NasionalPolitik

Menimbang Nasib Partai dalam Revisi UU Pemilu

×

Menimbang Nasib Partai dalam Revisi UU Pemilu

Sebarkan artikel ini
ILUSTRASI standing banner memuat daftar Parpol peserta Pemilu 2019. (foto: matamatapolitik.com)

HARIANHALMAHERA.COM–Pemilu 2024 dapat dikatakan masih jauh. Namun, Komisi II DPR tengah menggodok tiga opsi terkait ambang batas parlemen atau parliamentary threshold (PT) dalam pembahasan dalam revisi Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Sebagaimana diberitakan CNNIndonesia.com, tiga opsi itu adalah tetap di angka 4 persen, naik menjadi 7 persen, atau ambang batas yang berjenjang. Ambang batas parlemen atau parliamentary threshold adalah syarat perolehan suara bagi partai politik untuk bisa mendapat kursi di DPR. Parliamentary threshold dalam UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilu yang sekarang masih sah berlaku adalah 4 persen.

Jika partai peserta pemilu tidak mampu meraih suara 4 persen secara nasional, maka suaranya hangus dan tidak mendapat kursi di parlemen. Contohnya dialami oleh Partai Berkarya, Partai Garuda, Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Perindo serta Hanura dalam Pemilu 2019 lalu.

Saat ini, Komisi II DPR tengah menggodok kembali UU tersebut untuk direvisi. Sejumlah fraksi partai politik di DPR memiliki pendapat yang berbeda-beda. Sembilan partai politik yang masuk ke Senayan untuk periode 2019-2024 terbelah ke tiga tersebut dengan berbagai alasan.

Bahkan, beberapa parpol menyatakan sikap yang berbeda atau di luar tiga opsi tersebut. Partai Demokrat, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Amanat Nasional (PAN) menganggap parliamentary threshold tidak perlu dinaikkan alias tetap di angka 4 persen.

“Menurut hemat kami, angka PT 4 persen adalah angka yang realistik dan bijak untuk diterapkan,” kata Kepala Badan Komunikasi Strategis DPP Partai Demokrat Ossy Dermawan saat dihubungi CNNIndonesia.com, Selasa (9/6).

Dia menerangkan bahwa parliamentary threshold yang diberlakukan untuk penyederhanaan partai di parlemen harus mempertimbangkan keterwakilan suara rakyat. Menurutnya, semakin besar PT yang diberlakukan maka semakin besar pula kemungkinan suara rakyat yang terbuang atau tidak terakomodir.

Senada, Wakil Ketua Umum PPP Arwani Thomafi menyatakan bahwa menaikkan parliamentary threshold akan membuat semakin banyak suara yang hangus atau hilang sia-sia karena Indonesia menerapkan sistem proporsional.

Menurutnya, PPP memilih agar parliamentary threshold tetap empat persen atau tidak dinaikkan untuk Pemilu 2024 mendatang. Pada Pemilu 2019 lalu, PPP memperoleh 4,52 persen suara nasional. “Kalau PT dinaikkan semakin banyak suara yang hangus dan semakin meningkatkan disproporsionalitas,” kata Arwani.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal PAN Eddy Soeparno menyatakan bahwa partainya akan mempertahankan PT tetap 4 persen. Diketahui, PAN meraih 6,80 persen pada Pemilu 2019 lalu. “Kita per hari ini sesuai arahan Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan, kita ingin tetap mempertahankan itu di 4 persen karena dengan 4 persen rasanya suara-suara masyarakat, konstituen, sudah terwakili dengan baik meskipun masih ada yang belum tertampung,” kata Eddy.

Eddy berkata, sekitar 13,5 juta suara yang tidak terwakili di DPR pada Pemilu 2019 silam karena ada beberapa partai yang tak lolos parliamentary threshold. “Ini kalau memang mau dinaikkan PT lebih tinggi lagi, dikhawatirkan semakin banyak suara dari pemilih itu yang tidak akan terwakili nanti ke depannya,” ujarnya.

Sementara itu, opsi kedua yang menaikkan PT menjadi 7 persen mendapatkan dukungan dari Partai NasDem dan Partai Golkar. Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto dan Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh sudah mendiskusikan hal tersebut dalam pertemuan di Kantor DPP Partai Golkar di Slipi, Jakarta Barat, 9 Maret 2020.

Menurut Airlangga, kenaikan PT merupakan gagasan yang baik dan Partai Golkar mendukungnya. Pada Pemilu 2019, Golkar mendapat 12,31 persen, sementara NasDem meraih 9,05 persen suara nasional. “Terkait dengan parliamentary threshold ada usulan dari Pak Surya bahwa PT [sebesar] 7 persen. Partai Golkar juga melihat ini suatu yang bagus dan akan mendukung konsep tersebut,” kata Airlangga dalam konferensi pers kala itu.

Sementara, Partai Gerindra belum menentukan sikap hingga saat ini. Ketua DPP Partai Gerindra Sodik Mudjahid mengatakan bahwa rencana kenaikan PT dari 4 menjadi 7 persen sempat dibahas dalam Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) pada Sabtu (6/6) lalu.

“Keputusan final akan disampaikan jelang pembahasan dengan pemerintah. Kader banyak mengusulkan terbuka dan PT kami juga melihat sampai saat saat akhir pendapat partai di DPR dan masukan masyarakat,” tutur Sodik.

Di sisi lain, PDIP sebagai partai pemenang Pemilu 2019 merekomendasikan agar PT naik menjadi 5 persen. Rekomendasi itu diambil partai pimpinan Megawati Soekarnoputri tersebut dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) I PDIP yang dihelat Januari 2020.

PDIP memperjuangkan agar perubahan UU Pemilu bisa mengembalikan Pemilu Indonesia kembali menggunakan sistem proporsional daftar tertutup dan peningkatan PT sekurang-kurangnya 5 persen, serta pemberlakuan ambang batas parlemen secara berjenjang yakni 5 persen untuk DPR RI, 4 persen untuk DPRD tingkat provinsi, dan 3 persen untuk DPRD tingkat kabupaten/kota.

“Itu dalam rangka mewujudkan presidensialisme dan pemerintahan efektif dan penguatan serta penyederhanaan sistem kepartaian serta menciptakan pemilu murah,” kata Sekretaris Jendral PDIP Hasto Kristiyanto ketika itu.

Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera berkata bahwa partainya berpendapat bahwa parliamentary threshold dan ambang batas presiden harus sama yakni di 4,5 persen. Pada Pemilu 2019 lalu, PKS mendapat 8,21 persen suara nasional. “Ambang batas untuk presiden sama dengan ambang batas untuk parlemen agar tidak ada barrier to entry. PKS usul ambang batas parlemen dan presiden sama di angka 4,5 persen,” ucap dia.

Parliamentary threshold sendiri terus bertambah. Pada Pemilu 2009, ambang batas parlemen adalah 2,5 persen suara. Bertambah menjadi 3,5 persen pada Pemilu 2014 dan 4 persen pada Pemilu 2019.

Pemilu 2019 juga memiliki ciri yang berbeda, yakni pemilihan anggota legislatif dilangsungkan bersamaan dengan pemilihan presiden. Tidak seperti sebelumnya ketika pileg dilakukan beberapa bulan terlebih dahulu.

Hasil suara pileg tersebut lalu dipakai sebagai patokan syarat presidential threshold. Tidak seperti pada Pemilu 2019. Lantaran pileg dan pilpres dihelat secara serentak, maka patokan suara sebagai syarat presidential threshold adalah hasil pemilu 2014.(cnn/fir)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *