HARIANHALMAHERA.COM–Pernyataan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) terkait rencana mengeluarkan Peraturan Menteri (Permen) terkait pemblokiran media sosial (medsos), mulai ramai ditanggapi. Pernyataan itu kembali menimbulkan kontroversi.
Dikutip dari Jawapos.com, Chairman Communication and Information System Security Research Center (CISSReC), Pratama Persadha menilai pemerintah jangan kembali membuat kegaduhan dengan menelurkan aturan yang berpotensi merugikan masyarakat. Wacana aturan blokir medsos ini juga langsung menjadi topik pembicaraan di masyarakat dan dikhawatirkan akan mengekang kebebasan berekspresi.
Untuk menerapkan hal tersebut, Pratama meminta pemerintah untuk tidak sembarangan mengambil keputusan. Jika ingin melakukan eksekusi aturan tersebut, ada beberapa hal yang mesti diperhatikan.
“Bila yang diblokir benar akun medsos bermasalah itu bisa diterima, namun bila salah bagaimana pertanggungjawabannya padahal sudah merugikan pihak lain. Misalnya dalam memblokir website radikal, memang ada banyak website yang berhasil diblokir, namun tak sedikit yang salah blokir,” ungkap Pratama kepada JawaPos.com.
Pemerintah dalam hal ini Kemenkominfo menurut Pratama harus membuat konten jawaban dari setiap hoaks yang beredar. Di saat yang sama Kemenkominfo bisa melakukan blokir konten dan akun media sosial yang terus menerus memposting hoaks, Kemenkominfo juga harus membuka akses bila ternyata salah melakukan blokir.
Selanjutnya, Pratama meminta konsentrasi pemerintah dalam hal ini Kemenkominfo harusnya tidak hanya pada masyarakat. Kemenkominfo juga diminta harus bekerja sama dengan platform media sosial.
“Misalnya di Inggris dan Jerman, bila ada konten hoaks terlalu lama di sebuah platform dan tidak dihapus meski sudah ada permintaan, maka platform tersebut bisa dihukum denda maupun blokir bila memang tidak ada respon,” ucap pria asal Cepu ini.
Jadi, lanjut dia, kebijakannya tidak hanya menghukum pelaku, namun menciptakan upaya feedback ekosistem pada sebuah platform. Ini juga membuka kemungkinan terhadap kontribusi masyarakat dalam menentukan mana konten hoaks dan tidak.
Selain itu, Kemenkominfo juga diminta untuk memiliki parameter yang jelas jika ingin mengambil tindakan pemblokiran medsos. Kemudian juga, Kemenkominfo harus memiliki mekanisme banding baik bagi platform maupun akun yang diblokir. “Mekanisme banding ini harus ada. Jadi semua harus diletakkan pada sebuah mekanisme terbuka, agar tidak berkesan ini menjadi kebijakan yang otoriter,” tegas Pratama.
Jika aturan ini diimplementasikan, pemerintah juga diminta terbuka menghadapi konsekuensi hukum yang akan terjadi. Menurutnya, jika salah mengambil tindakan dan ternyata salah memblokir, pemilik akun atau medsos yang bersangkutan bisa saja melakukan tuntutan balik.
“Dalam kasus yang ramai sekarang memang Kominfo lebih fokus pada pemblokiran akun, jadi lebih detail dan lebih teknis. Ini akan menguras tenaga sekali bila tidak dilakukan secara baik, karena bila salah blokir maka Kominfo harus menghadapi kemungkinan tuntutan hukum juga bila tidak membuka fasilitasi banding maupun dialog,” sambung Pratama.
Terakhir, dia menyatakan dengan aturan ini nantinya, ada pendekatan yang perlu diubah. Menurutnya, jangan selalu masyarakat dijadikan objek yang bermasalah dalam kasus hoaks. “Padahal Kominfo sendiri sebenarnya juga memegang peran besar dalam beredarnya hoaks di tanah air, salah satu faktor terbesar maraknya hoaks adalah regulasi longgar terkait pendaftaran kartu seluler prabayar,” tandasnya.(jpc/fir)