Opini

Memetik Makna Kehidupan Dalam Novel Dongeng Kucing

×

Memetik Makna Kehidupan Dalam Novel Dongeng Kucing

Sebarkan artikel ini
Roberto Duma Buladja

Penulis: Roberto Duma Buladja

Kurang lebih tiga hari lamanya saya tenggelam dalam novel fabel berjudul Dongeng Kucing ini. Saya membaca buku ini di sela-sela waktu luang saya bermain-ria dengan si onong, anak lelaki. Buku karangan Boy Candra ini menjadi teman baca yang menyenangkan, dan pastinya menghibur.

Novel ini bercerita tentang kehidupan hewan-hewan liar yang hidup di bawah kolong jalan tol. Para hewan ini hidup secara berkoloni dengan karakter khas mereka, yakni: para Kucing, Tikus Tua, Landak Tua, Berang-berang, Burung Gereja, hingga Biawak. Mereka hidup di tengah kerasnya jalanan kota. Mereka harus berhadap-hadapan dengan makhluk bernama manusia yang mereka anggap sebagai parasit dalam semesta kehidupan mereka.

Novel yang saya baca ini adalah cetakan ketiga, edisi Januari 2025, terbitan Grasindo. Sebuah hadiah istimewa dari istri tercinta. Sebuah tanda kasih sederhana, tapi rasanya begitu bermakna. Alur novel ini mengalir. Sangat menarik. Barangkali cocok bagi bapack-bapack seperti saya yang lagi semangat-semangatnya mendampingi si onong yang baru berusia delapan bulan ini.

Novel ini menyajikan beragam tema dalam kehidupan urban para hewan. Tentang hangatnya berada dalam kelompok yang penuh cinta dan kebersamaan. Tentang pentingnya ikatan keluarga. Begitupun berada di tengah situasi konflik dan kekerasan dengan manusia. Tentang arti kehilangan dan keikhlasan. Dan tentunya keseruan petualangan hidup yang dilalui dalam pertarungan demi pertarungan.

Boy Candra dengan bagus mengemas kisah hewan-hewan ini. Karakter setiap hewan ini seolah-olah akrab dengan kehidupan keseharian kita (manusia). Ibarat cermin bagi manusia. Tentu menjadi bacaan yang bagus bagi para pecinta kucing dan hewan pada umumnya.

Setelah membaca buku ini, saya ‘memetik pesan-pesan kehidupan’ yang terasa begitu penting. Bagian-bagian itu merupakan kutipan favorit saya, yang nyaris semuanya berisi tentang petuah-petuah kehidupan dari si Tikus Tua dan Kucing Si Tua.

Pertama, Boy Candra begitu cerdas menyelipkan kritik pedas terhadap perilaku ‘kebinatangan’ manusia. Ini membuat saya sadar, bahwa memelihara hewan tidak cukup dengan memberi mereka makanan saja, tetapi bertanggung jawab penuh untuk seluruh kehidupan mereka. Sama dengan memperlakukan mereka layaknya anggota keluarga kita sendiri. Barangkali tanggung jawab itu tampak pada cat lover dan animal lover. Kutipan tentang sisi gelap sifat (jahatnya) manusia:

… Manusia di kota-kota besar itu banyak yang kejam. Mereka sibuk dengan diri mereka sendiri. Tidak banyak yang benar-benar peduli dengan manusia lain. Mereka bekerja berkelompok, namun menikmati hasil sendiri-sendiri. Jika pada manusia saja mereka tidak peduli, apalagi pada hewan-hewan.” (Hlm. 61)

Setiap manusia memiliki hasrat membunuh. Mungkin itu yang membuat mereka memakan kucing. Mereka memang memakan segalanya.” (Hlm. 141)

Manusia memang sulit ditebak. Sebagian dari mereka terlalu serakah…. Manusia bahkan tidak segan mencurangi manusia lainnya. Banyak dari manusia itu hipokrit dan senang mengkhianati yang lainnya.” (Hlm. 161)

Kedua, bahwa penderitaan harus kita terima sebagai bagian dari kehidupan. Tanpa penderitaan kehidupan menjadi tidak bermakna. Sejatinya tidak ada kebahagiaan tanpa penderitaan. Adapun kutipan tentang penderitaan:

Semua makhluk diciptakan dengan penderitaan masing-masing. Tidak ada satupun yang bisa lepas dari penderitaan.” (Hlm. 141)

Penderitaan tidak pandang usia.” (Hlm. 171).

Ketiga, tentang anak, cinta, dan kerinduan. Anak adalah aset keluarga. Ini pernyataan yang umum kita dengarkan. Namun terkadang, kita memperlakukan anak semaunya kita sendiri. Atas nama cinta, kerap kali orang tua memaksakan standar nilai tertentu terhadap anaknya. Padahal, seorang anak adalah person yang berbeda, berada di luar kendali, dan punya ruang pertarungannya sendiri.

Setiap anak pada akhirnya memang harus menempuh perjalanan baru mereka. Anak harus hidup dengan petualangan mereka yang baru. Anak berhak mendapatkan petualangan dan hidup mereka sendiri. Anak kelak akan keluar dari rumah dan menemukan kehidupan yang baru….Nanti kalau mereka rindu, mereka akan pulang dengan sendirinya.” (Hlm. 92)

“…kadang cinta bukan perihal terus bersama. Cinta kadang adalah upaya merelakan hidup yang lebih baik. Upaya belajar menerima kenyataan kalau hidup yang lebih baik kadang bukan dengan terus bersama.” (Hlm. 92)

Dan, keempat, bahwa hidup adalah perjuangan dengan pikiran positif. Ini bagian yang sangat menginspirasi saya.

Hidup harus diperjuangkan. Aku tidak pernah menyerah pada hidup. Meski aku tidak selalu memenangkan pertarungan dalam hidupku.” (Hlm. 141)

Kau harus optimis. Semesta ini mendukung hal-hal yang ada dalam pikiranmu. Kalau kau berpikir baik, maka ia akan mendukung kau ke jalan-jalan yang baik. Kalau kau berpikir buruk, maka kau akan dibawa pada perjalanan-perjalanan yang buruk”. (Hlm. 175)

Akhirnya, dari novel ini, kita diingatkan kembali untuk merenung tentang perjalanan panjang kehidupan. Bahwa hidup merupakan sebuah petualangan. Setiap hari, kita selalu berjalan (menghadapi) satu pertarungan hidup ke satu pertarungan hidup lainnya. Namun, di saat yang sama, kita turut berjalan pada satu titik harapan ke titik harapan lainnya.(**)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *