OpiniPolitik

Politik Uang Patologi Demokrasi

×

Politik Uang Patologi Demokrasi

Sebarkan artikel ini

Oleh: Mutlaben Kapita

(Pemuda Adat Modole)

UANG bukan segalanya, namun segalanya butuh uang (money is not everything, but everything needs money). Dalam politik praktis pun demikian. Uang menjadi salah satu ukuran bagi calon untuk maju dalam kontestasi politik baik di level pusat maupun di daerah.

Untuk maju menjadi calon kepala daerah harus menyiapkan biaya politik dengan jumlah yang tidak sedikit. Berdasarkan survei KPK dan LIPI, biaya politik untuk calon Bupati atau Walikota berkisar Rp 20-30 miliar. Sementara calon Gubernur membutuhkan biaya politik sebesar Rp 100 miliar.

Biaya politik tersebut digunakan untuk mahar Partai, atribut kampanye dan biaya politik kampanye. Ada juga istilah ‘uang penenang’ di masa tenang dan ‘uang pengawalan suara’ pasca pemungutan suara.

Uang seolah jadi penentu kemenangan. Sehingga calon dengan biaya politik yang tinggi dinilai memiliki peluang menang lebih besar ketimbang calon dengan biaya politik yang minim.

Politik kita berbiaya tinggi karena orientasi Partai bak organisasi profit yang mencari untung disaat kontestasi politik. Demikian pemilih, kontestasi politik dijadikan ajang manfaatkan calon untuk kepentingan sesaat.

Sehingga, calon dengan biaya politik yang minim dituntut berupaya melobi donatur kecil maupun besar untuk menutup celah kelemahan dari sisi modalitas.

Donasi yang diberikan terhadap calon melalui deal-deal politik baik lisan maupun secara tertulis. Dan ini menjadi beban politik bagi calon setelah terpilih. Sebab dalam kebijakan harus memperhatikan kepentingan penyandang dana.

Kepentingan penyandang dana atau donatur dalam pendanaan pilkada biasanya: kemudahan perizinan terhadap bisnis yang telah ada dan akan dilakukan; kemudahan ikut dalam tender proyek pemerintah (pengadaan barang dan jasa); keamanan dalam menjalankan bisnis; kemudahan akses donatur atau kolega untuk menjabat di birokrasi dan BUMD; dan kemudahan akses dalam menentukan kebijakan atau peraturan daerah. Dari semua itu, sangat berdampak pada penurunan kualitas pembangunan untuk masyarakat (baca: donatur pilkada).

Jadi kerap terjadi benturan kepentingan. Karena di satu sisi mengurus kepentingan masyarakat, dan di lain sisi menjaga dan mengupayakan kepentingan penyandang dana. Sehingga mempengaruhi kinerja profesional kepala daerah yang seharusnya objektif dan imparsial.

Selain itu, potensi korupsi terbuka lebar karena niatan mengembalikan modalitas politik awal yang telah tersalur untuk mahar Partai, ke kantong-kantong pemilih pragmatis, harus terpulang berlipat ganda. Itulah kilas wajah demokrasi kita.

Penyelenggara Menjadi Target

Demokrasi digerogoti patologi politik uang yang begitu kental dan tampaknya sukar teratasi. Sebab, politik uang terjadi tidak hanya di tataran pemilih, namun masif juga terjadi di lembaga penyelenggara.

Penyelenggara pemilu menjadi target sasaran praktik politik uang. Karena penyelenggara baik KPU maupun Bawaslu dianggap lembaga kunci yang bisa mengubah perolehan suara calon: menambah atau mengurangi. Jadi perlunya mengamankan suara agar tidak terjadi pergeseran suara. Disnilah integritas penyelenggara di uji. Yang tidak berintegritas, biasanya dengan mudah disuap.

Seperti kasus pasca pemilihan legislatif, anggota KPU Bandar Lampung  dipecat DKPP karena terima uang dari Caleg sebesar Rp 530 juta. Juga terjadi di Makassar, 8 anggota PPK-PPS, KPU nonaktifkan karena menerima uang dari Caleg. Kasus serupa sering ditemukan di setiap helatan pemilu.

Integritas penyelenggara sering lesuh ketika dihadapkan pada tawaran-tawaran pragmatis oleh calon. Pada akhirnya, sebagian penyelenggara ikut melebur menjadi bagian dari pelaku pelanggengan politik uang.

Kampanye Berbasis Gagasan

Politik uang akan kian marak, apabila semua elemen yang terlibat dalam pemilu adalah bagian dari pelanggengan politik uang, terutama calon. Olehnya calon yang turut dalam kontestasi pilkada, sangat diharapkan ada kemauan pembaruan wajah politik yang serba transaksional ke arah yang demokratis.

Kampanye berbasis tawaran ide dan gagasan harus menjadi budaya politik dalam kontestasi pilkada. Apabila setiap calon memiliki prinsip politik demikian, maka kampanye menjadi ruang transformasi pikiran, karena diisi oleh gagasan yang hendak di aktualisasikan setelah terpilih.

Soal bagi-bagi uang mestinya dihindari. Karena kehadiran calon dalam kontestasi politik adalah menawarkan harapan serta membangun demokrasi yang berkeadaban. Sehingga di mulai dari cara-cara politk yang beradab. Bukan kehadirannya malah turut melucuti politik dan menyuburkan politik uang.

Gagasan harus menjadi marketing politik terhadap pemilih. Biasakan gaya kampanye tersebut sebagai budaya politik yang terus dibangun agar warga selaku pemegang daulat politik terbiasa dengan kampanye ‘tawarkan program, bukan bawa amplop’.

Tugas Pemilih

Pilihan politik pemilih harus terhindar dari praktik politik uang. Belajar dari pengalaman politik, uang yang diterima dari calon tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup meskipun hanya sehari.

Sementara calon yang terpilih dari hasil proses politik yang transaksional menikmati kekuasaan selama lima tahun dan selama itu abai dengan kepentingan masyarakat yang terdesak. Karena mandat poitik diberikan tidaklah murni dari hati nurani, namun karena dibarter dengan uang.

Sehingga, menyudahi praktik politik uang adalah penting dengan memilih calon atas basis kualitas, rekam jejak dan integritas. Kualitas calon dapat dinilai lewat visi-misi dan kemampuan menjelaskan program prioritas yang sesuai dengan kebutuhan daerah. Kemudian harus lihat rekam jejak calon. Jika calon sebelumnya adalah birokrat dan menduduki jabatan penting dalam birokrasi, nilai kinerjanya. Atau politisi yang pernah menjadi legislator, nilai kinerja selama menjabat. Juga calon yang dipilih harus memiliki integritas.

Terakhir, penyelenggara pemilu tetap menjaga integritas dan netralitas. Tidak terpengaruh dengan ajakan politik ala machiavelli (politik halalkan segala cara demi untuk berkuasa). Serta, awasi kampanye secara ketat agar tidak ada ruang bagi calon yang langgengkan politik uang. Pun bila ada temuan praktik politik uang, tindak secara tegas sesuai aturan yang berlaku. (***)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *