Oleh: Endi Haryono
Pengajar pada Program Studi Hubungan Internasional dan Dekan Fakultas Humaniora, President University.
KEJUTAN akhir tahun, kalau layak disebut demikian, datang dari Washington. Kongres AS pada Rabu (18/12), mendukung dakwaan pemakzulan (impeachment) terhadap Presiden Donald Trump.
Kongres yang beranggotakan 435 orang itu mendukung dua artikel dakwaan pemakzulan Trump, penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power), dan menghalangi penyelidikan Kongres (obstruction of justice). Trump belum tentu akan lengser akibat dakwaan pemakzulan ini karena keputusan akhir akan ditentukan oleh dukungan 2/3 suara dari 100 anggota Senat.
Menyusul penyelidikan intensif lebih dari sebulan dan dengar pendapat publik maraton di Kongres pada dua pekan terakhir, Kongres melangsungkan pemungutan suara atas dakwaan Komite Kongres bahwa Presiden Tump telah menyalahgunakan kekuasaan dan menghalangi penyelidikan yang layak atas penyalahgunaan kekuasaan tersebut.
Sebagaimana telah banyak diberitakan, Trump pada Juli 2019, telah ‘meminta’ Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky melakukan penyelidikan mendalam atas Joe Biden untuk menemukan hal-hal negatif yang pernah dilakukannya pada masa lalu.
Trump tidak sekadar meminta, tepatnya menekan karena permintaan ini dikaitkan dengan realisasi komitmen bantuan keuangan dan militer AS terhadap Ukraina seperti dikuatkan kemudian oleh saksi-saksi pada dengar pendapat di Kongres.
Biden, tokoh yang diminta Trump untuk diselidiki dan kemudian hasil penyelidikannya diduga hendak dibocorkan ke publik via media sosial ialah Wakil Presiden Amerika Serikat di masa Presiden Barack Obama. Biden ialah salah satu kandidat Demokrat calon penantang Trump pada Pilpres November 2020.
Skandal ini segera mengingatkan campur tangan Rusia pada Pilpres 2016, yakni pembocoran email pribadi Hillary Clinton, kandidat Demokrat pesaing Trump. Sebuah ‘skandal Rusia’ yang menjadi salah satu penyebab kekalahan Hillary.
Pada pemungutan suara atas tuduhan penyalahgunaan kekuasaan, 234 anggota mendukung, 197 menolak, dan 4 abstain. Pada pemungutan suara atas tuduhan menghalangi penyelidikan, 229 anggota mendukung, 198 menolak, dan sisanya tidak memberikan suara.
Anggota Demokrat sepenuhnya mendukung pemakzulan Trump. Anggota Republik menolak, hampir semuanya, hanya satu yang mendukung, itu pun hanya pada tuduhan pertama. Independen sebagian besar berada di kubu Demokrat mendukung pemakzulan Trump.
Pembelahan Pemilih
Mereka yang menonton proses pemakzulan Trump live di televisi mencatat dua hal menarik yang ditonjolkan media. Pertama, wajah Trump yang memerah padam menyaksikan keputusan yang boleh jadi telah diantisipasi dia dan pendukungnya di Partai Republik. Meski seminggu sebelumnya masih memperlihatkan sikap percaya diri yang cenderung pongah, Trump menghadapi apa yang tidak boleh dianggap ringan.
Kedua, suara Ketua Kongres Nancy Pelosi yang serak dan bergetar ketika memimpin sidang yang bersejarah ini. Ekspresi yang mencerminkan sekaligus kegeraman terhadap seorang presiden yang ‘tidak presidensial’ dalam standar demokrasi yang telah mapan dan ‘kurang memiliki empati pada warga terpinggirkan’ dalam standar jaminan sosial warga yang juga telah mengakar di AS.
Trump belum pasti dilengserkan Senat. Bahkan sebaliknya, diperkirakan bakal lolos dari pemakzulan. Trump sendiri menegaskan tidak akan mengundurkan diri menghadapi tuduhan pemakzulan ini.
Dalam sejarah AS, terdapat tiga presiden yang pernah menghadapi tuduhan pemakzulan: Andrew Johnson (1867), Richard Nixon ((1974), dan Bill Clinton (1998). Nixon (1974) memilih mengundurkan diri sebelum sidang. Nasib Trump tampaknya lebih dekat pada Johnson (1867) dan Clinton (1998), keduanya lolos dan dibebaskan dari dakwaan oleh Senat.
Dari 100 anggota, Republik menguasai 53 kursi, Demokrat memiliki 45 kursi, dan dua kursi lainnya independen. Kendati demikian, tiket untuk lolos juga tidak akan didapatkan dengan mudah. Dengan komposisi suara demikian, Republik masih membutuhkan dukungan tambahan 14 kursi.
Pembelahan pemilih dan politik di AS, sebagai kelanjutan Pilpres 2016, juga berimplikasi pada pilihan anggota Senat pada pemilihan setelah pilpres. Semakin banyak anggota Senat terpilih yang berafiliasi dengan parpol dan semakin kecil jumlah anggota dari independen. Pembelahan juga telah mewarnai Senat yang beranggotakan dua senator wakil terpilih dari 50 negara bagian di AS.
Dalam kondisi semacam ini, Senat sulit diharapkan menjadi penjaga yang kompeten atas nilai-nilai dan prinsip-prinsip konstitusi AS seperti pemakzulan ini.
Pemakzulan sendiri ialah mekanisme politik yang lahir dari praktik demokrasi AS sebagai bagian integral dari pemerintahan republik demokrasi. Seorang presiden yang dipilih oleh rakyat dapat diberhentikan di tengah masa jabatan karena tindak kriminal atau pelanggaran serius terhadap konstitusi.
Kendati demikian, konstitusi AS juga mengatur bahwa tidaklah seorang presiden yang dipilih dijatuhkan dengan mudah. Diperlukan dukungan 2/3 suara di Senat untuk menjatuhkan seorang presiden yang tengah menjabat.
Menjadi Pelajaran
Pemakzulan Trump oleh Kongres dengan dukungan suara seperti dijelaskan di muka sesungguhnya merefleksikan dua hal. Politik AS yang terpecah sejak Pilpres 2016 belum sembuh dan berhasil direkonsiliasikan hingga sekarang, setelah hampir empat tahun kemudian.
Republik dan Demokrat memang mewakili pemilahan politik di AS, tetapi perpecahan pemilih yang terjadi sejak Pilpres 2016 ialah hal yang tidak pernah terjadi sebelumnya yang berlanjut hingga setelahnya. Model kampanye Trump dan Republik memang berkontribusi besar pagi pembelahan pemilih ini.
Trump, yang pada Pemilu 2016 terpilih, bisa disebut sebagai politisi Republik yang tidak diinginkan partainya sendiri atau republikan yang salah tempat, kini benar-benar telah mendapatkan dukungan penuh Partai Republik.
Di balik langkah-langkah politiknya yang sembrono dan membahayakan bagi negara-negara lain, Trump selama menjabat sukses menjaga pertumbuhan ekonomi AS. Trump bahkan berhasil mendapatkan keuntungan ekonomi bagi AS dari perang dagang yang sengaja dibuatnya dengan Tiongkok meskipun dalam beberapa hal merugikan negara sekutu AS sendiri.
Trump berhasil merangkul dan menyatukan Republik dengan platform kesamaan kepentingan ekonomi, bukan karena nilai-nilai keluarga dan nilai-nilai tradisional Amerika yang diadvokasikan Republik.
Sekali lagi, persidangan di Senat akan menjadi penting karenanya, bahkan seandainya Senat nantinya meloloskan Trump. Dampak terpenting pemakzulan ini berimbas pada politik AS yang tengah memasuki masa kampanye bagi pemilihan presiden pada November 2020.
Republik sudah positif tidak mengajukan calon di luar Trump. Namun, peristiwa ini bisa berpotensi mengurangi suara dukungan kepada Trump dan menumbuhkan kegaduhan baru di kubu Republik. Dampak global kasus ini, juga terhadap Indonesia, tidak terlalu signifikan.
Bagi warga dunia dan Indonesia, pemakzulan terhadap Trump oleh Kongres AS menjadi lebih sebagai tontonan menarik dan menghibur ketimbang peristiwa yang harus dikhawatirkan. Pasar saham dunia nyaris tidak mengalami gejolak karena peristiwa ini, juga nilai tukar rupiah dan mata uang lainnya terhadap dolar AS.
Apapun hasil akhirnya nanti, peristiwa ini harus menjadi pelajaran bagi para aktivis prodemokrasi di masa politik disrupsi dengan pembelahan rakyat berbasis agama dan politik identitas yang menghantui defisit demokrasi global.
Sistem politik demokrasi kehilangan daya tarik dan fungsi justru ketika warga dunia memiliki kemudahan akses informasi. Ini harus menjadi pelajaran untuk menguatkan demokrasi kita yang dalam banyak hal dibangun mengacu pada sistem politik dan demokrasi AS.(*)
Sumber: https://mediaindonesia.com/read/detail/279118-pemakzulan-trump-pelajaran-demokrasi