KALAU disuruh pilih: McDonald atau pecel? Saya pilih pecel. Kalau pilihannya rawon atau pecel, saya masih pilih pecel.
Bagaimana kalau pilihan itu cap cay dan pecel? Saya pilih pecel.
Saya ke pabrik pecel minggu lalu. Milik teman baru. Di Sidoarjo, Jatim. Begitu sampai di lingkungan pabrik, sudah jelas saya tidak salah masuk: aroma harum pecelnya sudah “kedengaran” di hidung saya.
Dua hal yang membuat saya kaget di pabrik ini.
Pertama, pemilik pabrik itu asal Medan –ini benar-benar bikin malu orang Madiun seperti saya (Orang Magetan suka mengaku sebagai orang Madiun –agar lebih bergengsi. Terutama orang Magetan bagian timur yang memang lebih dekat ke Madiun, seperti saya).
Kekagetan kedua, pecel zaman sekarang itu kacangnya ternyata impor!
Ini juga bikin malu orang seperti saya –kok masih mendukung pecel.
Untuk para penggemar McDonald, saya harus memberi tahu: pecel itu juga bersuku-suku. Ada pecel Madiun, pecel Blitar, dan pecel Kediri. Tapi kota yang sampai disebut kota pecel hanyalah Madiun. Berarti, tahu sendirilah apa artinya.
Di Surabaya juga banyak yang jual pecel. Saya pun tahu warung pecel ”yang paling Madiun” di Surabaya. Tentu saya tetap pilih beli langsung dari Madiun. Maka begitu stok pecel menipis, istri saya telepon ke desa asal saya.
Selama ini tenang-tenang saja: saya menganggap pecel itu makanan lokal, yang local content-nya 100 persen. Ternyata salah. Saya agak menyesal ke pabrik pecel kemarin. Sejak itu penggemar pecel seperti saya tidak boleh lagi menuduh penggemar McDonald itu tidak nasionalistis.
Ternyata saya juga makan barang impor. Bahkan impornya pakai sembunyi di balik baju pecel. Tidak terang-terangan seperti McDonald. Saya pun waswas. Jangan-jangan cabainya juga impor. Jangan-jangan daun jeruk purutnya juga impor. Begitu juga asam Jawanya. Dan kencurnya. Dan garamnya. Dan gula merahnya –itulah nama-nama bumbu pecel.
Alhamdulillah cabainya ternyata masih dari Kediri. Daun jeruk purutnya masih dari Tulungagung. Dan asam Jawanya masih dari Kupang, NTT. Harusnya orang NTT protes kenapa asamnya masih disebut asam Jawa.
Hanya gulanya yang harus hati-hati. Gula merah zaman sekarang ternyata sudah banyak yang dibuat dari gula rafinasi –yang impor itu. Warna merahnya hanya campuran. “Kalau yang saya pakai ini masih asli. Membelinya memang harus hati-hati. Kalau yang merahnya cantik itu bahan bakunya gula rafinasi,” ujar pimpinan pabrik itu.
Produksi pecel di pabrik tersebut mencapai 30 ton sebulan. Saya bangga. Ternyata masih banyak yang suka pecel. Saya pun melihat sebuah tronton merapat ke depan gudang. Tronton itu akan memuat pecel. Ups… Pecel kok sebanyak satu tronton. “Itu jurusan Jakarta,” ujar I Ketut Ciptawan Wathin, penerus pemilik pabrik pecel itu.
Wathin adalah anak Kho Kek Hui, orang Medan pendiri pabrik pecel itu. Kho adalah orang yang merantau ke Surabaya untuk pertobatan hidup. Ternyata tidak hanya bisa jadi orang baik. Bahkan bisa sukses. Kisahnya akan dimuat secara bersambung di Harian Disway.
Kho (kanan) melayani wawancara Disway.
Waktu kecil, pecel itu barang mewah bagi saya. Tidak mudah untuk bisa makan pecel. Saya baru dibelikan pecel kalau habis sakit. Kadang saya sampai pengin sakit agar dibelikan pecel.
Di desa, zaman saya kecil, pecel itu untuk sarapan. Sesekali. Sebagai selingan mewah dari makan pagi yang rutin: ketela rebus, ganyong rebus, atau nasi sisa kemarin yang digoreng dengan minyak jelantah –minyak sisa goreng ikan asin atau tempe.
Saya tidak membayangkan bahwa pecel zaman sekarang kacangnya impor: dari India atau bahkan Afrika.
Maka sekarang ini kalau lagi makan pecel rasanya serasa ikut makan devisa.
Pabrik pecel seperti itu memang harus membeli kacang khusus. Yakni yang bijinya sudah melupakan kulitnya. Itu disebut kacang ose.
Hampir semua kacang ose yang ada di pasaran adalah barang impor. Produksi kacang dalam negeri biasanya sudah habis diborong oleh pabrik kacang –justru ketika baru dicabut dari tanah.
“Kami harus segera mengolah kacang ketika masih segar. Ketika baru dipanen. Jangan sampai lewat 28 jam,” ujar Sudhamek, pemilik pabrik raksasa kacang Garuda.
Itulah sebabnya pabrik-pabrik kacang Garuda harus di dekat basis produksi kacang tanah.
Orang seperti Sudhamek tidak bisa impor kacang. Kualitas kacangnya bisa turun selama perjalanan antar negara. Ia sepenuhnya mengandalkan produksi dalam negeri.
Karena itu orang seperti Sudhamek termasuk yang gelisah atas menurunnya produksi kacang dalam negeri.
“Satu-satunya jalan harus ada penanaman kacang secara korporasi,” ujar Sudhamek, yang pernah menjadi ketua bidang di Komite Ekonomi Nasional itu.
Dengan pertanian secara korporasi, produksi per hektare bisa mencapai 3 ton. Dua kali lipat dari sistem pertanian tradisional.
Dengan produksi 3 ton/hektare berarti bisa menghasilkan Rp 18 juta/ha. Ini barulah bisa bersaing dengan tanaman lain.
Tapi mencari lahan untuk pertanian korporasi tidak mudah. Bahkan mustahil. Untuk penggarapan secara korporasi diperlukan lahan 2.000 hektare. Utuh. Dalam satu hamparan. 2.000 hektare itu paling tidak.
Luasan itu disesuaikan dengan nilai ekonomi. Yakni agar sekalian dibuat pabrik pengolahan kacang. Setidaknya sampai setengah jadi. Agar tidak terjadi pembusukan.
Sudhamek pernah mencoba di Lombok. Hanya mendapat 500 hektare. Padahal sudah telanjur mendatangkan alat-alat berat. Akhirnya alat-alat berat itu ditarik kembali.
Kenapa tidak dicoba di Lampung? Yang tanahnya luas?
“Sudah juga,” ujar Sudhamek pada Disway. “Kami tidak berhasil mendapat tanah seluas itu,” katanya.
Di sana tanah memang luas, tapi sudah dimiliki oleh perorangan atau perusahaan. Sebagai orang swasta Sudhamek tidak bisa memaksakan pemilik tanah untuk pindah tanaman.
Di Jateng, khususnya sekitar Pati, Kudus, dan Rembang, juga sangat baik untuk tanam kacang. Sudhamek pernah dibantu seorang kiai besar di kawasan itu. Agar bisa memperoleh lahan yang bisa dikerjakan secara mekanisasi.
Nyatanya juga tidak berhasil.
Lalu ada pemikiran baru: melirik lahan Perhutani. Yang secara data banyak telantar. Tidak produktif. Yang secara statistik luasnya ratusan ribu hektare. Bahkan jutaan hektare.
Tapi setelah dicoba, nyatanya hanya mendapat 200 hektare. Itu di Bojonegoro.
Pun tetap dicoba. Berhasil. Bisa 3 ton/hektare. Tapi tidak bisa lagi lebih luas dari itu. Dan tidak ekonomis untuk didirikan pabrik kacang di dekatnya.
“Sebenarnya berapa pun produksi kacang dalam negeri masih bisa diserap oleh pabrik kacang seperti kami,” ujar Sudhamek –yang juga ketua ”dewan syura” Permabudhi (Persatuan Masyarakat Buddha Indonesia) itu.
Kesempatan menyejahterakan petani lewat kacang tanah masih terbuka. Lihatlah harga kacang di toko-toko: Rp 50.000/bungkus. Yang isinya tidak sampai 1 kg. Padahal harga kacang hanya Rp 6.000/kg. Berarti kalau sejumlah petani bergabung dalam suatu korporasi pasti hebat. Sekalian punya pabrik pengolahnya. Agar harga Rp 6.000 itu bisa berlipat-lipat.
Tentu sebenarnya bukan hanya kacang tanah yang penggarapannya sudah harus beralih secara korporasi. Petani sudah harus bersatu dalam sebuah usaha bersama. Sudah banyak yang menyadari itu. Tinggal siapa yang harus memulai. Tempulu belum kapital besar yang kelak akan menggantikannya.
Saya pun menjadi sadar bahwa kebiasaan saya makan pecel ternyata ikut menghabiskan devisa.(dis)