HARIANHALMAHERA.COM–PAKAR Hukum Tata Negara Margarito Kamis meminta pemerintah dan DPR RI mempertimbangkan kembali keputusan untuk tidak merevisi Undang-undang Pemilihan Umum (Pemilu) dan Pemilihan Kepala Daerah. Dia menyebut hal itu berdasarkan sengketa hasil pilkada tahun 2020.
Margarito mengatakan, dengan adanya persidangan sengketa hasil pilkada yang saat ini bergulir di Mahkamah Konstitusi (MK) dan secara nyata banyak mengugurkan gugatan permohonan dugaan kecurangan dalam Pilkada 2020 lantaran terbentur dengan pasal 158 UU nomor 10 Tahun 2016, merupakan bukti dibutuhkannya revisi UU Pemilu dan UU Pilkada.
“Saya kira (pemerintah dan DPR) mesti serius berpikir untuk mengubah undang-undang itu. Saya sarankan betul agar Pak Presiden dan DPR sungguh-sungguh berpikir tentang bangsa ini,” kata Margarito, Selasa (16/2) sebagaimana yang dilansir jpnn.com.
Pria yang pernah menjabat sebagai staf khusus Menteri Sekretaris Negara ini menjelaskan bahwa dengan adanya pasal 158 Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota menjadi undang-undang, menjadi hambatan bagi MK dalam mewujudkan keadilan di mata hukum.
Margarito menyatakan jika dalam sebuah kasus perselisihan suara dalam pilkada itu tidak bisa diselesaikan dengan jalur pembuktian di Mahkamah Konstitusi, maka akan membuka peluang bagi para calon peserta pilkada untuk memperoleh suara.
“Tidak mengubah UU Pemilu termasuk UU Pilkada itu berarti akan terus bertemu dengan pasal 158. Selisih suara lebih dari 2,5 persen Anda akan selamat di sini (MK). Artinya selisih suara yang masih berada dalam norma pasal 158 itu saja yang lolos (pembuktian), di luar itu lewat (tidak lolos pembuktian). Jadi ada ketidakadilan yang telanjang sekali hari ini (sengketa Pilkada 2020,” kata pria kelahiran Ternate itu.
Margarito pun mengibaratkan bahwa dengan tidak merevisi UU Pemilu dan UU Pilkada, pemerintah seperti menggumumkan kepada calon kepala daerah yang akan ikut dalam pilkada 2024 untuk berbuat curang.
“Itu (keputusan tidak RUU) sama dengan pengumuman kepada calon-calon Kepala Daerah tahun 2024 nanti, curanglah kalian. Mari berjoget dengan ketidakadilan di 2024 karena pemerintah sudah mengambil sikap untuk tidak mengubah UU Pemilu termasuk UU Pilkada, itu berarti akan terus bertemu dengan pasal 158,” tuturnya. (jpnn/pur)