Oleh: Muhamad Arif Al Musri,
(Jurusan Sastra Minangkabau, Fakultas Ilmu Budaya, Unuversitas Andalas)
Bahasa sekarang lebih dari sekadar alat komunikasi di era globalisasi saat ini. Ini adalah bukti kedaulatan budaya dan identitas bangsa. Bahasa ibu yang diwariskan dari generasi ke generasi membawa nilai sejarah, tradisi, dan cara berpikir masyarakat. Namun, banyak negara menghadapi tantangan besar untuk mempertahankan bahasa ibu mereka di tengah arus globalisasi yang cepat. Bahasa asing, terutama Bahasa Inggris, semakin mendominasi berbagai aspek kehidupan, termasuk pendidikan, bisnis, dan bahkan diskusi akademik dan budaya. Fenomena ini tidak hanya terjadi di negara kecil atau berkembang, tetapi juga di negara besar dengan budaya yang beragam.
Indonesia, sebagai negara besar yang berbicara ratusan bahasa daerah, juga menghadapi masalah ini. Bahasa Indonesia, sebagai bahasa persatuan, sekarang bersaing ketat dengan Bahasa Inggris di kalangan pelajar, akademisi, dan profesional. Ironisnya, penggunaan Bahasa Indonesia sendiri sering kali diabaikan dalam upaya menginternasionalkan pendidikan dan budaya. Ini terbukti dalam pengalaman luar biasa saya mengikuti seminar internasional tentang “Bahasa Ibu” yang diadakan oleh sebuah lembaga. Perwakilan dari German, Italy, Cina, New Zealand, Amerika Serikat, India, Australia, Georgia, dan Kanada hadir di seminar tersebut.
Dengan sambutan hangat, seminar dibuka, mengangkat tema besar tentang pentingnya mempertahankan bahasa ibu sebagai yang menjadi keberagaman nasional di era global. Diharapkan acara ini akan menjadi kesempatan bagi Indonesia untuk menunjukkan cintanya pada Bahasa Indonesia dan Bahasa Daerah kepada dunia. Meskipun demikian, yang terjadi adalah sebuah paradoks yang menggelitik sekaligus mengejutkan. Dalam presentasi pertamanya, seorang pemateri asal Indonesia dengan percaya diri menyampaikan materinya dalam Bahasa Inggris penuh. Bahasa Indonesia tidak digunakan sepatah kata pun, kecuali untuk menyebut istilah budaya, nama tempat dan nama tokoh lokal.
Mungkin awalnya masuk akal bahwa penggunaan Bahasa Inggris ini dilakukan karena status acara sebagai seminar internasional. Namun, banyak peserta mulai merasakan kejanggalan karena topik yang diangkat adalah “bahasa ibu”. Seminar yang seharusnya menghormati bahasa lokal malah dilakukan dalam bahasa asing. Seorang peserta dari Australia dengan fasih mengajukan pertanyaan dalam Bahasa Indonesia saat sesi tanya jawab dimulai, yang membuatnya lebih lucu lagi. Selain itu, orang-orang dari India dan Georgia juga berbicara dalam Bahasa Indonesia, tetapi dengan aksen yang khas dan terbata-bata. Tepuk tangan keras dari hadirin menyambut upaya mereka, seolah-olah mengingatkan bahwa Bahasa Indonesia benar-benar layak dibanggakan di panggung internasional.
Banyak peserta lokal terlihat kagum dan terkejut. Beberapa bahkan berbisik satu sama lain tentang ironi situasi. Fakta yang lebih menarik adalah bahwa meskipun orang asing itu dengan semangat berbicara dalam Bahasa Indonesia, mayoritas peserta Indonesia tetap bertanya dalam Bahasa Inggris. Ada beberapa orang yang merasa canggung, tetapi terus menggunakan bahasa asing seolah-olah lebih “pantas” atau “profesional”. Beberapa orang tertawa kecil melihat ketidakselarasan antara masalah dan apa yang terjadi di depan mata, dan suasana yang tadinya formal perlahan menjadi lebih santai.
Fenomena ini menunjukkan aspek sosial yang lebih dalam dari kebetulan. Sebagian orang di Indonesia, terutama di dunia akademik, merasa bahwa menggunakan Bahasa Inggris menunjukkan status sosial, nilai, dan kecerdasan. Sementara Bahasa Inggris sering dianggap sebagai “bahasa sukses”, Bahasa Indonesia hanya dianggap sebagai bahasa sehari-hari yang kurang “bergengsi” di mata dunia. Kondisi ini menunjukkan gejala inferioritas budaya yang dapat mengikis rasa bangga terhadap bahasa sendiri jika tidak segera disadari.
Fenomena ini berakar pada perasaan inferioritas kompleks perasaan tidak percaya diri terhadap budaya sendiri dibandingkan budaya asing dari perspektif psikologis. Akibatnya, generasi muda lebih bangga menguasai Bahasa Inggris daripada belajar Bahasa Indonesia. Meskipun demikian, penguasaan bahasa asing seharusnya membantu memperkuat identitas nasional daripada menggantikannya.
Sebaliknya, para peserta seminar dari negara lain menunjukkan rasa hormat yang besar terhadap Bahasa Indonesia. Mereka menyadari bahwa menggunakan bahasa lokal sangat penting untuk memahami budaya dan berinteraksi dengan masyarakat dengan lebih baik. Keberanian mereka untuk berbicara dalam Bahasa Indonesia, meskipun dengan keterbatasan, merupakan contoh yang baik. Mereka menunjukkan bahwa menggunakan bahasa lokal di forum internasional adalah cara untuk menghormati, bukan kelemahan.
Penggunaan bahasa nasional di forum internasional adalah strategi kebudayaan dan nasionalisme, seperti yang dilakukan negara lain seperti Jepang dan Perancis. Meskipun banyak seminar internasional diadakan di Jepang, presentasi masih dilakukan dalam Bahasa Jepang dengan dukungan penerjemah. Perancis memiliki undang-undang ketat untuk memastikan bahwa Bahasa Prancis tetap menjadi bahasa utama dalam berbagai konteks, bahkan di tingkat internasional, seperti yang dianggap Jepang sebagai bagian dari mempertahankan martabat bangsa. Mereka percaya bahwa bahasa adalah inti bangsa, dan tanpa mempertahankan bahasa sendiri, identitas nasional akan secara bertahap hilang.
Sudah saatnya Indonesia melakukan sesuatu yang nyata, mengingat peran bahasa dalam membangun dan mempertahankan identitas nasional. Pertama dan terpenting, di setiap forum yang membahas bahasa atau budaya, Bahasa Indonesia harus digunakan secara luas, dan peserta asing harus memiliki kemampuan untuk menerjemahkan. Ini akan menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia bangga dengan bahasanya sambil menerima semua orang. Kedua, agar peserta asing merasa lebih nyaman dan dihargai, pelatihan singkat Bahasa Indonesia dapat disiapkan sebelum acara. Ketiga, perlu ada penghargaan atau apresiasi khusus untuk peserta asing yang berusaha menggunakan Bahasa Indonesia dalam forum resmi. Ini dapat meningkatkan penggunaan bahasa lokal di seluruh dunia.
Sangat penting bagi guru untuk menanamkan rasa bangga terhadap Bahasa Indonesia sejak dini. Meskipun bahasa Inggris harus diajarkan sebagai keterampilan global, Bahasa Indonesia harus tetap menjadi bahasa utama untuk berpikir, berkomunikasi, dan berkarya. Kampanye nasional perlu dilakukan untuk menekankan pentingnya Bahasa Indonesia di banyak bidang, termasuk di bidang akademik. Menguasai banyak bahasa adalah keuntungan, tetapi meninggalkan bahasa asli adalah kerugian.
Mengikuti seminar internasional tentang bahasa ibu ini adalah pengalaman yang sangat berharga. Ironi yang terjadi adalah bahwa orang asing berbicara Bahasa Indonesia sementara orang Indonesia berbicara Inggris. Hal ini menunjukkan bahwa kita secara alami teralienasi dari bahasa kita sendiri. Bukan ajang untuk mengecilkan diri di hadapan budaya lain, seminar internasional seharusnya menjadi platform di mana Indonesia dapat menunjukkan kekayaan budaya dan bahasanya. Bahasa Indonesia tidak perlu merasa rendah diri karena dapat bersaing dengan bahasa-bahasa besar di dunia.
Terakhir, globalisasi tidak berarti menyeragamkan bahasa dan budaya dunia; itu berarti menciptakan lingkungan di mana perbedaan dihargai dan kekayaan budaya diakui. Dengan membanggakan Bahasa Indonesia di seluruh dunia, kita bukan hanya menjaga warisan leluhur kita, tetapi juga membangun jati diri bangsa kita di dunia yang berkembang. Semoga di masa depan, setiap seminar tentang bahasa ibu benar-benar menjadi ajang untuk meningkatkan kecintaan kita terhadap bahasa nasional kita dan menjadi contoh nyata bahwa Indonesia bangga dengan identitasnya sendiri.(***)