HARIANHALMAHERA.COM–Anggota DPR RI Hillary Brigitta Lasut sempat tren saat pelantikan 1 Oktober lalu. ‘Wakil’ milenial ini diprediksi menjadi simbol lahirnya warna baru dalam lembaga legislatif. Namun, dari survei opini publik, ternyata belum mampu.
Padahal publik menaruh harapan besar kepada anggota DPR milenial. Para legislator yang berusia di bawah 30 tahun itu diharapkan memberi warna baru yang positif pada wajah parlemen lima tahun ke depan.
Melansir JawaPos.com, selama dua bulan terakhir (Oktober–November), ternyata kiprah mereka tidak terlalu menonjol. Dari 1.765 judul berita yang dimuat media, ruang opini publik ternyata tetap didominasi anggota DPR wajah lama.
Kesimpulan itu didapatkan dari riset yang dilakukan oleh Founding Fathers House (FFH) dan Institut Riset Indonesia (Insis). Dua lembaga tersebut meneliti pemberitaan media massa selama dua bulan terakhir. Baik media cetak maupun online. ”Ini adalah riset media. Semua data diambil dari media,” kata Direktur Eksekutif FFH Dian Permata, Minggu (1/12).
Riset tersebut sengaja dilakukan untuk mengetahui kemampuan anggota DPR milenial dalam menciptakan opini publik. Parameternya adalah ketika anggota DPR itu dijadikan narasumber dalam berita di media massa. Skalanya meliputi semua isu. Mulai politik, hukum, ekonomi, pendidikan, hingga lingkungan.
Hasilnya, papar Dian, ruang pemberitaan media massa didominasi anggota dewan lama yang selama ini dinilai populer. Misalnya Ketua MPR Bambang Soesatyo dan Ketua DPR Puan Maharani. Juga ada Azis Syamsuddin, Fadli Zon, Arsul Sani, Masinton Pasaribu, Nasir Djamil, dan Desmond J. Mahesa.
Sementara itu, porsi pemberitaan yang mengutip anggota dewan milenial sebagai narasumer hanya 2,5 persen. Misalnya, legislator Hillary Brigitta Lasut, Dyah Roro Esti, Farah Putri Nahlia, Rizki Aulia Rahman, dan Puteri Anetta Komaruddin. ”Ini menjadi report dan rapor para anggota dewan milenial,” ujar Dian.
Menurut dia, pemberitaan anggota DPR milenial tidak seriuh saat awal-awal pelantikan 1 Oktober lalu. Hillary Brigitta Lasut contohnya. Di awal kemunculannya, politikus Nasdem itu cukup menyita perhatian pers. Selain usianya baru 23 tahun, dia didapuk sebagai pimpinan sidang DPR sementara. Kepiawaiannya sebagai pimpinan sidang sementara memantik perhatian luas. Dia pun menjadi the rising star saat itu. ”Kehebohan pemberitaan saat itu bertolak belakang dengan kondisi saat ini,” ucapnya.
Mengapa anggota DPR milenial sepi pemberitaan? Peneliti Insis Wildan Hakim mengungkapkan beberapa alasan yang membuat media massa enggan mengutip mereka sebagai sumber berita. Salah satunya, papar dia, bisa jadi yang bersangkutan tidak menguasai isu. Bisa juga, tidak ada yang baru dalam penjelasan kepada media. Karena itu, pernyataannya tidak mampu menarik minat media untuk memuat berita tersebut. ”Antara isu dan isi tidak nyambung,” kata Wildan.
Anggota DPR milenial juga dinilai belum mengoptimalkan sumber daya. Termasuk, memaksimalkan tenaga ahli yang mendampingi anggota dewan. Padahal, para tenaga ahli DPR direkrut untuk memaksimalkan peran dan fungsi wakil rakyat. Terutama dalam memberi gagasan dan solusi serta merespons isu-isu krusial. ”Ke depan, fungsi tenaga ahli harus dimaksimalkan. Ajak diskusi tentang isu-isu yang menghangat,” imbuhnya.
Tidak hanya itu, peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus mengaku tidak heran kalau anggota DPR milenial belum optimal dalam membangun opini publik. Fenomena itu sudah dia prediksi sejak awal. Kondisi tersebut, papar dia, tidak terlepas dari pengaruh partai politik (parpol) asal para anggota DPR. ”Anggota DPR harus sejalan dengan fraksi. Dan, fraksi adalah kepanjangan tangan dari parpol,” kata Lucius kemarin.
Disampaikan Lucius, parpol mengontrol kadernya di parlemen melalui pimpinan fraksi. Anggota dewan pun tidak boleh melenceng dari garis kebijakan partai. Jika bersikap frontal, sanksi bisa membayangi anggota. Mulai dipecat dari jabatan pimpinan alat kelengkapan dewan (AKD) hingga dipindah dari komisi yang ditempatinya. ”Tanpa bargaining position, anggota DPR baru, apalagi milenial, rentan diintervensi pimpinan fraksi,” ungkapnya.
Akibatnya, menjadi anggota dewan itu seperti rutinitas kerja. Datang ke forum rapat, diam, lalu pulang. Dengan kondisi seperti itu, idealisme sebagian anggota DPR baru cepat luntur. ”Idealisme hanya ada sebelum menjabat. Setelah dilantik, hilang. Harus ikut komando partai,” kritik Lucius.
Karena itu, dia menyarankan anggota DPR milenial untuk mencari isu yang lebih soft sehingga tidak dituduh melawan partai. Misalnya, membangun transparansi dari diri sendiri. Berapa uang diterima per bulan lalu bisa dijelaskan untuk apa saja. ”Jadi, publik bisa lihat. Yang sudah dilakukan ini… ini… ini… Media pasti beritakan itu,” imbuhnya.
Formappi juga menyarankan anggota DPR milenial untuk membentuk kaukus parlemen muda. Kaukus tersebut bisa menjadi wadah anggota DPR milenial untuk mengangkat isu-isu tertentu. Misalnya, bagaimana pemimpin muda yang ideal. ”Tahun 2020 kan ada pilkada serentak. Bikin dong wacana pemimpin muda,” tandas Lucius.(jpc/fir)