Oleh: Vannesa Maharani Putri,
(Mahasiswa Universitas Andalas Jurusan Sastra Minangkabau)
Bicara mengenai nagari Sumpur Kudus merupakan sesuatu hal yang unik dalam benang sejarah Minangkabau. Siapapun tidak akan pernah menyangka, nagari yang berada di tengah hutan itu menyimpan lembaran-lembaran masa lalu yang dinamis. Sama halnya ketika banyak orang mengidiomkan nagari Sumpur Kudus sebagai negeri yang penuh misteri dan diliputi kekuatan magis. Suatu hal yang menarik, masyarakat Sumpur Kudus selalu terbuka dengan pengaruh-pengaruh yang datang dari luar.
Sumpur Kudus merupakan sebuah nagari yang memiliki lima buah Jorong terletak di Kecamatan Sumpur Kudus Kabupaten Sijunjung Provinsi Sumatera Barat. Pada era 1980, Sumpur Kudus masih berada di bawah Kabupaten Sawahlunto/Sijunjung. Nagari Sumpur Kudus dengan luas wilayah 8.800 Ha teletak pada posisi astronomi 0o – 26,49 o LS dan 100 o -54,29 o BT umumnya beriklim sedang dengan ketinggian 380 meter dari permukaan laut. Disebelah Barat dan Timur Sumpur Kudus adalah daerah perbukitan dan pegunungan, yang sebagian besar telah dimanfaatkan untuk tegalan/ladang.
Keadaan permukiman penduduk untuk setiap jorong-jorong yang ada di Nagari Sumpur Kudus memanjang dari Utara ke Selatan, yang dihubungkan oleh jalan Nagari sepanjang sembilan kilometer. Sumpur Kudus mempunyai sebuah sungai yang membujur dari Utara ke Selatan, yaitu Batang Sumpur dengan empat buah cabang yaitu; Batang Sumi, Batang Karangan, Batang Menganti dan Batang Sitaok.
Nagari Sumpur Kudus memiliki keindahan alam yang sangat indah sehingga membuat takjub orang ketika melewatinya. Jarak tempuh yang dilalui memang sangat jauh tapi pada saat perjalanan menuju nagari rasa lelah dan penat hilang karena kita disuguhkan dengan indahnya bukit barisan, bentangan luas sawah serta udara yang sangat sejuk. Selain itu juga nagari Sumpur Kudus memiliki makam yang dimana menurut sejarah makam tersebut merupakan makam raja ibadat. Raja ibadat ini adalah bagian dari Rajo Tigo Selo. Rajo tigo Selo merupakan sebuah kerajaan tertinggi dalam kerajaan Pagaruyung yang dalam tambo adat disebut Limbago Rajo. Rajo ibadat bepusat di Sumpur Kudus yang bertugas untuk mengurusi masalah syarak (agama).
Sebelum memasuki sumpur kudus ada bukit yang bernama lontiak. Saat kita berhenti disana disuguhkan dengan pemandangan yang indah. Menurut sumber-sumber tradisi lisan menyebut nama Sumpur Kudus berasal dari kata-kata Sumpah-Kudus (sumpah suci) dan Sempurna Kudus. Menurut kisah tradisi lisan yang senantiasa hidup dalam ingatan masyarakat, bahwa sebelum abad XIV Sumpur Kudus bernama Nagari Sungai Langsat Sungai Kehijauan. Asal nama awal nagari tersebut diambil dari dua buah aliran anak sungai yang mengalir yaitu dari arah Barat ke Timur ialah Sungai Langsat. dari arah Utara, ke Selatan ialah sungai Kehijauan.
Masih menurut tradisi lisan yang dipercayai masyarakatnya, bahwa Nagari Sungai Langsat Sungai Kehijauan merupakan simbol kerajaan tua di tanah Melayu, sebelum raja Minangkabau yang beragama Hindu dan diperintahi oleh seorang Raja yang mula-mula memancang nagari ini, yakni Raja Sekutu. Yang mempunyai beberapa orang pembesar, di antaranya: Datuk Hariyo, Puyu Bariyang, Salelo, Ujuh Rahman, dan Marwan Sani Marwan Salasi.
Adapun pada awal Nagari Sungai Langsat Sungai Kehijauan, sudah terbentuk sebuah taratak (dusun), yakni wilayah Koto Tuo. Wilayah Koto Tuo yang dimaksud adalah sawah yang terhampar luas, di Koto Selo dan di Koto Kaciek atau Calau (Jorong IV). Sementara itu, Koto Tinggi Koto Piabang adalah jorong Menganti (Jorong V). Menurut sumber tradisi lisan yang diyakini masyarakat, bahwa nenek moyang orang nagari Sungai Langsat Sungai Kehijauan berasal dari empat rombongan.
Proses kedatangan penduduk awal, menurut Mansur Dt. Paduko Rajo diperkirakan semasa kekuasaan Iskandar Agung atau yang dikenal dalam literatur Barat sebagai Alexander The Great raja dari kerajaan Macedonia (336-323 SM). Dirujuknya nama Iskandar Agung dalam versi historiografi tradisional di Minangkabau tentu bisa saja dipahami. Sebabnya antara lain, orang Minang selalu merujuk asal usul mereka berdasarkan kesadaran terhadap geografi sejarah, yakni Benua Ruhum, Arab, dan puncak gunung Merapi sebagai tempat terdamparnya kapal Alexander the Great. Demkian halnya dengan tambo asal usul suku yang pertama kali bermukim di Sumpur Kudus, juga merujuk proses kedatangan mereka bersamaan dengan kekuasaan raja Macedonia.
Menurut versi tambo Suku Domo, bahwa kedatangan rombongan pertama terdiri dua rombongan dengan perahu layar menjelajahi samudera. Rombongan pertama Suku Domo yang datang adalah Marwan Sani, Marwan Sarasi dan Ujuh Rahman, rombongan ini terkenal dengan keahlian dalam pelayaran dan membawa peralatan lengkap serta orang cerdik pandai. Dalam pelayaran ternyata air laut mulai surut, sehingga perahunya terdampar di bukit batu (Bukit Mancolak). Barisan kawasan Bukit Mancolak sampai kini, menurut Tambo Suku Domo, bukti sejarahnya masih ada.
Rombongan ini singgah dan mendiami daerah itu untuk dijadikan daerah kekuasaanya seperti Siparok Sipuah, Sitongek Simaru. Rombongan ke dua datang dari arah yang sama, yakni belahan benua Afrika dan Asia. Proses kedatangan rombongan ke dua masih dengan perahu menuju arah Barat Samudera Hindia. Mereka terdampar disebuah pulau yakni Pulau Sahilan India Selatan. Setelah ombak laut tenang, rombongan ini menuju arah Timur Sumatera mencari dataran tinggi untuk permukiman, rombongan ini adalah kaum Suku Melayu rombongan Datuk Hario, Silelo, dan Puyuh Bariang.
Setelah sampai didataran tinggi Sumatera, atau tepatnya dikawasan bukit Mancolak, ke dua rombongan itu bertemu dan tinggal bersama untuk sementara waktu. Rombongan ke dua ini juga membuat wilayah kekuasaan dengan daerah sebelah Barat Bukit Mancolak berbatas dengan Batang Siriau, Tanjung Bonai Aur, sebagian daerah ini dijadikan untuk perburuan dan sebagian untuk lahan.
Masyarakat Sumpur Kudus meyakini oral history yang diperoleh secara turun-temurun, bahwa setelah dinobatkan menjadi raja (1347), Adityawarman meninggalkan Dharmasraya menuju pedalaman Minangkabau beserta istrinya dengan menyusuri Hulu Batanghari hingga ke Batang Kaweh (Sinamar). Di Kumanis, Aditywarman diterima dengan baik oleh Tiga Ninik (tetua) dan Empat Ninik di Tanjung Bonai Aur, serta Raja Sekutu di Sumpur Kudus.
Aditywarman kemudian mendirikan kerajaan pertama di Tanjung Alam Nagari Kumanis. Adityawarman dinobatkan menjadi raja dengan gelar Sri Maharaja Diraja di Kubang Tigo Baririk Tanjung Bonai Aur. Kerajaan berkembang dengan nama Pagaruyung, nama Pagaruyung ini, menurut Herni masih bisa dibuktikan, yakni berupa makam yang dipercayai sebagai komplek kuburan anak Adityawarman beserta kuburan kepala buaya yang pernah memangsa putranya.
Setelah diterima dan menetap cukup lama, di sini Aditywarman menikahi seorang putri asal Sumpur Kudus, guna mempererat hubungan dengan daerah itu. Namanya Puti Pinang Masak yang kemudian melahirkan keturunan Raja Ibadat. Keinginan yang kuat untuk menjadi raja yang besar membawa Adityawarman sampai ke Sungai Tarab dengan mengaliri Batang Tampo. Adityawarman diterima dengan baik oleh Datuk Bandaharo. Di tempat ini terjadi peristiwa yang dinamai babungo satangkai, yaitu penyerahan kekuasaan secara simbolis kepada Adityawarman dari Datuk Suri Dirajo, Datuk Ketamanggungan dan Datuk Perpatih nan Sabatang.(**)
Halo kak saya iqbal, izin bertanya.
Mau minta tolong, minta refrensi yang kakak paki apa saja, mau cari tau kerajaan-kerajaan di sumpur kudus guna mencari silsilah.
Terimakasih