Oleh: Mutlaben Kapita
Tokoh Pemuda Kao Barat
PILKADA kembali digelar di 270 wilayah di Indonesia, tepatnya 9 Desember 2020. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2/2020 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota sebagai payung hukumnya.
Keputusan ini menuai kritik oleh banyak pihak karena dinilai pemerintah, DPR dan penyelenggara pemilu tidak mempertimbangkan risiko bila dilaksanakan Pilkada ditengah pandemi Covid-19 yang kian merebak luas di wilayah-wilayah Indonesia. Meski demikian, hajatan lima tahunan ini tetap digelar untuk mengisi kepemimpinan daerah di wilayah yang akan berakhir masa bakti tahun ini. Sepertinya, tak ada lagi ruang negosiasi mengundurkan Pilkada yang hendak dilaksanakan di 270 wilayah itu.
Tahapan Pilkada sudah berjalan. Layar sudah berkembang, pantang surut ke belakang. Begitu kira-kira jika meminjam kutipan Pengamat Politik, Adi Prayitno. Pelbagai kesiapan penyelenggara pemilu tengah dilakukan untuk menyukseskan ajang lima tahunan itu walau ditengah pandemi Covid-19.
Memang agak sulit mencari solusi alternatif terbaik. Menunda Pilkada dan dihelat 2021 adalah salah satu rekomendasi-pikiran alternatif yang menyeruak di ruang publik sebelum dan pasca keluarnya Perppu Nomor 2/2020. Soalnya ialah, pandemi Covid-19 tidak bisa dipastikan bahwa tahun ini akan berakhir, sehingga kita sedang berada dalam kubangan ketidakpastian. Sedang tetap menghelat Pilkada, penyelenggara pemilu dihadapkan pada tantangan besar yang membutuhkan daya inovatif dan kerja keras agar Pilkada dapat terlaksana dengan baik.
Tantangan Pilkada di Tengah Pandemi
Koran Sindo (14/7/2020) merilis data persebaran Covid-19 di wilayah-wilayah yang dihelat Pilkada, dimana terdapat 2 daerah provinsi zona kuning (persebaran terkendali, tapi ada kemungkinan transmisi lokal), 4 daerah provinsi kategori zona orange (risiko tinggi dengan virus tak terkendali), 3 daerah provinsi kategori zona merah (risiko virus belum terkendali). Serta, 43 daerah kabupaten/kota masih kategori hijau (belum terdampak Covid-19), 77 daerah kabupaten/kota zona kuning (risiko rendah), 101 daerah kabupaten/kota kategori zona orange (risiko sedang), 40 daerah kabupaten/kota masuk zona merah (risiko tinggi).
Dari data persebaran pandemi Covid-19 di atas, seyogianya menjadi bahasan penting membicarakan ulang Pilkada ditengah pandemi Covid-19. Karena, jika Pilkada tetap dilaksanakan di semua wilayah tanpa pemetaan zona persebaran Covid-19, maka akan berimplikasi pada: Pertama, angka golput kian meningkat. Ini khusus wilayah-wilayah zona merah. Sebabnya, pemilih akan merasa khawatir datang ke TPS ditengah wabah virus Corona yang kian mewabah masif dan signifikan.
Kedua, kampanye politik yang dilakukan oleh calon tidak efektif. Hal ini dikarenakan, ditengah situasi pandemi ini, kampanye terbuka/akbar dibatasi oleh penyelenggara pemilu karena melibatkan banyak massa kampanye. Dan model kampanye lewat media sosial dan door to door campaign menjadi solusi alternatif untuk meminimalisasi risiko penulararan Covid-19 dengan dilengkapi alat pelindung diri.
Namun, dari 270 wilayah yang dihelat Pilkada, tidak semua wilayah yang sudah terjangkau teknologi informasi. Oleh karenanya, pesan-pesan politik para calon dalam kampanye melalui media sosial, terutama di media online takkan sampai pada semua pemilih. Halmahera Utara misalnya, belum semua kecamatan yang terkoneksi jaringan internet. Pun untuk wilayah yang jaringan internet sudah terjangkau memadai, tidak semua pemilih sebagai pengguna media sosial. Begitupun minat baca masyarakat terhadap media cetak masih terbilang rendah. Olehnya, model kampanye lewat media sosial, baik media online maupun calon kerjasama dengan media cetak lokal sebagai saluran menyampaikan ide-ide programatik pada pemilih, akan tidak efektif di sebagian wilayah.
Kemudian kampanye door to door campaign (mendatangi pemilih dari rumah ke rumah). Dengan sebaran pemilih di wilayah yang banyak tentu calon kesulitan menjangkau semua pemilih di desa-desa. Meskipun setiap calon memiliki Tim Sukses dari kabupaten/kota, kecamatan hingga ke tingkat desa, tetapi mayoritas pemilih sangat butuh paparan visi-misi langsung dari calon. Karena untuk mengenal sosok dan mengatahui visi-misi calon ialah penting bagi pemilih guna dijadikan preferensi dalam memilih.
Ketiga, potensi marak politik uang. Hal ini disebabkan kurang maksimalnya kampanye yang dilakukan oleh calon karena dibatasi aturan kampanye yang menyesuaikan protokol kesehatan. Sehingga, politik uang sebagai cara menggaet suara pemilih agar dapat di pilih dalam Pilkada. Apalagi ditengah pandemi Covid-19, keadaan ekonomi (masyarakat) lagi terpuruk. Untuk itu, pemilih mudah terpengaruh dikala ada praktik politik uang yang dilakukan oleh calon dan atau melalui Tim Sukses.
Pemetaan Zona Wilayah
Itulah sebabnya, perlu menimbang ulang Pilkada tahun ini. Pemerintah dan penyelenggara pemilu, baiknya melakukan pemetaan zona wilayah penyebaran pandemi Covid-19 di 270 wilayah yang akan dilaksanakan Pilkada. Wilayah-wilayah mana saja yang kategori zona hijau, orange, kuning dan merah. Karena tidak bisa digeneralisir semua wilayah sudah terpapar pandemi Covid-19. Masih ada wilayah yang kategori zona hijau (belum terdampak pandemi Covid-19).
Tujuannya, Pilkada yang dihelat khusus wilayah yang masih kategori zona hijau. Sementara wilayah zona merah yang kurva pandemi Covid-19 terus bertambah perlu penundaan, tahun depan baru dihelat. Sebab, apabila helatan Pilkada tetap dilaksanakan secara serentak di 270 wilayah tanpa pemetaan zona wilayah, maka berpotensi angka partisipasi politik pemilih akan menurun di wilayah zona merah, kampanye politik tidak efektif, politik uang kian marak juga bisa terjadi kenaikan kurva terpapar pandemi Covid-19 pasca Pilkada jika tidak dikaji secara baik perihal mitigasi risiko helatan Pilkada ditengah pandemi.
Pada akhirnya, penulis ingin menyampaikan di akhir tulisan ini, ‘Helatan Pilkada ialah agenda demokrasi yang hakikatnya mencari pemimpin daerah yang berkualitas dan dinilai mampu memajukan daerah ke arah lebih baik. Tidak sekadar seremonial pesta demokrasi’.(*)