OpiniPolitik

PATRON KLIEN DAN POLITIK UANG DALAM PEMILU

×

PATRON KLIEN DAN POLITIK UANG DALAM PEMILU

Sebarkan artikel ini

Oleh: Renals Y. Talaba, S.IP.,M.IP

(Program Studi Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora Universitas Halmahera

Dilemma politik uang dalam setiap kontestasi pemilu merupakan implikasi dari pembangunan politik dan pembangunan ekonomi yang belum berpihak kepada warga masyarakat, yang menimbulkan kesenjangan sosial dan ketergantungan ekonomi. Jika digambarkan menggunakan piramida dan hirarki pelapisan politik, maka kelompok masyarakat yang menempati posisi tertinggi dalam piramida ditempati oleh sekelompok orang yang memiliki sejumlah sumber daya, dimana jumlah dari kelompok masyarakat tersebut sedikit sekali. Kelas ini dianggap memiliki kelebihan, baik dari segi politik, ekonomi, sosial dan budaya. Kelas tersebut misalnya, Presiden/wakil presiden, kepala daerah/wakil kepala daerah, mentri, sekda propinsi/sekda kabupaten/sekot. Kedua, posisi tengah piramida ditempati oleh kelas menengah, misalnya buruh, pegawai negeri, pegawai swasta, mahasiswa, dan lainnya. Ketiga, posisi bawah piramida atau dasar dari piramida ditempati oleh kelas bawah (petani, nelayan, buruh, tukang bangunan, tukang ojek, dll), yang sering dikenal dengan akar rumput.

Pada kelas kedua; kelompok masyarakat ini tidak memiliki “kekuasaan (power) seperti yang ada pada kelompok masyarakat pertama, yang sekaligus memiliki kekuasaan dan pengaruh. Secara kuantitas, jumlah kelompok masyarakat kelas dua (menengah) sedikit lebih terbatas namun lebih banyak dari kelas pertama dan lebih sedikit dari kelompok masyarakat kelas ketiga. Kelompok masyarakat ini (kelas menengah) tidak mengandalkan kekuasaan (power) seperti yang ada pada kelas pertama, namun mereka memiliki pengaruh (influence) dan sering berperan sebagai perantara politik dalam hubungannya dengan masyarakat pemilih.

Hal tersebut berbeda dengan kelas masyarakat yang digambarkan oleh Gaetano Mosca dalam Ramlan Surbakti, yang membagi masyarakat dalam dua kelas. Menurutnya, dalam setiap masyarakat terdapat dua kelas yang menonjol. Pertama, kelas yang memerintah, yang terdiri dari sedikit orang, melaksanakan fungsi politik, memonopoli kekuasaan dan menikmati keuntungan-keuntungan yang ditimbulkan dari kekuasaan. Kelas ini dinamainya dengan kelas elit. Kedua, kelas yang diperintah, yang berjumlah lebih banyak, diarahkan dan dikendalikan oleh penguasa dengan cara-cara yang kurang lebih berdasarkan hukum, semaunya dan paksaan.

Klasifikasi kelas masyarakat menurut Gaetano Mosca, hanya menggambarkan bahwa dalam sebuah pemerintahan terdapat kelas yang memerintah dan kelas yang diperintah. Klasifikasi ini jika digunakan dalam memahami dinamika kontestasi pemilu, daya analisisnya lemah. Argumentasinya, bahwa pada setiap kontestasi pemilu, patron tidak bertindak sendirian, tetapi menggunakan peran kelas masyarakat lainnya (masyarakat kelas menengah), yakni mereka yang dibawa pusat kekuasaan, yang sudah menyetujui consensus dasar elit. Peran kelompok ini biasanya menjadi perantara, menjadi jaringan penghubung dengan kelas masyarakat pada akar rumput.

Sementara itu, konsep patron klien berangkat dari asumsi teori pertukaran sosial George C. Homans bahwa orang terlibat dalam perilaku untuk memperoleh ganjaran atau menghindari hukuman. Relasi berdasarkan kesenjangan memungkinkan terjadinya ruang transaksi antar kepentingan yang bermuara pada kepentingan material, kekuasaan, kehormatan dalam relasi transaksional. Hubungan patron klien tidak dapat dilepaskan dari konsep tentang “power” (kuasa). Kekuasaan ini dilakukan dengan persetujuan bawahan atau setidaknya tanpa keberatan mereka dan tanpa penggunaan kekerasan.

Aspinall, mendefinisikan hubungan patron klien ini sebagai distribusi sumber daya material untuk tujuan tertentu yang memberikan manfaat politik dan secara khusus sumber daya material didistribusikan melalui jaringan klientelistik yang berbasis pada relasi kekuasaan personal. Sedangkan klientelistik menurut Hutschroft, diartikan sebagai relasi kekuasaan personal dengan status sosial yang lebih tinggi (patron) terhadap mereka yang mempunya status sosial yang lebih rendah dalam ikatan timbal balik (klien)..

Menurut Gallner dan Waterbury, politik uang hidup dalam situasi masyarakat yang berkarakter patron klien. Saat kelompok yang berkuasa atau memiliki keistemewaan tertentu (pattrons) memberikan uang atau pemberian lainnya sebagai imbalan atas kesetiaan pengikutnya (clients).

Praktek patron klien umumnya tumbuh subur di negara-negara berkembang, karena selama negara berkembang itu dibangun, sistem politik dan aspek keadilan politik dianggap masi rapuh sehingga manfaat dari kebijakan politik selalu berputar hanya pada sekelompok orang. Kondisi ini menyadarkan masyarakat bahwa pembangunan kesejahteraan yang ditawarkan membutuhkan komitmen membangun untuk rakyat, namun yang nampak nyata terlihat pada pandangan masyarakat adalah menumpuknya harta kekayaan pada sekelompok orang, yang relatif akan membentuk sebuah oligarki politik dan akan dipertahankannya melalui mekanisme pemilu dengan memanfaatkan kondisi masyarakat yang masi dicirikan dengan karakter patron klien. Cara-cara ini dianggapnya kurang layak, karena politik patron klient dan politik uang dianggapnya hanya mengandalkan hubungan “tidak seimbang (kesenjangan), yang pada dasarnya tidak membangkitkan kesadaran politik dan partisipasi politik otonom dari warga masyarakat. Secara faktual, fenomena partisipasi politik masyarakat pada setiap penyelenggaraan kegiatan pemilu, nampak terlihat yang ditampilkannya adalah dalam bentuk partisipasi yang dimobilisasi.

Dengan demikian, membawa serta moral politik dalam pemilu menjadi sebuah dilema. Untuk seorang calon, tentunya semakin banyak bermain (politik uang), mengharapkan semakin banyak mendapatkan suara pemilih, namun juga menimbulkan kekhuatiran adanya pengeluaran berlebihan dengan tujuan mengimbangi lawan politiknya tetapi hasilnya tidak diikuti dengan perolehan suara maksimal (untung-rugi dagangan politik). Jika seseorang calon tidak mengambil jalur dengan memanfaatkan situasi masyarakat berkarakter patronase klientelisme dan menghindari menggunakan jalur politik uang; masalahnya ukuran kebaikan seorang calon, umumny diukur oleh masyarakat pemilih berdasarkan jumlah uang atau barang yang dibagikan. Inilah dilema politik dalam kontestasi pemilu khususnya di negara-negara berkembang yang sedang membangun sistem demokrasinya yang dicirikan dengan keadaan ekonomi masyarakatnya yang dianggapnya masih jauh dari kata layak. Dalam beberapa periode diselenggarakannya kegiatan pemilu di Indonesia, seolah-olah kehadiran wakil rakyat pilihan langsung baik sebagai penyelenggara pemerintahan maupun sebagai corong politik, secara umum dalam mengawal kebijakan ekonomi, manfaatnya belum dinikmati oleh masyarakat. Dengan kondisi tersebut, kesadaran politik pemilih untuk menolak politik uang bahkan pada saat menghadapi pemilu, warga masyarakat tidak berhasil mendapat uang dari para calon, hal itu dianggapnya sebagai sebuah kerugian.

Hasil survei tentang pengaruh politik uang dalam pemilihan umum 2019 oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Hasilnya 40 persen responden menerima uang dari para calon, tetapi tidak ada pertimbangan memilih. Sementara 30 persen lainnya mengaku menerima pemberian uang dan ada pertimbangan untuk memilih. Selain itu, diajukan pertanyaan kepada tokoh atau elit yang menjadi responden. Hasilnya, 83 responden menilai pemilih mempertimbangkan politik uang, barang atau jasa dari calon legislatif atau partai politik pada saat memilih. Namun, ada 13 persen yang menyatakan hal tersebut tidak dipertimbangkan.

Sudah bukan menjadi rahasia umum, bahwa setiap penyelenggaraan pemilu, dari awal tahapan sampai berakhirnya pemilu selalu ada laporan politik uang , artinya sebagian besar masyarakat mengakui bahwa uang atau materi lainnya tidak terhindarkan dari kontestasi pemilu. Masyarakat menganggap politik uang bukan lagi sebagai hal yang tabuh, tetapi dianggapnya sebagai sarana untuk memperkenalkan kandidat terhadap masyarakat umum. Anehnya, ketika melihat kasus korupsi oleh pejabat negara, dianggapnya sebagai tindakan yang salah karena menyalah gunakan uang rakyat. Masyarakat tidak menyadari, bahwa politik uang dalam kontestasi pemilu merupakan awal bagi tindakan korupsi jika sudah terpilih.

Masalah seperti ini bukan sekedar hadir tanpa alasan, tetapi dasarnya manusia itu adalah  mahkluk yang bersifat unik, baik dalam memikirkan yang benar ataupun berpikir mengenai tindakan buruk yang akan dilakukannya. Artinya ide manusia itu tidak bersifat terbatas, dalam memikirkan tentang tindakan yang baik atau memikirkan tentang tindakan yang buruk untuk mendapatkan keuntungan maksimal dan yang bisa membatasi kebebasan manusia dalam alam demokrasi terkait dengan kegiatan penyelenggaraan pemilu, politik patron-klien dan politik uang adalah hukum politik melalui konstruksi sistem pemilu dan penindakan terhadap pelanggaran pemilu.

Terkait dengan pemilu, Scumpeter menjelaskan bahwa peranan pemilihan umum adalah untuk menghasilkan suatu pemerintahan atau suatu badan penengah lainnya yang pada gilirannya menghasilkan suatu eksekutif  nasional/daerah atau pemerintah. Oleh karena itu, secara normatif pemilu merupakan mekanisme untuk memilih orang-orang terbaik yang akan menahkodai dan mengawasi penyelenggaraan kegiatan pemerintah.

Sejalan dengan itu, dalam realitas kehidupan politik juga sering terjadi sejumlah masalah, misalnya sejak tahun 2004-2018, KPK mencatat ada 998 orang terlibat korupsi. Dari jumlah itu terbanyak adalah wakil rakyat, khususnya anggota DPR atau DPRD yaitu 247 orang. Tahun 2018, anggota DPR dan DPRD terjerat korupsi sebanyak 103 orang. Jajak pendapt litbang, dari 16 kota, hanya 45,1 persen responden yang menilai citra DPR baik pada Maret 2019.

Modus politik uang pada masyarakat yang dicirikan dengan patron klien, misalnya pendistribusian bantuan sosial menjelang pemungutan suara, acara-acara sosial yang dikemas dengan kehadiran calon yang menggunakan uang duduk, uang transportasi dan lainnya.

Secara umum, dengan fenomena patron-klien dan politik uang dalam peneyelnggaraan pemilu, kita juga diingatkan kepada Vicky Randals dan Lars Svasan, tentang pelembagaan partai politik, karena dianggap menjadi salah satu variabel pengaruh terhadap perilaku memilih masyarakat (variabel terpengaruh). Khususnya di Indonesia dengan mengacu pada Vicky Randals dan Lars Svasan, dapat dikemukakan bahwa keberadaan partai politik dianggap belum menampilkan aspek pelembagaannya menurut dimensi ideologis, sehingga pemilih sulit membedakan satu partai dengan partai yang lain. Akibatnya, perilaku memilih lebih ditentukan oleh hubungan politik patron-klien dan politik uang ketimbang platform partai.

Dengan demikian, menjadi pekerjaan rumah, pasca pemilu untuk para calon pilihan rakyat terpilih untuk melaksanakan pembangunan politik, yang menurut Myron Weiner dalam Ramlan Surbakti, menyebutkan tujuan itu sebagai integritas politik, pemerintah yang efisien, bersih dan berwibawa. Yang oleh Samuel Huntington, menyebut lima tujuan yang lain, seperti pertumbuhan ekonomi yang tinggi, pemerataan, demokrasi, stabilitas dan otonomi nasional. Pertumbuhan ekonomi didefinisikan dalam arti peningkatan produk total nasional (Gross National Product) perkapita (setidak-tidaknya lima persen pertahun).

Hal tersebut tentunya dapat diwujudkan hanya melalui mekanisme pemilu yang demokratis untuk memilih calon pemimpin yang punya kapasitas, kapabilitas, moralitas dan peduli kepada rakyat. Tujuan dari pembangunan politik yang diharapkannya yakni terjadinya pemerataan ekonomi dan perbaikan tingkat pendidikan masyarakat, sehingga kesenjangan sosial dan ekonomi yang menyuburkan praktek politik patronase-klentelime dan politik uang dapat berganti dengan politik akal sehat.(***)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *