HARIANHALMAHERA.COM – Indonesia akan segera memiliki industri bahan baku untuk baterai mobil listrik pertama yang tengah dibangun di Maluku Utara (Malut) tepatanya di Pulau Obi, Kabupaten Halmahera Selatan (Halsel).
Pabrik bahan baku yang tengah dibangun Harita Nickel itu, jika tidak ada halangan,, akan mulai berproduksi pada akhir 2020. “Sekarang sedang memasuki tahap konstruksi akhir,” ucap Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Malut, Nirwan MT Ali Kamis, (18/6).
Karena merupakan yang pertama di Indonesia, maka ini kata dia menjadi kebanggan tersendiri bagi Malut sebagai daerah yang aman dan nyaman untuk investasi.
“Industri ini tergolong baru dengan teknologi mutakhir. Di Indonesia pertama kali ada ya di Malut nantinya. Industri ini akan mengolah nikel kadar rendah menjadi bahan baku baterai mobil listrik, yakni nikel sulfat dan kobalt sulfat. Mobil listrik sendiri lebih ramah lingkungan dibandingkan transportasi dengan bahan bakar minyak (BBM),” jelas Nirwan .
Diakui industri ini memiliki nilai investasi yang cukup besar dan membutuhkan tenaga kerja profesional yang tidak sedikit. Nilai investasinya mencapai Rp.14 triliun dengan mayoritas pemegang saham berasal dari dalam negeri.
“Pabrik pengolahan dan pemurnian nikel dengan proses hydrometallurgy yang ramah lingkungan karena pemakaian energi listriknya rendah. Hasilnya, bahan baku utama dari katoda baterai mobil listrik”, urainya.
Di saat yang sama, Kepala Dinas Energi dan Sumber daya Mineral (ESDM), Hasyim Daeng Barang menambahkan teknologi pengolahan dan pemurnian mineral dengan proses hidrometalurgi akan sangat menguntungkan dalam konservasi sumber daya alam, khususnya nikel.
Selama ini, smelter yang ada di Indonesia menyerap nikel kadar tinggi 1,7 ke atas. Sedangkan proses hidrometalurgi yang dikembangkan oleh Harita di Obi, menggunakan nikel kadar rendah di bawah 1,7.
“Nikel kadar rendah yang selama ini terbuang atau tidak terpakai, akan memiliki nilai ekonomis sebagai bahan baku dari pabrik pengolahan dan pemurnian baru ini. Secara singkat, teknologi yang ramah lingkungan ini mengolah bahan tidak terpakai menjadi bahan baku baterai listrik yang bernilai tinggi ke depannya. Cadangan nikel kadar rendah sangat banyak di Indonesia termasuk di Malut. Ini kesempatan besar buat Indonesia menjadi pemain dunia batu baterai mobil listrik”, ungkap Hasyim .
Industri baru ini akan membutuhkan 1.920 orang tenaga kerja profesional, belum termasuk kontraktor dan industri pendukung lainnya. Banyak sekali dampak lanjutan berikutnya, seperti putaran ekonomi yang akan memicu dan memacu penguatan ekonomi lokal serta usaha lainnya. Dampak langsung seperti peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan penyerapan tenaga kerja, hanya sebagian dari dampak lainnya.
“Seperti diketahui, PAD Maluku Utara pada 2019 sebesar Rp.433 miliar. Jumlah ini tentunya dapat meningkat saat industri ini berjalan. Ditambah lagi, dengan adanya industri ini, potensi Malut sebagai tujuan investasi semakin besar. Berbagai peluang usaha dari skala kecil sampai besar berpotensi akan tumbuh seiring dengan tumbuhnya investasi,” tambah Hasyim.
Nirwan berharap, industri ini dapat berproduksi sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan. Hal ini sangat membantu perekonomian secara umum yang terpuruk akibat pandemi Covid 19. Manfaat terbesar lainnya adalah adanya pemindahan ilmu pengetahuan dan teknologi dari tenaga kerja asing asal Tiongkok kepada putra puteri bangsa, khususnya dari Malut.
“Secara bertahap, kita akan mengelola industri tersebut dan dukungan TKA semakin lama akan semakin sedikit seiring kemajuan dan profesionalitas anak-anak kita,” tukas Nirwan.(pur)