Oleh: Hodari Mahdan Abdalla
Pemerhati Pendidikan
SEANDAINYA Ki Hadjar Dewantara masih hidup, dia pasti akan menangis bila melihat karut-marut masalah pendidikan di negeri ini. Salah satu persoalan penting yang belakangan sempat menyita konsentrasi publik ialah status dan kondisi keberadaan guru-guru kita di sekolah, baik di tingkat dasar (SD) maupun menengah (SMP dan SMA).
Bila selama ini, institusi pendidikan kita hanya kerap mengeluarkan rapor para siswa, dalam tulisan kali ini, izinkan penulis membuka rapor para gurunya. Sejauh ini, penulis mengamati terdapat tiga problem utama yang sedang menimpa guru-guru kita di sekolah; kompetensi, fenomena guru honorer, dan komitmen kebangsaan.
Kompetensi
Indonesia memang dikenal sebagai negara yang kurang perhatian terhadap dunia pendidikan. Global Education Monitoring (UNESCO, 2016) mencatat, dari 14 negara berkembang yang disurvei, pendidikan di RI menempati peringkat ke-10. Adapun kualitas gurunya berada di ranking terakhir, urutan ke-14.
Temuan itu diperkuat rapor uji kompetensi guru (UKG) yang dilakukan tahun sebelumnya. Hasilnya mengejutkan. Rata-rata nasional nilai kompetensi guru hanya 44,5. Angka itu sama sekali jauh di bawah nilai standar (75).
Fakta itu merupakan konsekuensi logis dari lemahnya kualifikasi pengangkatan guru yang diterapkan selama ini. Kelemahan itu dapat menciptakan celah besar yang memungkinkan siapa saja merasa layak menjadi guru tanpa harus melewati uji kelayakan kompetensi secara ketat terlebih dahulu. Akibatnya, dari 3,5 juta guru yang tersebar di seluruh penjuru negeri ini, tak sedikit yang belum memiliki kelayakan kompetensi. Terbukti, 25% belum memenuhi syarat kualifikasi dan 52% belum mengantongi sertifikat profesi. Dampaknya pun sangat terasa. Guru menjadi profesi gampangan.
Padahal, kalau merujuk pada UU No14/2005 tentang Guru dan Dosen Bab III ‘Prinsip Profesionalitas’ Pasal 7, menjadi guru ialah profesi yang sangat berat. Salah satu bunyi butirnya, guru itu wajib (a) memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, dan idealisme. Pada butir (d), yaitu memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugas.
Melihat ketidakselarasan antara cita-cita ideal dan realitas kompetensi guru di atas, ini menunjukkan bahwa keseriusan para guru kita dipertanyakan. Ini menjadi kasus penting mengingat guru ialah tonggak utama dalam pelaksanaan sebuah proses pendidikan.
Guru Honorer
Sekitar 2 bulan lalu, berbagai media nasional sibuk meliput sebuah peristiwa–yang kalau boleh disebut sebagai ‘sangat memilukan’, yakni demonstrasi guru honorer. Tentu, itu bukan kali pertama. Hampir setiap tahun mereka menggelar unjuk rasa serupa menuntut dua hal: diangkat jadi PNS dan keamanan eksistensialnya dijamin negara.
Fenomena kemunculan guru honorer itu dapat dibaca sebagai dampak dari; pertama, sempitnya lapangan pekerjaan untuk para sarjana sehingga menimbulkan jumlah besar pengangguran sarjana. Berdasarkan laporan BPS selama Februari 2017 hingga Februari 2018, tingkat pengangguran terbuka (TPT) lulusan perguruan tinggi bahkan naik sebesar 1,13%, yakni dari 5,18% menjadi 6,31%.
Sebagian besar dari para pengangguran sarjana ini, akhirnya menyerbu instansi-instansi sekolah untuk mendapatkan aktivitas setelah lulus kuliah lantaran tak ada pilihan lain. Mengingat hanya instansi itu yang cukup longgar menerima mereka (baca: guru dianggap sebagai profesi gampangan). Sementara itu, perusahaan dan institusi profit lain menetapkan kualifikasi sangat ketat dan tentu susah mereka masuki.
Kedua, paradigma kultural yang berkembang di masyarakat terkait dengan status guru. Di mata masyarakat Indonesia, menjadi guru merupakan profesi terhormat yang menunjang status sosial seseorang di tengah masyarakat lingkungannya. Paradigma itu mengakar sejak lama. Hal itu terbukti dengan adanya tradisi penghormatan yang tinggi terhadap guru.
Sejarah mencatat, salah satu bentuk penghormatan masyarakat Indonesia terhadap guru tecermin dalam penggunaan panggilan khusus yang diberikan. Di daerah Sumatra, guru dipanggil ‘engku’ (untuk laki-laki) dan ‘encik’ (untuk perempuan). Di Jawa, dipanggil ‘ndoro’: sebuah panggilan yang diadopsi dari tradisi priayi.
Adapun untuk sekolah-sekolah berbahasa pengantar Belanda, seperti Hollands Indische, guru laki-laki dipanggil ‘meneer’, ‘juffrow’ untuk yang masih gadis dan ‘mevrouw’ untuk perempuan yang sudah menikah. Di zaman pendudukan Jepang berbeda lagi karena negeri para samurai saat itu sangat anti-Barat, berbagai simbol Belanda dilarang, termasuk soal cara memanggil guru. Jepang mengajarkan nama panggilan baru, yakni ‘sensei’.
Untuk kalangan santri, dari dulu sampai sekarang tak berubah. Mereka biasa memanggil gurunya dengan sebutan ‘kiai’ dan ‘gus’ atau ‘tuan guru’ untuk daerah Timur, seperti NTB.
Ragam sebutan guru itu–terlepas masih dipakai atau tidak–merupakan fakta sejarah yang tak dapat dibantah bahwa masyarakat Indonesia secara kultural sangat mengormati profesi guru. Mungkin tak asing lagi di telinga kita, guru kerap disebut sebagai ‘pahlawan tanpa jasa’. Menjadi guru sebuah kebanggaan. Maka tak mengherankan bila banyak sarjana memburu profesi itu, sekalipun harus menjadi guru honorer.
Jika hanya tekanan faktor ekonomi yang melatarbelakanginya, mereka (guru honorer) tentu beralih kepada profesi lain yang lebih menguntungkan. Namun faktanya, jumlah guru honorer justru kian bertambah. Terakhir, tercatat ada sekitar 1,5 juta jiwa.
Hal itu membuktikan bahwa faktor kultural juga berperan. Mahasiswa Indonesia yang baru saja diwisuda kerap kali merasa ‘gengsi’ untuk bekerja di tempat yang sama sekali dianggap tak berhubungan dengan dunia kampus, seperti berdagang, dan bertani. Maka dari itu, mereka lebih memilih menjadi guru honorer. Gaji kecil untuk sementara tak apa, yang penting terlihat kerja dan tak tercela.
Komitmen Kebangsaan
Dengan adanya pendidikan, generasi bangsa diharapkan bukan hanya memperoleh materi ajar, melainkan juga suntikan semangat kebangsaan. Tujuan itu ditegaskan dalam Pasal 20 Bab IV, UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen. Guru dituntut (e) memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan bangsa. Namun, realitasnya bertolak belakang. Survei Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) 2018 mencatat, 50% guru-guru kita sudah terpapar opini intoleransi dan 46,09% beropini radikal.
Temuan itu mengejutkan. Itu karena selain dua masalah di atas (kompetensi dan fenomena guru honorer), ternyata komitmen kebangsaan guru-guru kita pun bermasalah. Bahkan, 33% mengajurkan orang lain supaya ikut berperang mendirikan negara Islam dan 29% setuju untuk berjihad di Irak, Suriah, dan Filipina Selatan.
Ketiga persoalan di atas harus segera ditempatkan sebagai agenda besar bersama yang perlu dituntaskan dalam kebijakan pendidikan kita. Jika tidak, kualitas guru dan pendidikan semakin buram dan masa depan anak bangsa akan selalu menjadi taruhannya.(*)
Sumber: https://mediaindonesia.com/read/detail/235120-potret-buram-guru