Oleh: Seto Mulyadi
Ketua Umum LPAI, Dosen Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma
BEBERAPA waktu lalu Polda Metro Jaya menangkap pelaku child grooming melalui aplikasi gim online. Pelaku dikatakan berhasil membujuk para korbannya untuk melakukan aksi porno dan kemudian merekamnya. Hal itu dilakukan berulang-ulang tanpa korban mampu menolaknya karena korban diancam akan disebarkan hasil rekamannya tersebut.
Rata-rata korban yang diincar pelaku ialah anak-anak perempuan belasan tahun. Kejadian ini semakin menguatkan keyakinan saya bahwa dunia maya tampaknya merupakan kawasan lintas batas yang begitu sempurna bagi aksi kejahatan. Terlebih kejahatan terhadap anak.
Internet ternyata memiliki daya pesona begitu istimewa berkat keandalan fitur-fiturnya dalam melayani perasaan ingin tahu anak-anak. Berkat internet, terlebih yang tersedia di gawai canggih, anak-anak pun masuk ke dunia petualangan penuh sensasi di tangan mereka. Tanpa harus berpanas-panas terkena terik matahari pula.
Di situlah anak-anak berselancar dengan begitu leluasa. Begitu bebasnya, sampai-sampai orangtua pun bisa angkat tangan karena tak kuasa lagi mengendalikan buah hati mereka. Gambaran tersebut sama sekali bukan dramatisasi situasi.
Saya menyaksikan sendiri bagaimana seorang anak, putra karyawan sebuah sekolah, dengan seragam SD di tubuhnya memilih untuk seharian ‘bersembunyi’ di bawah meja kerja orangtuanya. Sementara itu, teman-temannya asyik mengekspresikan perkembangan sosial mereka, anak yang satu ini setiap hari hanya berteman dengan gawai.
Di dunia daring pula orang-orang berpikiran jahat bisa bebas bergentayangan tanpa menunjukkan identitas asli mereka. Ketika mereka ingin mengincar anak-anak, para pelaku itu pun cukup bersandiwara sebagai sesama anak-anak atau menjadi orang yang menawarkan pertemanan.
Grooming behavior alias bujuk rayu menjadi modus yang semakin mudah diperagakan sebelum pelaku memangsa anak-anak. Faktanya, modus grooming pula yang sesungguhnya lebih banyak dimainkan pelaku, baik di dunia daring maupun dunia nyata.
Fitur-fitur semacam itu menjadikan kejahatan berbasis internet terhadap anak, bahkan sebagai kejahatan lintas negara. Kenyataan ini sesungguhnya tidak lagi terlalu mengejutkan, mengingat LPAI sudah berulang kali hadir saat Polri melakukan ekspos terkait penggerebekan prostitusi anak-anak dan jaringan LGBT dengan anggota tersebar di banyak benua. Itu semua berbasis daring.
Hukuman
Pelaku kejahatan seksual berbasis daring tentu harus dan akan dihukum. Namun, seberapa jauh piranti hukum yang tersedia saat ini relevan untuk dikenakan pada mereka? UU 17/2016 disusun dengan substansi tunggal, yaitu pemberatan sanksi bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak. Bermacam bentuk pemberatan sanksi tersedia di dalam UU tersebut. Yang paling sering diperbincangkan publik ialah hukuman kebiri.
Persoalannya, di mana relevansi kebiri bagi predator berbasis daring? Apalagi groomer tidak melulu melancarkan aksinya sebagai bentuk pembuncahan syahwat seksual. Groomer yang kemudian mengintimidasi korban bisa saja melakukan kejahatan bersifat seksual tanpa didahului motif seksual, melainkan motif ekonomi. Dia memeras korban agar melakukan perbuatan-perbuatan seksual, mendokumentasinya, lalu mengomersialisasikannya. Kebiri sebagai cara untuk meredam berahi seksual jelas tak ada faedahnya dalam kejahatan bermotif ekonomi tersebut.
Dalam khazanah hukuman bagi predator seksual, jenis pemberatan sanksi lainnya ialah pembatasan ruang gerak. Apabila pembatasan yang dimaksud ialah berupa larangan bagi pelaku untuk keluar dari radius sekian kilometer atau berkeliaran pada waktu-waktu tertentu, ini masih mungkin dilakukan. Akan tetapi, ketika predator berkelana di dunia maya, entah bagaimana cara pembatasan ruang gerak itu dapat ditegakkan.
Sebelumnya saya cukup sering merekomendasikan Polri untuk membuka identitas predator seksual, tak terkecuali predator daring. Saya berterima kasih bahwa kini, termasuk dalam kasus groomer asal Bekasi, Polri telah menginformasikan nama lengkap pelaku kepada publik. Pengungkapan nama pelaku saya harap nantinya juga disusul dengan ekspos foto dan karakteristik pelaku.
Namun, kini telah berkembang luas aplikasi pengubah wajah. Anak-anak pun menjadi akrab dengan aplikasi tersebut. Dihubungkan dengan predator berbasis daring, dikhawatirkan bahwa pengungkapan identitas pelaku kelak tidak akan lagi mujarab untuk menghambat kelakuan jahat para pelaku. Mereka bisa menyamar dengan memakai aplikasi-aplikasi pengubah wajah dan anak-anak bisa terkecoh olehnya.
Bertitik tolak dari persoalan-persoalan itulah saya agak sanksi akan manfaat UU 17/2016. Saya khawatir UU tersebut bisa-bisa menjadi semacam macan kertas karena sampai sekarang tidak kunjung ada pelaku kejahatan seksual terhadap anak yang dijatuhi hukuman kebiri. Apalagi ke depannya, entah kapan dan entah bagaimana UU 17/2016 bisa diimplementasikan terhadap predator seksual berbasis daring.
Berada di zona bahaya yang melampaui batas-batas teritorial semacam demikian, ditambah lagi dengan kebingungan untuk mengenakan hukuman yang tepat bagi pelaku, kita dihadapkan pada kenyataan bahwa perkembangan hukum tampak gontai jika dibandingkan dengan begitu lajunya perkembangan teknologi. Tak terkecuali teknologi yang mendukung kejahatan seksual berbasis daring atau pun pornografi anak berbasis digital.
Ketimpangan sedemikian rupa tidak hanya dijumpai di sini. Eggestein dan Knapp (2014) menyajikan secara rinci lini masa serupa di ‘Negeri Paman Sam’. Kedua ilmuwan itu mencatat kasus Roth versus Amerika Serikat pada pertengahan 1950an sebagai momentum penting penegakan hukum perlindungan anak di sana.
Pada sisi lain, kemajuan teknologi yang ditandai dengan terdaftarnya dot-com pertama baru berlangsung pada 1985. Teknologi tertinggal sekitar 30 tahun. Namun, saat perkembangan hukum perlindungan anak mulai stagnan pada tahun kelima sejak dimulainya milenium baru, kecanggihan teknologi justru berlari kencang hingga kini meninggalkan kemajuan hukum.
Optimisme, tak ada pilihan, tentu harus terus-menerus dipacu. Diiringi kerja-kerja hukum agar bisa tetap bertaji melindungi anak-anak Indonesia, termasuk dari bahaya kejahatan seksual berbasis daring ini. Memang itu tak mudah. Karena itulah, tanpa maksud menjadi klise, kita kembali harus mengingatkan diri sendiri dan diri anak-anak kita bahwa pencegahan merupakan langkah terbaik.
Pada dimensi pencegahan inilah, saya kembali ingin menggaungkan pentingnya pengarusutamaan isu perlindungan anak hingga ke lapisan keluarga. Untuk menggalangnya, akselerasi pembentukan Seksi atau Satgas Perlindungan Anak Tingkat Rukun Tetangga (Sparta) merupakan terobosan radikal yang semakin mendesak untuk dilakukan.
LPAI telah berinisiatif mendorong didirikannya Sparta di sejumlah titik di Tanah Air, seperti di Kota Tangerang Selatan, Kabupaten Banyuwangi, Kabupaten Bengkulu Utara, Kabupaten Bekasi, dan Jakarta Barat. LPAI telah memberikan pembekalan terkait kejahatan konvensional terhadap anak. Pembentukan Sparta harus jadi agenda penting sebagai sentra koordinasi pembangunan resiliensi masyarakat di era digital ini demi kepentingan terbaik bagi anak-anak di Indonesia. Semoga.(*)
Sumber: https://mediaindonesia.com/read/detail/250670-peran-rukun-tetangga-di-era-digital