IA bukan seorang ilmuwan –dalam pengertian akademisi. Tapi buku yang ia terbitkan ini bisa meruntuhkan teori lama yang sudah mengakar: dari mana asal usul orang Minahasa.
Nama penulis buku itu: Weliam H Boseke. Asli Manado. Buku yang ia tulis berjudul Leluhur Minahasa. Tebalnya 332 halaman.
Sebenarnya buku itu sudah diterbitkan tahun 2018 tapi saya baru tahu minggu lalu. Seorang teman pengusaha mengirimkannya ke rumah saya.
Begitu membukanya, saya langsung ingin menamatkannya. Baru kali ini saya membaca buku dimulai sejak dari kata pengantarnya. Yang panjangnya 21 halaman. Yang ditulis oleh seorang ahli etnomusikologi dari Universitas Sam Ratulangi Manado: Prof Dr Perry Rumengan.
Biasanya saya membaca kata pengantar belakangan. Takut terpengaruh opini di kata pengantar itu. Tapi kali ini saya sengaja mengubah kebiasaan itu. Itu karena awalnya saya lebih percaya pada reputasi guru besar itu daripada penulis buku ini.
Ternyata Prof Perry sendiri kaget dengan isi buku yang ia antarkan itu. Bahkan Prof Perry menegaskan akan melakukan koreksi atas teorinya selama ini.
Padahal Weliam Boseke bukan seorang akademisi. Penelitian yang ia lakukan pun tidak didasarkan pada metode penelitian ilmiah. Prof Perry lebih menggelari Boseke sebagai pengusaha yang gigih. Termasuk gigih dalam menelusuri asal usul Minahasa itu.
Intinya: Boseke membuktikan bahwa asal usul orang Minahasa adalah dari bangsa Han.
Boseke banyak sekali menelusuri asal usul kata-kata yang ada di Minahasa. Ratulangi itu misalnya dari kata “rao tu lang yi“‘. Kawilarang itu dari ”kai hui la ran”. Lasut itu dari “la shu de“. Sumual dari ”shu mou ao le’‘. Sumendap dari kata ”shu men dao pe’‘. Sumakut dari ”shu mou gu de”. Lumintang dari ”lu mon tang”. Sarundayang dari ”sha ru en dao yang”.
Nama apa pun yang sekarang ada di Manado ditemukan asal usulnya dalam bahasa Han. Termasuk Supit, Sumual, dan banyak lagi. Saya agak kecewa ketika tidak menemukan asal usul nama Samola –mentor yang paling memengaruhi jalan hidup saya: Eric Samola.
Awal 1980-an, ketika pertama kali mendarat di Manado, saya membaca dari balik jendela pesawat tulisan besar di atap bandara: Sitou Timou Tumou Tou.
Saya tidak pernah bertanya apa arti kalimat itu. Logika saya berjalan: pasti itu semacam kalimat “Selamat Datang di Manado”.
Saya menyesal pernah sombong seperti itu. Belakangan baru saya tahu: bahwa itu bukan ucapan selamat datang. Itu adalah filsafat orang Minahasa yang ditulis dalam bahasa Minahasa. Yang artinya: orang hidup itu harus menghidupi orang hidup. Atau: manusia itu harus memanusiakan manusia.
Begitu dalam artinya. Saya pun kagum dengan filsafat tinggi orang Minahasa.
Dalam buku ini, Boseke menegaskan, Sitou Timou Tumou Tou itu adalah filsafat yang hidup di zaman dinasti Han. Bandingkan bunyinya dengan kalimat aslinya ini: Zi Tou Tu Mou Tu Mou Zi Tou. Yang artinya sama dengan yang tadi itu.
Pun lambang Minahasa yang dulu ikut menghiasi wajah depan semua KTP di sana. Di bagian bawah lambang itu tertulis motto: i yayat li santi. Artinya: bergembiralah dan agungkan Tuhan.
Itu, menurut Boseke, juga sesanti dari dinasti Han. Terutama di masa kemakmuran kekaisaran Han. Hanya saja kata ”Tuhan” di situ aslinya berarti ”Kaisar”. Yang di sana juga dianggap setengah Tuhan.
Di Minahasa kuburan disebut ”waruga“. Kata aslinya berbunyi ”wa ru ge’‘. Atau dalam huruf Mandarin ditulis 挖入格.
Kata itu sebenarnya berarti peti mati. Lalu bertransformasi menjadi kuburan.
Di buku itu juga ditulis bahwa hampir semua nama kampung lama di Minahasa asalnya dari bahasa Han. Demikian juga nama-nama gunung. Termasuk istilah-istilah sehari-hari di sana.
Boseke tergugah melakukan penelusuran (istilah saya untuk mengganti penelitian) bermula dari kakeknya. Yang sangat dituakan di Minahasa. Dulu. Setiap ada acara-acara adat ritual kakeknyalah yang diminta membaca mantra.
Tapi sang kakek sendiri tidak tahu arti dari mantra yang dilagukan itu. “Itu bahasa Minahasa tua,” ujar sang kakek setiap kali ditanya. “Rumit sekali menjelaskan artinya,” tambah sang kakek.
Setelah kakeknya meninggal tugas itu menjadi tanggung jawab pamannya. Tapi sang paman juga tidak tahu arti dalam mantra itu. Tapi setiap kali melagukannya selalu saja nadanya sendu. Sedih. Seperti meratap.
Boseke sendiri lantas kawin dengan orang Manado keturunan Tionghoa. Yang masih punya nama dan marga Tionghoa. Dari istrinya itu Boseke akhirnya bisa bahasa Mandarin.
Pengusaha biasanya selalu ingin tahu. Demikian juga Boseke. Ia ingin tahu mengapa orang Manado berkulit kuning dan bermata sipit. Memang sudah ada bisik-bisik bahwa orang Minahasa itu keturunan Tionghoa. Tapi dari buku asal usul Minahasa tidak pernah menguraikan secara jelas bagaimana hubungannya.
Bahkan selama ini dikembangkan legenda bahwa orang Minahasa itu berasal dari keturunan seorang ibu yang kawin dengan anaknya sendiri –hanya mereka berdua yang tertambat di Minahasa.
Maka dengan dana sendiri Boseke melakukan penelusuran sampai ke Tiongkok. Khususnya ke Sichuan, salah satu pusat pemerintahan kekaisaran Han. Boseke juga ke Korea, Jepang, dan Taiwan.
Saat di Sichuan itu Boseke menemukan mantra yang dulu dialunkan kakeknya. Yang bunyi dan nadanya sangat mirip.
Ternyata itu adalah nyanyian sedih yang diratapkan bangsa Han setelah kekaisaran itu runtuh. Mereka menginginkan kejayaan kembali bangsa Han.
Itulah semacam doa yang terus diratapkan siapa pun yang menginginkan kejayaan kembali bangsa Han. Di mana pun mereka berada. Termasuk oleh mereka yang sudah menyebar ke mana-mana –akibat perang yang tidak habis-habisnya pasca kejayaan kekaisaran Han.
Kekaisaran Han adalah yang paling lama berkuasa di Tiongkok. Yakni selama 400 tahun. Sejak 250 tahun sebelum Masehi sampai 150 tahun setelah Masehi.
Buku ini juga menceritakan perang-perang antar negara Shu (Sichuan dan sekitarnya), Wi (di utara sungai Huang He) dan Wu (Wuhan dan sekitarnya sampai Guangdong dan Shanghai).
Pusat pemerintahan Han sendiri pindah-pindah. Awalnya di Chang An (sekarang: Xi’an), Laoyang (kota Laoyang sekarang masuk provinsi Henan) dan Chengdu (sekarang masih bernama Chengdu, ibu kota provinsi Sichuan).
Nama Minahasa pun ternyata terkait dengan sejarah banyaknya pengungsian akibat perang ratusan tahun berikutnya. Terutama pengungsian terhadap wanita dan anak-anak. Mereka dinaikkan kapal agar bisa menghilir di sungai Changjiang (Yang Tze Kiang) yang sangat besar itu. Mereka pun menghilang ke timur –termasuk lepas ke muara sungai menuju lautan bebas.
Asal kata Minahasa, tulis Boseke, dari bahasa Han: Min Na Hai Zi. Lalu menjadi Minahasa. Artinya: orang-orang (rakyat) dan anak-anak sampai di sini.
Kata ”mayesu” di Minahasa berarti pulang. Tapi ‘pulang’ dalam pengertian pengungsi itu adalah pulang ke negeri ‘shu’. Mereka begitu rindu pulang sampai-sampai mayesu sendiri berarti pulang.
Buku ini juga menarik karena Boseke menceritakan perang tiga negara –Shu, Wi, Wu– sehingga bagi pembaca yang malas mengikuti Samkok yang berjilid-jilid bisa cepat tahu pokok persoalan. Termasuk peran Jenderal Zhuge Liang, Jenderal Chao Chao, dan putri Xiao Mi.
Di Tiongkok kini ada taksi khusus mobil listrik dengan nama Chao Chao. Itu untuk menggambarkan di mana pun Anda Chao Chao ada di situ. Waktu itu Jenderal Chao Chao memang dikagumi karena di mana pun ada musuh ia ada di situ.
Sedang kecantikan Xiao Mi kini juga menjadi merek handphone –meski xiao mi sendiri artinya beras kecil-kecil, warna kuning, yang biasanya enak untuk bubur.
Tentu saya ingin sekali bertemu Boseke. Masih begitu banyak pertanyaan yang mengganjal.(dis)