OpiniZona Kampus

Tradisi Bajapuik Di Pariaman

×

Tradisi Bajapuik Di Pariaman

Sebarkan artikel ini
Pandu Winata

Oleh: Pandu Winata,

(Mahasiswa Universitas Andalas Jurusan Sastra Minangkabau)

Adat perkawinan di Pariaman berbeda dengan adat perkawinan daerah Minangkabau lainnya, karena mempunyai tradisi bajapuik (menjemput pengantin laki-laki) yang mensyaratkan adanya uang japuik. Adat perkawinan ini, termasuk dalam adat nan diadatkan, karena hanya terjadi di daerah tertentu saja, dalam hal ini hanya terjadi dalam lingkup Pariaman saja. Falsafah Adat Minangkabau memandang bahwa suami merupakan orang datang. Dengan sistem matrilokalnya, hukum adat memposisikan suami sebagai tamu di rumah istrinya. Sebagai tamu atau orang datang, maka berlaku nilai moral datang karano dipanggia, tibo karano dijapuik (datang karena dipanggil, tiba karena dijemput).

Dalam prosesi pernikahan, selalu laki-laki yang diantar ke rumah istrinya, sebagai ketulusan hati menerima, maka dijemput oleh keluarga istri secara adat. Begitupula sebaliknya, sebagai wujud keikhlasan melepas anak kemenakan maka laki-laki diantar secara adat oleh kerabat laki-laki. Karenanya laki-laki disebut juga sebagai “orang jemputan” (Welhendri 2001: 56). Di Pariman, saat menjemput berbeda dengan daerah lainnya. Bajapuik (japuik; Jemput) adalah tradisi perkawinan yang menjadi ciri khas di daerah Pariaman. Bajapuik dipandang sebagai kewajiban pihak keluarga perempuan memberi sejumlah uang atau benda kepada pihak laki-laki (calon suami) sebelum akad nikah dilangsungkan.

Uang japuik adalah pemberian dari keluarga pihak perempuan kepada pihak laki-laki yang diberikan pihak perempuan pada saata cara manjapuik marapulai dan akan dikembalikan lagi pada saat mengunjungi mertua pada pertamakalinya (acara manjalang). Jadi uang jemputan (uangjapuik) adalah sejumlah pemberian berupa uang atau benda yang bernilai ekonomis yang diberikan pihak keluarga calon pengantin perempuan (anakdaro) kepada pihak calon pengantin laki-laki (marapulai) pada saat acara penjemputan calon pengantin laki-laki (manjapuik marapulai).

Penetapan uang japuik biasanya ditetapkan dalam acara sebelum perkawinan, biasanya mamak (paman dari pihak ibu) akan bertanya pada calon anak daro, apakah benar-benar siap akan menikah, karena biaya baralek (resepsi) beserta isinya termasuk uang japuik akan disiapkan oleh keluarga perempuan. Bila keluarganya termasuk sederhana, maka keluarga akan mempertimbangkan menjual hartapusako (hartapusaka/warisan) untuk membiayai pernikahan (Silalahi, Prihatiningsih, dan P 2018).

Terkait tradisi bajapuik ini, senada dengan pendapat Asril, Maihasni, dan Alfitri (2019), bahwa bajapuik adalah tradisi perkawinan yang menjadi ciri khas di daerah Pariaman. Bajapuik dipandang sebagai kewajiban pihak keluarga perempuan memberi sejumlah uang atau benda kepada pihak laki-laki (calon suami) sebelum akad nikah dilangsungkan. Uang jemputan ini berwujud benda yang bernilai ekonomis seperti emas dan benda lainnya. Penentuan uang jemputan dilakukan pada saat acara maresek dan bersamaan dengan penentuan persyaratan lainnya.

Sedangkan untuk pemberian dilakukan pada saat menjemput calon mempelai laki-laki untuk melaksanakan pernikahan di rumah kediaman perempuan. Basri (2012) juga menjelaskan bahwa uang japuik pada umumnya berwujud benda yang bernilai ekonomis. Dalam perjalanan tradisi uang japuik ini terus mengalami perubahan mulai dari model sampai kepada wujud. Dari segi model terdapat pada uang japuik yang berwujud emas, dimana pada awalnya berupa rupiah dan ringgit emas. Karena model itu sudah ketinggalan zaman, sehingga tidak diminati masyarakat dan berubah menjadi cincin, gelang dan kalung emas.

Uang japuik sendiri akan ditetapkan oleh kedua belah pihak setelah acara batimbang tando dan akan diberikan saat akad nikah oleh keluarga mempelai wanita kepada keluarga pria saat manjapuik marapulai. Selanjutnya dikatakan Basri (2012), uang japuik itu dikembalikan lagi oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan pada acara manjalang mintuo. Jumlah uang yang dikembalikan biasanya lebih banyak dari uang japuik sebelumnya, misalnya uang japuik Rp 1.000.000,00 dikembalikan oleh pihak laki-laki Rp 1.500.000,00 atau Rp 2.000.000,00 bagi pihak laki-laki. Nilai lebih yang diberikan kepada perempuan ini mereupakan prestise tersendiri. Keluarga laki-laki akan terasa malu dan terhina apabila nilai pengembalian uang japutan sama atau malah lebih rendah dari yang diterima.

Uang japuik mengandung makna yang sangat dalam yaitu saling menghargai antara pihak perempuan dan pihak laki-laki. Ketika pihak laki-laki tidak hanya mengembalikan dalam bentuk uang japuik, maka pihak laki-laki merasa lebih dihargai. Begitu pula pihak perempuan juga merasa lebih dihargai dengan uang dan emas yang dilebihkan nilainya dari uang japuik, saat pengembalian inilah disebut dengan uang agiah jalang. Dalam tahapan proses pelaksanaan tradisi bajapuik dalam perkawinan ini terlihat dominannya peran niniak mamak sangat penting.

Tahap awalnya pada saat marambah jalan sampai selesainya acara perhelatan. Prosesi awal dari suatu upacara perkawinan di Pariaman disebut marambah jalan. Istilah ini seperti maresek, maratok tango, malensok bangka. Namun arti dan pelaksanaanya sama. Bagi orang tua yang mempunyai gadis atau bagi niniak mamak yang mempunyai kemenakan akan mempunyai beban dan tanggung jawab yang berat. Tanggumg jawab tersebut adalah mencarikan jodoh dan melaksanakan perkawinan anak atau kemenakannya menurut adat. Hal ini menurut tradisi yang telah turun temurun sejak dulu sampai sekarang bahwa dalam mencarikan jodoh atau kemenakannya yang perempuan terletak ditangan orang tua atau mamak.

Sebagaimana diketahui, bahwa yang disebut merambah jalan yaitu suatu kegiatan yang dilakukan kedua belah pihak dalam memperhitungkan perjodohan anak atau kemenakannya. Pelaksanaan dalam merambah jalan ini dilakukan di rumah pihak laki-laki. Dalam kegiatan merambah jalan yang ikut ke rumah laki-laki antara lain ibu, mamak, bapak, atau bako. Pembicaraan pada pertemuan itu adalah berkisar pada persetujuan dan persyaratan yang harus dipenuhi oleh kedua belah pihak. Orang minang rata-rata pergi merantau ke seluruh penjuru daerah di Indonesia. Kemana saja orang Minang merantau, tetap adat tradisi tidak boleh ditinggalkan tetap dia bawa ke daerah rantaunya. Dalam alek Padang Pariaman di rantau, tradisi pemberian uang japutan masih ada sampai saat sekarang ini.(**)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *