ADA guyonan; semakin canggih sistem keamanan yang dubuat, semakin canggih pula cara yang digunakan pencuri untuk membobol.
Mungkin ini tepat saat melihat perkembangan dugaan korupsi yang melibatkan Ketua Umum PPP Romahurmuziy yang kini sudah berstatus tersangka dan dalam masa penahanan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Dalam penyelidikan lembaga anti rasuah itu, Romi, sapaan Romahurmuziy, diduga terlibat suap jual beli jabatan dengan motif memanfaatkan pengaruh.
Sepintas, dugaan terhadap Romi dapat dikatakan sangat tidak mungkin. Karena, dalam pengisian pejabat sudah ada aturan mainnya. Yakni, UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), ditambah aturan-aturan tambahan, seperti peraturan pemerintah, [eraturan menteri, hingga surat edaran.
Dalam semua aturan itu, diamanatkan, bahwa pengisian jabatan pimpinan tinggi utama dan madya pada kementerian, kesekretariatan lembaga negara, lembaga nonstruktural, dan instansi daerah dilakukan secara terbuka dan kompetitif.
Ditambah pula dengan memperhatikan syarat kompetensi, kualifikasi, kepangkatan, pendidikan dan latihan, rekam jejak jabatan, dan integritas. Masih ada lagi persyaratan lain yang dibutuhkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan dilakukan pada tingkat nasional.
Lelang pejabat secara terbuka ini, sederhananya diketahui oleh publik. Karena seperti lelang barang dan jasa, harus diumumkan lowongan apa saja yang dibuka. Kemudian, siapa saja yang mendaftar. Seleksinya pun ketat.
Namun, sistem ini ternyata bisa juga bobol. Tidak mampu mencegah terjainya praktik suap, jual beli jabatan, atau karena intervensi dari luar. Seperti yang terjadi pada kasus Romi.
Jika ini bisa terjadi pada tingkat nasional, bukankah bisa juga terjadi pada tingkat lokal. Ini pula yang menjadi kekecewaan pakar hukum pidana Universitas Al Azhar Indonesia Suparji Ahmad.
Menurut dia, lelang jabatan terbuka seharusnya bisa menutup celah kecurangan dalam pengisian jabatan di instansi pemerintah. Tapi, kasus yang melibatkan Romy menunjukkan bahwa sistem tersebut masih bisa diintervensi dari luar. “Menyedihkan, lelang terbuka hanya formalitas,” tegas dia.
Tentu saja, hal ini mencerminkan penilaian yang buruk bagi publik. Akan muncul ketidakpercayaan terhadap seluruh sistem yang dibangun. Meski disebut transparan dan ‘ditakuti’ ancaman yang tertuang dalam aturan.
Seperti pada beberapa kasus hukum yang melibatkan pendukung kedua pasangan calon. Sampai saat ini terus menuai polemik. Katanya hukum berat sebelah. Katanya lagi, hukum tajam ke bawah tapi tumpul ke atas.
Inilah yang menjadi saat ini kekhawatiran, ketika publik tidak lagi percaya 100 persen kepada pemerintah. Dampaknya tidak ada lagi partisipasi ‘ikhlas’ dalam setiap program pembangunan dari pemerintah.
Memiriskan lagi, benar bahwa korupsi ini sudah menjadi budaya. Sifatnya sudah turun temurun. Tentunya, belum menjadi jaminan generasi milenial saat ini akan bebas dari praktik kotor itu. Karena terlalu kompleks permasalahan internal yang dihadapi bangsa ini.
Era reformasi yang dihrapkan membawa perubahan baru terhadap bangsa ini, nyatanya sama saja. Bahkan lebih buruk lagi. Kebebasan era reformasi justru memunculkan penjahat-penjahat baru yang notabene lahir dari rahim reformasi itu sendiri.(*)