Sudah lebih enam tahun saya puasa bicara BUMN di depan umum. Senin kemarin pecah telur.
Minggu lalu saya memang dalam kebimbangan besar. Mau atau tidak. Untuk berbicara di depan umum –dengan tema BUMN. Biasanya saya tegas saja: tidak mau.
Kali ini yang minta adalah LP3ES (Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial). Lewat direkturnya yang baru: Prof. Dr. Didik J Rachbini.
Sungguh kurang ajar kalau sampai saya menolak. Dan lagi menteri BUMN-nya kan sudah berganti. Saya merasa banyak kecocokan dengan Erick Thohir –menteri BUMN yang sekarang.
Dengan menteri yang lalu pun saya tidak punya masalah. Tapi rasanya tidak etis kalau saya mengomentari kebijakan pengganti saya. Saya pun memilih bersikap diam.
Memang sesekali saya menyinggung dalam tulisan. Tapi sangat terkontrol. Misalnya saat BUMN berhasil mengambil alih Freeport. Saya memberikan pujian.
Lalu soal blackout listrik akibat pohon sengon yang bergoyang di dekat Semarang.
Selebihnya saya selalu menolak undangan seminar. Juga menolak wawancara koran maupun televisi.
Tapi Senin lalu saya harus ‘berkhianat’. LP3ES terlalu berarti bagi perjalanan hidup saya.
Peristiwanya terjadi tahun 1975.
Saat saya masih bujangan.
Umur saya baru 24 tahun.
Saya adalah reporter sebuah koran kecil di kota yang amat kecil: Samarinda. Korannya empat halaman. Terbitnya seminggu sekali. Sering juga tidak terbit.
Teknologi koran itu membuat saya bersyukur: bisa merasakan seperti hidup di tahun 1940-an. Penyusunan huruf di percetakannya persatu huruf.
Huruf itu terbuat dari timah. Huruf ‘a’ berkumpul menjadi satu di satu kotak. Demikian juga ‘b’, ‘c’ dan seterusnya. Lalu ada kotak-kotak lain untuk huruf besar.
Pegawai penyusun huruf itu sering tidak masuk. Itu memberi kesempatan pada saya untuk belajar menyusunnya secara benar.
Akhirnya bisa.
Saya sering tidak perlu menulis berita. Hasil wawancara langsung saya susun di tempat huruf-huruf itu. Saya juga bisa memutar mesin cetak yang masih menggunakan tangan.
Saya beruntung mengalami zaman paling belakang di teknologi cetak. Kalau ke museum –di Amerika, misalnya– saya bisa menjelaskan bagaimana cara kerja benda kuno itu.
Setahun di koran itu saya mendengar ada pengumuman: LP3ES menyelenggarakan pendidikan wartawan muda –khusus dari daerah-daerah. Tujuannya: untuk mendorong demokratisasi di daerah-daerah –lewat pers yang maju.
Peminatnya banyak sekali. Lebih 1.000 orang. Tapi hanya 10 orang yang akan diterima. Seleksi pun diadakan di seluruh Indonesia.
Salah seorang pimpinan LP3ES datang ke Samarinda. Saya masih ingat namanya: Arselan Harahap. Kalau tidak ada ‘Harahap’ di belakang nama itu saya kira ia orang Jogja. Sopannya luar biasa. Halusnya sangat lembut. Mirip kehalusan pembawaan politisi Akbar Tanjung.
Saya lolos seleksi.
Saya harus ke Jakarta. Selama 3 bulan. Senangnya bukan main. Bisa melihat Jakarta.
Kami –dari Medan, Padang, Palembang, Bandung, Surabaya, Bali, Makassar, Banjarmasin, Mataram dan Samarinda– diasramakan di Wisma Seni, Taman Ismail Marzuki.
Malam hari kami dididik teori jurnalistik. Tempatnya di kantor LP3ES –saat itu di Jalan Jambu, Jakarta. Dari TIM kami berjalan kaki ke tempat pendidikan itu.
Pengajar jurnalistiknya Amir Daud –wartawan senior saat itu. Kami diawasi dari malam ke malam. Sesekali pimpinan tertinggi LP3ES meninjau kami: Nono Anwar Makarim (ayahanda Mendikbud sekarang) dan wakilnya, Ismet Hadad.
Siang hari kami disebar ke tempat praktik: dititipkan di koran-koran nasional. Siapa-magang-di-mana ditentukan lewat undian.
Sebelum undian saya berdoa keras: semoga dapat tempat magang di harian Kompas. Itulah koran paling bergengsi saat itu. Koran terbesar di Indonesia.
Kalaupun meleset, semoga di majalah TEMPO.
Ada doa tambahan: semoga jangan mendapat undian di harian PosKota. Yang terkenal sebagai spesialisasi berita kriminal.
Kompas dan TEMPO adalah bacaan saya setiap hari di Samarinda. Tiap habis maghrib saya ke agen koran: tidak sabar mendapat koran keesokan harinya.
Saya begitu mengidolakan wartawan-wartawan Kompas seperti Emmanuel Subangun dan Parakitri Simbolon. Saya hafal semua nama redaktur TEMPO dan wartawannya.
Nama seperti Salim Said, Syu’bah Asa, Putu Wijaya, George Yunus Adicondro hafal lengkap dengan foto wajah mereka. Apalagi unsur pimpinannya: saya dewakan.
Dan saya mendapat undian di Majalah TEMPO –alhamdulillah. Kantornya masih di Jalan Senin Raya 83. Di lantai atas sebuah toko.
Di TEMPO saya hanya akan 1,5 bulan. Akan ada rotasi. Saya harus pindah ke media lain. Diundi lagi.
Saya berdoa keras lagi: agar mendapat tempat di Kompas. Pokoknya jangan sampai di PosKota.
Arselan Harahap datang ke TEMPO. Untuk menjemput saya. Waktu magang di situ sudah habis.
Tiba-tiba Arselan marah sekali. “Anda tidak boleh dipindah dari TEMPO,” ujarnya. “Pimpinan TEMPO minta agar Anda tetap di sini,” tambahnya. “Ini merusak program LP3ES,” gerutunya.
Saya diam saja.
Dalam hati saya senang sekali.
Hari berikutnya saya diberitahu oleh pimpinan redaksi TEMPO. “Saya minta Anda tetap di TEMPO,” ujar Bur Rasuanto –nama aslinya Burhanuddin Rasuan. Rasuan adalah nama kampungnya di Ogan Komiring Ulu, Sumsel.
Bur adalah sastrawan besar. Novelnya, Tuyet, saya baca dua kali. Ia-lah yang menciptakan kata ‘santai’ menjadi kata baku dalam bahasa Indonesia. Konon kata itu ia comot dari bahasa di daerahnya.
Di masa tuanya almarhum Mas Bur –begitu saya memanggilnya– menjadi dosen filsafat di Universitas Indonesia.
Senin lalu saya bertemu kembali dengan Arselan Harahap. Lewat Zoom. Masih bekerja untuk LP3ES. Lagi menyelesaikan buku tentang Bung Hatta.
Wajahnya masih sangat segar. Gaya Jogja-nya masih sangat lembut –ia alumnus Universitas Gajah Mada.
“Dahlan, Anda berkhianat dua kali,” ujarnya sambil tertawa ngakak.
Yang satunya apa ya?
“Berdasarkan kontrak, Anda harus kembali ke Samarinda. Untuk memajukan koran di Kaltim,” katanya.
Rupanya Arselan lupa.
Saya benar-benar sudah kembali ke Kaltim. Ke Samarinda. Tetap bekerja lagi di koran Mimbar Masyarakat –koran mahasiswa yang beralih ke koran umum.
Memang, ketika pendidikan di LP3ES itu berakhir Mas Bur minta saya: jangan pulang. “Anda di Jakarta saja. Anda memenuhi syarat jadi wartawan TEMPO,” ujarnya.
Tapi saya menjawab bahwa saya terikat kontrak. Mas Bur ngotot. Tapi saya tidak mau. “Ya sudah. Anda pulang ke Kaltim tapi jadi wartawan TEMPO juga di sana,” ujarnya.
“Bolehkah saya tetap merangkap di Mimbar Masyarakat?“ tanya saya.
“Boleh,” jawabnya.
Besoknya saya pulang ke Samarinda. Sudah membawa kartu pers sebagai wartawan TEMPO. Gagahnya bukan main –menurut perasaan saya.
Begitulah. Kalau Senin lalu saya ‘berkhianat’ lagi, ceritanya seperti itu. Saya tidak senang, tapi apa boleh buat.
Sebenarnya masih ada satu ‘pengkhianatan’ lagi. Tahun kedua sebagai wartawan TEMPO saya ‘berselingkuh’. Setiap hari saya menulis berita untuk harian Kompas.
Menunggu tulisan dimuat di TEMPO terlalu lama –maklum mingguan. Di Kompas begitu cepat prosesnya. Hari ini dikirim, besoknya sudah bisa dibaca.
Enam bulan kemudian, seorang redaktur Kompas ke Samarinda. Khusus untuk menemui saya. Ia minta saya monoloyalitas –hanya menulis untuk Kompas. Saya akan secara resmi diangkat sebagai wartawan Kompas.
Saya yang justru gementeran.
Saya mengalami kesulitan bagaimana bisa pamit dari TEMPO.
Justru saat itu saya menolak dikawini Kompas. Saya pun mengirim surat ke pimpinan TEMPO. Saya menceritakan perselingkuhan saya itu. Lalu minta maaf. Tobat. Sejak itu saya menyatakan kesetiaan seumur hidup pada TEMPO.
Bahwa kemudian saya tidak di TEMPO lagi sepenuhnya itu atas penugasan resmi dari TEMPO.
Semua itu karena LP3ES. Bagaimana bisa saya menolak untuk sekedar berbicara tentang BUMN –di Zoom.
Ampunilah.(dis)