jika menang tidak memandang rendah pihak yang kalah. Dan/atau setidak-tidaknya dapat memposisikan diri sebagai penengah dalam menghadapi situasi dan kondisi tertentu akibat kegagalan politik.
Tidak dapat dipungkiri, pragmatisme politik di daerah ini, telah merubah perilaku elit dan warga daerah kepada perilaku politik seolah mengabaikan nilai, yakni perilaku yang kehilangan obsesi politik untuk berpikir bagaimana mengelola daerah dan kekuasaan untuk tujuan kebaikan bersama. Kecenderungan mengelola kekuasaan di daerah ini lebih berorientasi kepada kepentingan ekonomi individu atau kelompok.
Tidak jarang tujuan-tujuan sosialisasi politik bukan lagi mengedukasi warga daerah, melainkan sosialisasi politik yang bersifat indoktrinasi untuk tujan-tujuan berskala sempit. Menurut konsep elit politik, bahwa masyarakat manusia adalah bodoh, apatis, malas dan berjiwa budak. Kondisi tersebut sering digunakan oleh elit politik untuk memperkaya diri.
Menurut pandangan pendekatan behavioral, yang melakukan kegiatan bukan lembaga (yang tidak memiliki nilai dan kepentingan), melainkan elit yang memegang jabatan tersebut yang ternyata memiliki nilai dan kepentingan sendiri. Oleh karena itu, perilaku elit yang memegang jabatan pada lembaga tersebut yang dipersoalkan, bukan lembaganya.
Hal yang patut dilakukan oleh para politisi ialah melakukan sosialisasi politik yang mengedukasi, sehingga dengan berjalannya waktu, semakin dewasa usia suatu daerah, maka semakin dewasa pula sikap dan perilaku warga untuk turut berpartisipasi dalam politik, sebagai wujud masyarakat yang berbudaya politik yang menjunjung tinggi nilai, norma dan taat pada undang-undang atau hukum yang berlaku di negara ini.
Tidak bisa dipungkiri bahwa konflik yang terjadi yang melibatkan institusi GMIH bersamaan waktunya dengan kontestasi politik (pemilihan gubernur tahun 2013). Itu artinya, apapun metodologi dan strategi analisis naratifnya menyikapi persoalan tersebut, variabel kegagalan politik tidak bisa dieliminasi.
Oleh karena itu, untuk mengantisipasi konflik dalam kehidupan politik lokal, secara normatif kegiatan politik aktor/institusi setidak-tidaknya diformulasikan menggunakan konsep politik klasik yang melihat realitas ide-ide dan etika politik, yang tidak terlepas dari proses kehidupan sosial dan politik, khususnya dalam merumuskan tujuan yang hendak dicapai dan cara-cara yang ditempuh dalam mencapai tujuan.
Hanya dengan kesadaran moral etis, aktor politik dapat melibatkan diri dalam kegiatan politik pragtis sebagai respon kreatif terhadap peristiwa-peristiwa penting yang dihadapinya dalam kehidupan sosial dan politik untuk merepresentasikan kejujuran, keluhuran budi, keadilan dan perdamaian sebagai bentuk kepatuhan terhadap suara rakyat dan implementasi langsung dari kedaulatan rakyat, bukan menghalalkan segala cara mengikuti pemikiran politik Niccolo Machiavelli, yakni menjadikan agama dan moralitas untuk mencapai kekuasaan, dan setelah mendapatkan kekuasaan mengejar kekayaan dan kejayaan dengan mengabaikan kehendak rakyat.(*)