HARIANHALMAHERA.COM–Alokasi anggaran sebesar Rp 162 miliar yang diploting pemerintah provinsi (Pemprov) Maluku Utara (Malut) di APBD 2020, ternyata belum cukup untuk penanganan Covid-19.
Alih-alih mencukupi, Pemprov justeru mengalami defisit anggaran. Karenanya, untuk penanganan tahap kedua ini, Pemprov terpaksa harus mencari sumber pendanaan di luar APBD, salah satunya melibatkan semua perusahaan yang beroperasi di Malut untuk ikut berkontribusi memberikan bantuan anggaran.
Dan tugas ini oleh TAPD diserahkan kepada Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Kepala Dinas ESDM Hasyim Daeng Barang mengatakan, kewajiban perusahaan bersama-sama pemerintah daerah membantu penanganan setiap bencana non alam ini sesuai amanat undang-undang.
Karenanya, pelibatan perusahaan akan dilakukan lewat penandatanganan Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD) yang akan dimulai pekan ini. “Kita sudah sudah menyurati seluruh perusahan agar berkontribusi dalam penanganan Covid -19,” katanya.
Surat ESDM itu pun langsung mendapat respon positif dari beberapa perusahaan.. “Mereka merespon baik dan mereka juga ingin berkontribusi ke daerah,” katanya. Meski begitu, Pemprov tidak mematok berapa besar anggaran yang harus diberikan perusahan. “Berapa besar, terserah perusahan,” katanya.
Sesuai data dinas ESDM, ada sekitar 103 perusahan pemegang izin operasi di Malut. “Jadi dia beroprasi disini kita minta kontribusi untuk pembangunan daerah. Pemda menggunakan ini untuk masyarakat bukan untuk pribadi,” tegasnya.
Kepala Badan Pengelolahan Keuangan Daerah (BPKAD) yang juga anggota TAPD Malut Bambang Hermawan mengaku, rapat bersama Dinas ESDM menindaklanjuti adanya kemauan dari pemegang izin usaha pertambangan (IUP) untuk menyumbang khusus penanganan Covid -19.
Sejauh ini dia menyebut beberapa perusahaan tambang besar yang bersedia membantu yakni PT NHM yang bersedia menyumbang sebesar Rp 4 miliar hingga Rp 5 miliar, PT IWIP juga dengan angka yang sama.
Kemudian ada juga Harita Nickel yang bersedia menyumbang Rp 4,5 miliar serta perusahan lain yang belum produksi seperti PT Antam Tbk yang siap membantu Rp 2 miliar hingga Rp 3 Miliar. “Kalau diestimasikan akan bisa mengumpulkan Rp 25 sampai 30 Miliar dan itu semata-mata untuk penanganan Covid-19,” katanya.
Dengan ketidakpastian kondisi pandemi ini, setidaknya Pemprov sudah siap dari sisi anggaran. “Kita tidak tau perkembangan apakah ada gelombang kedua atau ketiga tetapi paling tidak kita mempersiapkan seperti bagimana pemulihan ekonominya, bagaimana jaring pengaman sosialnya apabila terjadi gelombang kedua atau lanjutan Covid-19,” jelasnya.
Rencnanya, penandatanganaan HPHD akan dilakukan pekan ini. “Kita akan undang seluruh perusahan, sehingga keterbatasan dana untuk penanganan Covid-19 bisa tertangangi,” ucapnya.
Terkait penggunaan anggaran Covid-19 sebesar Rp 168 miliar yang berumber dari APBD, Bambang menyebut terhiting sejak Maret hingga Agustus, anggaran yang telah terpakai sebesar Rp 122 miliar.
“Rp 122 miliar itu yang paling banyak adalah belanja modal untuk penanganan misalnya belanja karantina rumah sakit Sofifi, kemudian belanja untuk X-rey yang permanen maupun yang mkbile. Mesin PCR, ruang negatif yang akan digunakan pada saat perawatan pasien, ventilator begitu juga ruang untuk menguji simpel spesimen,” katanya
Untuk saat ini anggaran yang dibutuhkan paling besar yakni untuk operasional di RSU Sofifi tahap awal sebesar Rp 7,5 miliar. Kemudian persiapan pemulihan ekonomi sekitar Rp 5 miliar Rp 10 Miliar untuk penanganan kesehatan dan sisanya untuk jaring pengaman sosial (JPS).
Total anggaran sebesar Rp 15 ,6 miliar. Angaran ini kata dia bersumber dari Dana Insentif Daerah (DID). Ini belum termasuk tambahan anggaran dari DTT yang diploting di APBDP 2020. “Yang dari DTT kita siapkan sekitar Rp 30 miliar cadangan untuk berjaga-jaga,” katanya
Saat ini semua anggarannya melekat pada OPD masing-masing sesuai tupoksinya tidak seperti tahap pertama. “Misalnya pemulihan ekonomi ada di Koperasi, Perindag dan Balitbangda sehingga melekat sesuai tupoksi,” katanya.
Sedangkan untuk RSUD dr CB, karena statusnya adalah Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) sehingga perhitungannya subdisi. “Kalau tahap satu pembiayaan RSUD sebagai anggota Gustu, tapi sekarang sebagai BLUD sehingga menghitung baru menagih jadi itu perbedaannya antara Gustu dan Satgas” jelasnya.
Bambang mengakui, perbedaan antara gugus tugas (gustu) dan Satuan tugas (Satgas) adalah beban kerja. sejak masih dibentuk Gustu, jumlah tenaga penindakan, pencegahan hampir 800 orang.
“Sekarang dengan satgas tidak ada hanya mengsingkronkan dengan SKPD terkait maupun instansi fertikal terkait kemudian kerja samanya disusun berdasarkan kebutuhan. Kalau Gustu tidak penetapan kemudian menjadi beban daerah, namun sekarang mungkin sharing wilayah. Kalau dibutuhkan upaya gabungan baru dihitung kegiatan gabungan apa kemudian pendanaan apa saja dan melekat di mana.” Kalau melekat di keuangan maka menggunakan dana DTT,kalau melekat di OPD maka menggunakan dana yang tersedia di OPD” jelasnya panjang lembar.
Untuk tempat karantina sendiri, dia menyebutkan telah menghabiskan anggaran sebesar Rp 20 hingga Rp 25 miliar, itu hanya untuk anggaran operasional, belum termasuk biaya sewa hotel.
“Karena sewa Hotel satu bulan Rp 3 miliar mulai April sampai Agustus jadi sekitar Rp 15 miliar. ditambah operasional sekitar Rp 40 miliar,” tukas Bambang seraya mengaku seluruh anggaran karantina berasal dari Rp 162 miliar.(lfa/pur)