HARIANHALMAHERA.COM–Kedatangan ribuan dosis vaksin Sinocav di Maluku Utara (Malut) Senin (14/1) kemarin, rupanya tidak disambut dengan gegap gempita. Sebaliknya, kehadiran vaksin produksi Tiongkok tersebut memunculkan kekhawatiran.
Salah satunya datang dari anggota DPD (Dewan Perwakilan Daerah) asal Malut, H. Husain Alting Sjah yang kebetulan tegah mengalukan reses. Senator yang juga Sultan Tidore itu mempertanyakan efektivitas vaksin yang dikirim oleh PT Bio Farma tersebut.
Ini dikatenakan belakangan tengah muncul kesimpangsiuran terkait vaksin Sinovac ini hingga menimbulkan keresahan di tengah masyarakat. “Masyarakat tidak diberi informasi yang pasti tentang hal yang satu ini,” kata Husain, Selasa (5/12).
Ditengah kesimpangsiuran itu, pemerintah mestinya hadir memberikan kepastian sekalugus rasionasinalisasi yang informatif dan kredibel yang dapat dipertanggungjawabkan terkait dengan vaksin Sinovac.
“Karena ini menyangkut dengan nyawa dan keselamatan rakyat. Ini tidak boleh dimain-mainkan. Nyawa ini tidak ada cadanganya. Jadi tidak boleh dibikin main-main, uji dan sebagainya,” tegasnya.
Husain mengaku, rakyat bukannya menolak untuk divaksin, namun yang diinginkan warga saat ini adanya informasi utuh terkait efeketivitas dan keakuratan vaksin. Sekalipun sudah ada serangkaian uji klinis yang dilakukan.
“Seharusnya pemerintah bisa menangkis informasi bahwa vaksin ini tidak berbahaya. Vaksin itu penting, dan pentingnya dimana ? Dan bahayanya itu dimana ? Itu yang harus dijelaskan satu-satu,” pintanya
Terlepas dari itu, pemerintah juga kata dia tidak boleh semena-mena dan memaksakan rakyat untuk divaksin dengan alasan apapun. “Di dalam UUD memberikan hak kepada warga Negara untuk menentukan pilihan kesehatan ketika mau berobat, termasuk vaksinasi,” jelasnya.
Karenanya, dia menganggap munculnya penolakan dari sebagian tenaga kesehatan (nakes) untuk terlibat dalam pemberian vaksin adalah wajar. “Mereka juga tidak boleh main-main dengan nyawa. Mereka juga harus mendapatkan informasi yang jelas, tenaga medis juga tidak dapat menjelaskan lalu bagaimana dia menjelaskan?,” timpalnya.
Terkait hal ini, dia mengaku hari ini akan dia sampaikan dalam sidang DPD secara virtual. “Tapi di group-group WA sudah mulai ada silang pendapat juga di kalangan DPD, sama dengan di DPR. Karena Pemerintah belum maksimal memberikan penjabaran terhadap pentingnya vaksin ini, kemudian harus menangkis berbagai efek dari informasi yang dipublis media. Media mempublis karena mendapat informasi yang akurat dari ahli-ahli kesehatan,” cecarnya.
Ia meminta jika nantinya dilakukan vaksinasi kepada nakes, harus dilakukan secara terbuka sehingga publik bisa tahu. “Tidak boleh diam-diam. Harus terbuka kepada orang supaya menghilangkan keragu-raguan,” tukas mantan Kepala Dinas Pariwisata (Kadispar) Kota Ternate ini.
Terpisah, dr Fatir Thaib, nakes yang bertugas di RSU Sofifi mengaku memang sampai saat ini belum ada edaran terkait nakes yang menerima vaksinasi atau tidak begitu juga profesi lainnya.
Meskipun presiden sudah menginstruikan bahwa Nakes diseluruh Indonesia wajib mengikuti vaksinasi, namun sesuai prokool kesehatan, vaksinasi baru bisa dilakukan setelah ada Emergency Use Authorization atau EUA dari BPOM (Balai Pengawas Obat dan Makanan) yang sampai saat ini belum keluar.
Nah, inilah yang memncu keresehan bagi seluruh nakes di Indonesia “Torang kan juga ragu. Karena didalam ada kelompok akademisi juga, kelompok peniliti yang akan mempertanyakan berapa besar tingkat efek samping. Tingkat kebahayaan vaksin pada tubuh manusia karena uji sampel kan dilakukan di Jawa barat,” bebernya.
Sesuai alurnya, setelah BPOM mengeluarkan EUA, vaksin tersebut juga belum bisa diberikan sebelum mendapat sertifikasi halal dari MUI (Majelis Ulama Indonesia)
Karenanya, jika dilihat dari tiga prasyarat obat atau vaksin, tentu secara normatif vaksinasi tidak bisa diterima. “Jangankan nakes, masyarakat umum pun pasti menolak. Ini yang dapat diprediksi kedepan akan terjadi gejolak ditingkat masyarakat,” katanya.
Karenanya, selama ketentuan tersebut belum dipenuhi, maka pemberian vaksin kepada nakes adalah kebijakan yang semata-mata menjadikan nakes kelinci percobaan. “Mereka yang nantinya divaksin lalu muncul memiliki efek samping dan tidak bisa dijamin oleh negara, ini bisa berbahaya,” tegasnya.
Dia melihat vaksinasi yang akan dilakukan ini murni kebijakan negara bukan kebijakan kesehatan. “Kalau kebijakan kesehatan tidak mungkin menabrak semua aturan. Masa izin Emergency dan izin penggunakaan belum ada kok vaksin sudah tiba,” bebernya
Yang disesalinya, kenapa distribusi vaksin dilakukan secara terburu-buru. Harusnya ujiklinis vaksin harus diperbanyak untuk mengetahui efektivitas dari vaksin. “Nantinya BPOM Ragu- Ragu memberikan izin kan bisa – bisa vaksin yang sudah dikirim ditarik kembali itu negara rugi buang – buang uang. Apalagi Indonesia memesan lebih dari satu vaksin bukan hanya memesan Sinovac” ujarnya.
Dia mengaku soal terima tau tidak vaksin oleh nakes tidak ada memang sejauh ini belum sudah ada himbauan dari organisasi profesi yang tebusannya disampaikan ke Polri. “Namun apakah secara pribadi menerima atau tidak dikembalikan ke individu, ” katanya.
Namun biasanya jika dikembalikan ke individu tercium bau keganjalan karena terlepas secara individu maupun profesi, vaksinasi tetap diikat dengan peraturan presiden (Perppres) yang memiliki sanksi.
“Kalau tidak menerima akan dipidana itu yang sementara digodok. Karena yang kita amati negara masih melihat banyaknya masyarakat yang menolak atau yang menerima. Kalau banyak yang menolak maka diikat dengan sanksi pidana,” pungkasnya.(lfa/pur)