Halut

Lapak Usaha Alun-alun Diseragamkan, Uang Muka Rp 1,5 Juta

×

Lapak Usaha Alun-alun Diseragamkan, Uang Muka Rp 1,5 Juta

Sebarkan artikel ini
BUKAN PROYEK?: Pekerjaan pembuatan lapak usaha di alun-alun kawasan kantor pemerintahan. (foto: Faisal/Harian Halmahera)

HARIANHALMAHERA.COM–Alun-alun kawasan pemerintahan Kabupaten Halut terlihat sibuk dari biasanya. Selain hiruk pikuk pedagang dan pembeli, juga ramai dengan pembuatan lapak-lapak yang bahannya dari atap spandek dan rangka baja ringan.

Pemandangan ini sontak menimbulkan banyak pertanyaan. Apakah ini proyek pemerintah? Programnya melekat di instansi mana? Anggarannya berapa? Tertata dalam Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) atau tidak?

Jika tertata dalam APBD, pastinya program pembuatan lapak usaha melekat di suatu instansi. Lantas, apakah proyek ini penunjukan langsung atau melalui proses tender? Hingga pertanyaan, siapa kontraktor yang memenangkan proyek tersebut?

Banyaknya pertanyaan itu ternyata belum cukup. Pasalnya, para pedagang mulai diterpa kabar adanya biaya sewa lapak yang dipatok Rp 1,5 juta per lapak per bulan. Hal ini muncul karena beberapa pedagang sudah mulai menggunakan lapak yang dicat biru itu.

Saat penelusuran di lapangan, pekerjaan pembuatan lapak ternyata sudah dimulai sejak dua pekan lalu. Lapak usaha dibuat seragam. Baik ukuran maupun bentuknya. Untuk dapat menempati lapak, seorang pedagang yang tak ingin identitasnya diberitakan, mengaku harus mendaftarkan diri dan membayar uang muka Rp 1,5 juta.

“Kalau soal biaya sewa per bulan kami belum tahu. Tapi soal mendapatkan lapak, ya harus mendaftar dan membayar uang muka Rp 1,5 juta. Kalau tidak bayar, tidak bisa menempati lapak. Dan semua itu sudah disetujui semua pedagang di alun-alun,” kata sumber.

Penasaran, wartawan koran ini mencoba mengonfirmasi proyek lapak usaha di alun-alun kawasan kantor pemerintahan. Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Nyoter Koenoe, membantah soal biaya sewa lapak per bulan Rp 1,5 juta.

“Itu tidak benar. Kami baru akan melakukan rapat bersama pedagang untuk membahas soal anggaran (sewa). Setalah semua lapak sudah selesai, cara pembayarannya seperi apa dan itu akan dibicarakan bersama dengan pedagang. Karena pemkab punya perbup,” katanya.

Saat disentil soal anggaran proyek lapak, Nyoter kembali mengklarifikasi bahwa pembangunan lapak tersebut bukan proyek dan hanya pengembang. Soal pembangunan lapak tersebut memang ada insiatif dari pemkab, namun soal anggaran tidak melekat di Disperindag, sehingga saya tidak mengetahui,” tutupnya.

Terlepas dari biaya sewa, pernyataan Kepala Disperindag Nyoter Koenoe justru membuat bingung. Pasalnya, jika itu tidak disebut sebagai proyek pemerintah dan hanya pengembang, harusnya ada surat kesepakatan bersama antara pengembang dan pemerintah dalam upaya pengembangan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM).

Selain itu, biaya sewa yang masuk ke pemerintah juga harus jelas item sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD), dan itu (sumber PAD) sudah harus tertata terlebih dahulu dalam perencanaan PAD, sehingga diketahui berapa retribusi dari biaya sewa lapak alun-alun kawasan pemerintahan per tahunnya. Namun, soal anggaran ini Kepala Disperindag enggan memberikan penjelasan, selain disebutkan tidak melekat di dinasnya.(cw/fir)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *