FootballOpini

Oase dari Maestro

×

Oase dari Maestro

Sebarkan artikel ini
Dari kiri ke kanan: Andrea Pirlo, Massimo Oddo dan Clarence Seedorf saat masih membela AC Milan. GETTY IMAGES

Oleh:
Purwanto Ngatmo

’’Sekali AC Milan mengalir di pembuluh darah Anda, itu akan mengalir selamanya.’’
(Manuel Rui Costa)

SUDAH lebih dari satu dekade, tidak ada lagi nama AC Milan di kompetisi Liga Champions. Ya, sejak musim 2014–2015, klub yang menggondol tujuh si kuping lebar ini, tenggelam bak ditelan bumi.

Saya tidak perlu menjelaskan sebabnya di sini. Kita semua sudah tahu apa yang membuat Rossoneri absen. Bahkan, mimpi Milanisti melihat Zlatan Ibrahimovic dkk berlaga di liga elit benua musim depan pun buyar.

Klub milik Li Yonghong itu mengkahiri musim ini dengan menghuni peringkat keenam klasemen. Capaian yang lebih buruk dari musim lalu.

Tapi, suka tidak suka, kita tidak bisa menafikan bahwa Milan tetaplah klub tersukses sejak menjadi kampiun Liga Champions edisi 2006–2007. Tengok saja bagaimana klub dengan segudang sejarah itu mampu memproduksi pelatih-pelatih jempolan.

Penunjukan Andrea Pirlo sebagai allenatore anyar Juventus adalah bukti teranyar bahwa ’’akademi’’ kepelatihan Milan untuk angkatan 2007 berhasil mencetak generasi tactician potensial. Mereka rata-rata sempat mencicipi atmosfer kasta tertinggi di lima liga elite Eropa.

Pirlo memang terakhir kali bermain di Serie A bersama La Vecchia Signora (Nyonya Tua), julukan Juve. Tapi, di dalam darah maestro sepakbola kelahiran Lombardia itu, ada DNA Milan yang mengalir deras.

Bersama Rosooneri-lah, dia menapaki puncak karirnya sebagai pesepakbola profesional. Di klub itu pula, Il Metronome-julukan Pirlo-mempersembahkan banyak gelar (delapan trofi).

Tapi Pirlo hanyalah satu dari sekian jebolan AC Milan angkatan 2007 yang sukses menjadi juru racik di kasta tertinggi lima liga elite Eropa. Sebelumnya ada Clarence Seedorf (sekarang pelatih Timnas Kamerun), Filippo Inzaghi (pelatih Benevento), Cristian Brocchi (sekarang pelatih Monza), Massimo Oddo (sekarang pelatih Perugia), dan Gennaro Gattuso (pelatih Napoli).

Bahkan, ada satu rekan mereka lagi yang siap tampil di kasta tertinggi liga elite Eropa, Alessandro Nesta. Bek andalan Rossoneri periode 2002-2012 itu tengah berjuang bersama Frosinone, klub Serie B, merebut tiket promosi ke Serie A.

Jika berhasil membawa Frosinone lolos, maka ada tujuh nama jebolan Milan angkatan 2007 yang pernah sudah mencicipi atmosfer kasta tertinggi di lima liga elite Eropa. Jumlah itu paling banyak dari semua pemain yang menjadi pelatih, saat timnya menjuarai Liga Champions pada era milenium baru.

Dan sebagian dari mereka lahir melalui tim Primavera-nya Milan sebelum promosi ke tim senior. Pippo-sapaan Filippo Inzaghi-kali pertama dipromosikan pada musim 2014-2015. Dilanjutkan Brocchi pada 2016 menggantikan Sinisa Mihajlovic. Dan, diakhiri Gattuso pada 2017.

Seedorf memang tidak pernah menjabat pelatih Primavera. Tapi, sosok asal Belanda inilah yang mengawali jebolan juara 2007 yang membesut Milan pada 2014 sebelum memutuskan pindah ke La Liga menjadi entrenador Deportivo La Coruna.

’’Banyak foto bersejarah di Milanello yang mengingatkan kami akan kehebatan Milan. Kami tidak akan pernah melupakan DNA Milan. Salah satunya adalah keinginan kuat untuk berkorban,’’ ujar Gattuso saat diperkenalkan sebagai allenatore Milan mengantikan Vincenzo Montella pada 2017.

Memang, dari nama-nama yang disebutkan di atas, baru Riginho-sebutan Gattuso yang mencatatkan prestasi tertinggi dengan membawa Napoli juara Coppa Italia musim ini. Lainnya, tentu masih butuh waktu untuk membuktikan kapasitasnya dengan prestasi, termasuk Pirlo yang masih hijau di dunia kepelatihan.

Walau begitu, keputusan Juve menunjuk sang Maestro yang minim pengalaman ini bukan tanpa alasan. Nyonya Tua yakin, dengan DNA Milan di dalam darah Pirlo, plus tingginya jam terbang sebagai pemain, dia bisa melebihi prestasi Riginho

Lagipula, seperti yang pernah dibilang mantan pelatih Manchester United, Louis van Gaal. Tidak selamanya pelatih muda yang minim pengalaman, akan seret prestasi ketika duduk di bangku pelatih.

’’Anda harus percaya kepada pelatih muda, di generasi berikutnya. Zidane tidak memiliki banyak pengalaman seperti saya saat kali pertama membesut Real. Namun, lihat apa yang diraihnya sekarang,’’ kata de trainer asal Belanda itu kepada The National.

Poin penting yang nantinya bisa diwariskan Gattuso Cs di klub mana saja yang nantinya mereka arsiteki; DNA Milan. Terdengar naif, tapi bisa jadi poin krusial. Sebab, pelatih tidak hanya dituntut piawai meracik strategi. Mereka juga harus jago memotivasi para pemain saat performa buruk, atau bahkan cedera.

Itulah yang dimaksud mental juara yang bisa disuntikkan pelatih jebolan skuad Milan saat juara 2007 kepada pemain. Dan alasan itu pula lah yang membuat Juve memilih Pirlo.

Pirlo memang masih butuh waktu, tetapi, bagi Milan, sebagai almamater, kesuksesan sang Maestro dan rekan-rekanya tentu menjadi kepuasan tersendiri. Apalagi tidak hanya sukses di Milan sebagai pemain, tetapi juga sebagai pelatih, sebagaimana yang telah dibuktikan Carlo Ancelotti.

Dan andai itu terjadi, maka kutipan dari eks trequartista Milan awal milenium Manuel yang menjadi pembuka tulisan ini, memang nyata adanya.

Toh, kalaupun itu tidak terwujud, setidaknya ini bisa menjadi oase bagi Milanisti di setiap musim. Mereka sudah bisa membanggakan hal baru selain masih terngiang akan era kejayaan satu dekade silam. Ya, produsen Mister jempolan. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *