HARIANHALMAHERA.COM– Rumah Tahanan (Rutan) Kelas IIB Ternate, Maluku Utara, kembali menuai sorotan tajam dari publik. Lembaga penahanan para terpidana itu diduga telah memberi perlakuan istimewa terhadap Muhaimin Syarif, terpidana kasus suap yang saat ini menikmati program asimilasi meski belum menuntaskan masa hukumannya.
Eks ketua partai Gerindra Malut itu sebelumnya divonis bersalah oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor Ternate pada 16 Desember 2024. Ia dijatuhi hukuman 2 tahun 8 bulan penjara serta denda Rp150 juta subsider 3 bulan kurungan lantaran terbukti menerima suap terkait pengadaan barang dan jasa serta pengurusan Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) di lingkup Pemprov Maluy.
Namun alih-alih menjalani penuh masa hukumannya, Muhaimin justru disebut kerap mendapat kemudahan di balik jeruji. Salah satu buktinya, adalah pada peringatan HUT ke-80 Kemerdekaan RI, 17 Agustus 2025 lalu, ia bahkan memperoleh remisi khusus enam bulan. Kini, statusnya semakin longgar setelah resmi mendapatkan surat asimilasi dari Rutan Ternate.
Terpisah, Kepala Rutan Kelas IIB Ternate, Abdu S Tilaar, saat dikonfirmasi pun tak menampik kabar tersebut. Kepada awak media, Abdu, mengaku bahwa surat asimilasi terpidana suap, Muhaimin diterbitkan pada September ini dan sudah ditembuskan ke Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumahm) Malut.
“Resmi ya, kita mengeluarkan orang asimilasi itu resmi. Kalau abal-abal, ya kita juga bisa terjerat hukum,”katanya, Jumat (12/9) kemarin.
Meski dinyatakan legal secara administratif, kebijakan itu memicu tanda tanya besar soal konsistensi negara dalam menegakkan hukum terhadap pelaku korupsi. Publik menilai remisi hingga asimilasi bagi napi korupsi hanya mempertebal stigma bahwa koruptor mendapat perlakuan kelas khusus dibanding napi tindak pidana umum.
“Korupsi itu kejahatan luar biasa, tapi pelaksanaannya sering kali diperlakukan biasa-biasa saja,”sindir salah satu aktivis antikorupsi di Ternate.
Kini, sorotan publik tertuju pada transparansi kebijakan pemasyarakatan di Malut. Pasalnya, praktik pemberian keringanan hukuman terhadap terpidana korupsi bukan hanya berpotensi menggerus kepercayaan masyarakat, tetapi juga dianggap mencederai semangat pemberantasan korupsi di daerah.(cal)