Inilah untuk pertama kali saya melayat di masa Covid-19. Tadi malam. Di Surabaya.
Yang meninggal seorang wanita bernama Rahayu A. Harsono. Umur 88 tahun. Dia ibunda teman baik saya: Arif Harsono, seorang pengusaha besar –terbesar di Indonesia untuk bisnis oksigen dan produk gas lainnya.
Sang ibu meninggal di rumah. Sejak masih sakit anak-anaknyi sepakat untuk tidak membawanyi ke rumah sakit. Dokter juga menyarankan tidak perlu masuk rumah sakit.
Justru bisa tertular virus.
Apalagi di rumahnyi itu sudah melebihi rumah sakit. Anak-anaknyi membangun satu kamar khusus untuk merawat sang ibu. Yang di masa tuanyi terkena gangguan ginjal itu. Kamar itu sudah seperti VVIP Room di ICU rumah sakit terkenal.
Anak-anaknyi khawatir kalau sang ibu meninggal di rumah sakit urusannya akan panjang. Bisa-bisa harus dimakamkan dengan prosedur Covid.
Alharhum memang akhirnya meninggal: tanggal 6 Juli lalu. pukul 3 sore.
Jenazahnyi disemayamkan di tempat yang istimewa: gedung olahraga. Arif Harsono memang memiliki klub bola voli: Samator. Salah satu yang terkuat di Indonesia. Sejak puluhan tahun lalu.
Tapi gedung olahraga itu dihias dulu. Menjadi mirip ballroom hotel bintang lima. Seluruh plafon dan dindingnya ditutup kain kuning mengkilap.
Ruang besar itu pun menjadi ruang duka. Mayatnyi ditaruh di dalam peti di ujung hall. Berhias bunga yang luar biasa indah dan banyaknya.
Persemayaman itu dipilihkan ruang besar karena Covid-19. Agar pelayat bisa aman dari penularan Covid. Tempat duduk pelayat pun dibuat berjauhan. Dan selalu dibersihkan.
Saya sendiri harus antre masuk dengan prosedur Covid. Harus dicek suhu. Pakai thermo gun. Juga harus cuci tangan dengan disinfektan. Setiap melangkah maju harus menginjak titik yang ditentukan. Jarak antrean antar pelayat satu meter lebih.
Saya harus menunggu lama untuk bisa mendapat giliran berdoa di depan jenazah. Begitu banyak rombongan dari umat Buddha yang antre sembahyang di situ.
Arif Harsono memang tokoh Buddha. Dari aliran Maitreya. Jasanya pada agama Buddha luar biasa. Ia ikut membangun lebih 400 vihara di seluruh Indonesia.
Salah satu yang terbesar adalah yang di Medan. Seluas 5 hektare. Lengkap dengan sekolah sampai tingkat SMA.
Demikian juga yang di Batam. Sampai punya perguruan tinggi. Pokoknya, tanyalah setiap vihara Maitreya. Pasti ada nama Arif Harsono di dalamnya.
”Rezeki saya ini dari Tuhan. Harus saya kembalikan ke Tuhan,” katanya suatu saat pada saya.
Bahan baku bisnisnya, oksigen, memang murni dari udara. Tidak ada campuran apa pun. Ia tidak harus menanam bahan baku. Juga tidak perlu menambang.
Nama perusahaannya: PT Samator. Ia unggul dari siapa pun. Pernah ia punya pesaing dari perusahaan raksasa. Dari Amerika pula.
Samator menang.
Sudah lama perusahaan Amerika itu undur diri dari Indonesia. Kalah.
Arif Harsono lahir di Toli-Toli, Sulawesi Tengah. Di daerah yang sangat gersang. Di sana, waktu itu, hanya ada pohon kelapa. Atau batu gunung.
Salah satu adiknya menderita sakit jantung bawaan. Tidak ada dokter jantung di Toli-Toli –pada 1964. Maka keluarga ini pindah ke Surabaya. Arif saat itu masih berumur 10 tahun.
Sampai di Surabaya tidak bisa sekolah. Sekolah Tionghoa ditutup. Arif pun sekolah di SD Negeri. Itulah yang membawa Arif punya pergaulan yang luas. Teman-temannya tidak hanya dari kalangan Tionghoa.
Sang ayah –apalagi kalau bukan– pengusaha kopra. Zaman itu kopra adalah emas-nya Indonesia. Sang ayah berteman baik dengan pedagang besar kopra lainnya: Eka Tjipta Widjaya. Yang kelak menjadi konglomerat terbesar di Indonesia –lewat grup Sinar Mas-nya.
Sang ibu dimakamkan hari ini. Karangan bunga luar biasa panjangnya. Mengular di sepanjang jalan Kedung Baruk Surabaya.
Di situlah, di sebelah gedung olahraga itu, Arif membangun kerajaan barunya: properti. Ia membangun tiga tower. Satu untuk hotel Novotel. Satu lagi untuk apartemen. Dan tower ketiga untuk gedung perkantoran.
Saya parkir di basement tower-tower itu. Lalu jalan kaki ke gedung olahraga di sebelahnya.
Di persemayaman saya bisa bertemu Arif dan adik-adiknya. Mereka tujuh bersaudara. Semua kumpul di PT Samator. Yang lima orang tetap menganut Buddha meski tidak semuanya Maitreya. Yang dua, wanita, kini menganut Kristen –ikut suami mereka.
Ayah mereka sudah meninggal 40 tahun lalu. Dan sang istri terpaksa tidak bisa satu pemakaman dengan sang suami. Makam yang lama itu sulit dimasuki. Sudah terhalang banyak pemukiman.
Maka sang ibu setuju kalau dimakamkan terpisah. Di Lawang, dekat Malang. Toh tidak begitu jauh dari makam sang suami.
Padahal, saat memakamkan sang ayah dulu, sudah sekalian digali lubang untuk calon makam sang ibu.
Sang anak, sepanjang hari, terus di ruang persemayaman itu. Setiap kali ada rombongan yang sembahyang ia harus mendampingi. Sepanjang hari. Dari pagi sampai malam. Selama lima hari.
Sang anak kelihatan lega bisa memberikan penghormatan terakhir bagi ibunda secara layak. Kalau saja salah langkah mereka tidak akan bisa melawan prosedur pemakaman Covid-19.
Amitohu!(dis)