Maluku UtaraOpini

POLITIK DINASTI DALAM KONTESTASI PEMILU (Sebuah Kajian Teoritis-Normatif)

×

POLITIK DINASTI DALAM KONTESTASI PEMILU (Sebuah Kajian Teoritis-Normatif)

Sebarkan artikel ini

Oleh: Renals Y. Talaba, S.IP.,M.IP

(Program Studi Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora Universitas Halmahera)

Politik dinasti cecara umum sudah lama dipraktekan di Indonesia. Artinya, setiap rezim pemerintahan demokrasi di Indonesia, sudah bukan menjadi rahasia umum lagi, setiap pemimpin selalu mewariskan kekuasaan politik kepada generasi penerusnya dari kalangan keluarga dan kerbatanya. Misalnya, presiden Megawati mewariskan kekuasaannya kepada Puan Maharani, presiden SBY kepada anak-anaknya, presiden Jokowi kepada anak-anak dan menantunya.

Di tingkat daerah, khususnya di Maluku Utara misalnya, politik dinasti juga sudah dipraktekan sejak adanya pemekaran provinsi yang diikuti dengan pemekaran beberapa kabupaten/kota serta dilanjutkan dengan diadakannya pemilihan kepala daerah dan pemilihan umum anggota lembaga legislatif. Di tingkat provinsi, dari gubernur Maluku Utara pertama pilihan rakyat (Taip Armain) hingga gubernur pilihan rakyat sekarang (AGK), cenderung mewariskan kekuasaannya kepada keluarga dan kerabatnya, begitu pula di tingkat kabupaten/kota, masing-masing kepala daerah terpilih cenderung mewariskan kekuasaannya kepada keluarga dan kerabatanya, baik di lembaga eksekutif maupun legislatif.

Terkait dengan itu, berkembang anggapan positif maupun negatif dalam pembahasan dan perdebatannya menyangkut gejala dari dinasti politik yang akan ditimbulkannya. Dari segi positif menurut aspek sistem demokrasi dan hukum, berkembang pandangan bahwa adanya larangan bagi keluarga petahana atau penguasa untuk ikut serta dalam kontestasi politik merupakan pelanggaran bagi hak asasi manusia dan pelangaran konstitusi warga negara.

Disamping itu, terdapat anggapan positif dalam politik dinasti bahwa memilih elit politik yang sudah mapan secara ekonomi akan meminimalisir terjadinya korupsi. Argumentasinya, orang yang sudah mapan secara ekonomi relatif tidak terlalu cenderung berpikir memperkaya diri karena dari awalnya sudah menikmati hasil kekayaannya. Kecenderungan mereka lebih banyak kepada membangun dan melayani warga masyarakat. Sedangkan orang yang belum mapan secara ekonomi, kemudian terjun ke dunia politik, ketika terpilih relatif akan lebih cenderung berpikir memperkaya diri sehingga pembangunan dan pelayanan kepada warga masyarakat bukan menjadi yang terdepan.

Selanjutnya, dari aspek sikap politik dan perilaku memilih, secara positif pemilih lebih mudah mengenal calon politik dinasti karena nama keluarga sudah familiar di kalangan masyarakat dan kebijakan yang dibuat patron politiknya sudah sedikit lebih banyak dirasakan manfaatnya, ketimbang yang lain dimana pemilih akan merasa lebih repot mengenal calon untuk dipilih.

Beberapa hasil studi dari para ahli di berbagai negara, bahwa kebangkitan dinasti politik memiliki hubungan sangat erat dengan kepentingan keluarga atau politik kekerabatan. Dalam tradisi politik kekerabatan, anggota keluarga yang sudah menjadi penguasa atau menduduki jabatan publik pada umumnya akan melakukan praktek nepotisme dengan memberikan berbagai perlakuan istimewa kepada anggota keluarga atau kerabatnya dalam rangka membangun dan memperkuat jejaring kekuasaannya. Dari sinilah kemudian muncul embrio dinasti politik.

Sehubungan dengan itu, Zulkieflimansya dalam Rizki Syafril, membuat kategori antara kekuasaan nepotisme dan politik dinasti, menurutnya nepotisme dalam kategori kekuasaan, yakni orang yang diangkat dari sanak famili dan kerabat disebut nepotisme. Sementara dalam kategori partai politik, yakni orang yang diangkat dari sanak famili dan kerabat disebut politik dinasti. Keduanya menyadarkan kekuasaan atas dasar keterkaitan darah atau keturunan baik untuk tujuan dominasi atau distribusi kekuasaan dengan pertimbangan profesionalitas, kapabilitas, dan integritas.

Berbeda dengan politik dinasti di negara-negara maju, yang menarik simpatik publik karena nama besar keluarga (seperti George Bus, Klinton dan Kenedy), di negara-negara yang demokrasinya sedang berkembang, politik dinasti dibangun di atas kekayaan dan jejaring kekuasaan. Secara negatif, politik dinasti setidaknya bertujuan untuk dua hal: pertama, dijadikan sebagai mekanisme untuk memupuk harta yang melimpah dan mempertahankan kekuasaan politik keluarga; kedua, dijadikan sebagai benteng untuk menutupi rekam jejak sejarah hitam dan koruptif yang dilakukan jaringan dinasti keluarga era sebelumnya.

Hal ini menurut banyak pihak, menimbulkan kekawatiran terjadinya distribusi kekuasaan dan representasi politik menjadi tidak seimbang yakni kekuasaan menimbulkan kekuatan. Kondisi ini mengingatkan kita kepada Mosca, bahwa setiap kelas menampilkan kecenderungan untuk menjadi turun-temurun, bahkan ketika posisi politik terbuka untuk semua, kedudukan keluarga penguasa akan dianugerahi berbagai keuntungan.

Gejala politik dinasti ini dipandang tidak baik oleh para ahli ilmu politik. Menurut Guritno dan Samundro, politik dinasti dianggap menghambat munculnya pemikiran dan gagasan baru dalam kepemimpinan pemerintahan. Kedua, gejala politik dinasti juga dipandang sebagai penghambat tumbuhnya pemimpin yang berkualitas dan inovatif, karena politik dinasti lebih cenderung menggunakan popularitas dalam menentukan pilihan pemimpin pemerintahan dari pada menggunakan kapasitas dan kapabilitas calon. Politik dinasti dianggap sebagai upaya orang-orang tertentu untuk menguasai pemerintahan dan berpotensi menjadi lahan tumbuhnya praktek korupsi dalam pemerintahan dan dalam pengolahan sumber daya alam di daerah tersebut. Penolakan terhadap politik dinasti juga didasarkan pada fakta bahwa politik dinasti tidak membawa kesejahteraan yang lebih baik dibandingkan dengan daerah lain yang tidak mengalami politik dinasti. Tumbuh berkembangnya politik dinasti selalu menjadi pro-kontra.

Terkait dengan hal tersebut, fenomena politik dinasti ini juga dipandang sebagai ketidak berhasilan pendidikan politik yang melahirkan kader-kader dari internal partai untuk memimpin di berbagai tingkatan dari pusat hingga daerah. Scumpeter menjelaskan bahwa peranan pemilihan umum adalah untuk menghasilkan suatu pemerintahan atau suatu badan penengah lainnya yang pada gilirannya menghasilkan suatu eksekutif  nasional/daerah atau pemerintah.

Mengacu pada peranan pemilu, menurut Kacung Marijan, penggunaan sistem demokrasi yang meskipun tidak selalu mudah diwujudkan, namun demokrasi diyakini banyak pihak merupakan jalan yang paling tepat, sesuai natur kemanusiaan yang menghendaki kesetaraan, kebebasan, dan partisipasi bersama untuk mewujudkan masa depan tata kelola kehidupan masyarakat dan bernegara yang lebih baik. Itu sebabnya berbagai upaya penataan kelembagaan sistem politik sebagai wujud demokratisasi dilakukan di berbagai domain kehidupan politik, mulai dari pelaksanaan pemilu, penataan lembaga-lembaga politik kenegaraan, pengaturan baru relasi pemerintah pusat dan daerah, penguatan kelompok-kelompok kepentingan dan lain-lain.

Sejalan dengan hal tersebut, terdapat suatu fenomena politik baik di pusat maupun di daerah, yakni adanya reproduksi kuasa bersama suami, istri, anak-anak serta kerabat, maka kekuasaan akan diwariskan secara tunggal. Praktek politik yang berkembang tersebut adalah naluri politik, yang memiliki arti penting bagi penguasa yakni tercapainya stabilitas politik yang kukuh, sambil mempertahankan kekuasaannya selama mungkin, memperluas dan menumbuhkan kekuasaannya pada setiap aspek kehidupan.

Naluri politik dalam mendapatkan kekuasaan, semuanya harus disalurkan melalui mekanisme pemilu/pilkada yang demokratis dan penuh perjuangan, karena hanya melalui kontestasi pemilu/pilkada, seseorang dapat menyalurkan hasratnya, ikut serta dalam perebutan kekuasaan dengan upaya dapat memenangkannya untuk menduduki jabatan publik. Pada dasarnya diselenggarahkannya pemilu dan pilkada sebagai upaya untuk mencari dan mencalonkan orang-orang terbaik yang diusung oleh partai politik dan jalur perseorangan, dengan harapan menghasilkan pemimpin-pemimpin yang memiliki kapasitas, kapabilitas, integritas, moralitas dan peduli kepada masyarakat.

Dengan demikian, politik dinasti atau non-politik dinasti dalam kontestasi pemilu, 14 Februari 2024 nanti, (memilih presiden/wakil presiden dan calon anggota legislatif), semuanya berpulang kepada warga masyarakat pemilih. Artinya, memilih menjatuhkan pilihannya kepada seorang calon dengan harapan mempertimbangkan kebaikan-kebaikan alami yang perna dibuat calon pemimpin di dalam kehidupan sosial masyarakat secara faktual. Argumentasinya sederhana, kebaikan-kebaikan alami seseorang yang perna disalurkan dan dirasakan oleh warga dalam kehidupan sosial sebelum terpilih, menjadi cermin politik bahwa watak tersebut aslinya akan dibawa serta dalam kiprahnya sebagai pemimpin nasional dan daerah, dengan catatan calon bersangkutan juga harus memiliki kapasitas, kapabilitas, integritas, moralitas dan peduli kepada masyarakat.(***)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *