Oleh: Parid Ridwanuddin
Akademisi Universitas Paramadina, Aktivis lingkungan
APA yang akan kita lakukan jika pohon terakhir telah ditebang? Apa yang akan kita lakukan jika oksigen telah habis? Apa yang akan kita lakukan jika mata air terakhir telah kering? Apa yang akan kita lakukan jika stok pangan terakhir telah tiada?
Sejumlah pertanyaan di atas penting diajukan oleh masyarakat Indonesia setelah beberapa hari sebelumnya berhasil melaksanakan Pemilu untuk memilih presiden dan wakil presiden, anggota DPR RI, Anggota DPRD tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota, serta anggota DPD RI, untuk periode 2019-2024. Pertanyaan-pertanyaan tersebut sangat penting diajukan, mengingat isu keberlanjutan lingkungan hidup dan bencana alam tidak menjadi isu utama dalam pemilu 2019.
Padahal, berbagai bencana ekologis, seperti banjir bandang dan tanah longsor, terus mengintai kehidupan masyarakat. Bencana ekologis di Indonesia ibarat bom waktu yang dapat meledak sewaktu-waktu serta memakan banyak korban tanpa diketahui kapan waktunya.
Dalam dua tahun terakhir, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat jumlah kejadian bencana banjir sebanyak 1.021 kali. Dengan jumlah ini, 119 orang meninggal dunia, 1,266 orang mengalami luka-luka, dan 1.453.803 mengungsi ke tempat yang aman.
Selain banjir, BNPB mencatat jumlah kejadian longsor dalam dua tahun terakhir sebanyak 809 kali. Akibatnya, 167 orang meninggal dunia, 202 mengalami luka-luka, dan 38.198 orang mengungsi. Tak hanya itu, kebakaran hutan dan lahan telah terjadi sebanyak 421 kali dalam dua tahun terakhir. Akibatnya 4 orang meninggal dan 4 orang terluka serta 586 orang mengungsi.
Jika kita membaca data bencana sejak tahun 2000 sampai dengan tahun 2019, setidaknya telah terjadi 9.394 kali banjir dan 5.461 kali longsor. Jika banjir telah membunuh 5.023 orang, melukai 263.605 orang dan memaksa 29.537.476 orang mengungsi, maka longsor telah membunuh 2.991 orang, melukai 2.944, serta memaksa 278.991 orang mengungsi.
Deretan bencana ekologis yang terus terjadi menyisakan satu pertanyaan mendasar. Apa penyebab bencana banjir dan longsor selama ini? Jawabannya adalah bencana semacam ini terjadi akibat pola pembangunan selama ini yang bercorak ekstraktif dan eksploitatif. Bagaimana bencana tidak terjadi, jika deforestasi terus terjadi di hutan-hutan di Indonesia.
Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), mencatat luasan hutan Indonesia pada tahun 2015 sebanyak 128 juta hektar. Namun, angka ini berubah menjadi 120,7 juta hektar pada tahun 2017. Data tutupan hutan luas hutan primer di Indonesia saat ini mencapai 46,1 juta hektare.
Sementara itu, luas hutan sekunder mencapai 43,3 juta hektare dan luas tutupan hutan tanaman mencapai 4,7 juta hektare. Data luasan hutan versi KLHK ini berbeda dengan data yang dicatat oleh Yayasan Madani Berkelanjutan, seluas 120,6 juta hektar.
Menurut Yayasan Madani Berkelanjutan, dari total 120,6 juta hektare kawasan hutan Indonesia, sebagian besar diklasifikasikan sebagai “hutan produksi” yang dapat digunakan untuk pemanfaatan kayu seperti pembalakan, hutan tanaman, dan restorasi ekosistem. Luas hutan produksi Indonesia mencapai 68,8 juta hektare atau 57 persen dari keseluruhan kawasan hutan.
Dari keseluruhan luas ini, sekitar 30,6 juta hektar telah diperuntukkan bagi konsesi hutan skala besar yang didominasi oleh konsesi penebangan hutan seluas 18,8 juta hektar, diikuti oleh hutan tanaman industri seluas 11,2 juta hektare dan konsesi restorasi ekosistem yang luasnya tidak terlalu signifikan, seluas 0,62 juta hektar.
Proyek tambang juga turut berkontribusi terhadap deforestasi di Indonesia. Pada tahun 2017 Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) mencatat sekitar 3,7 juta hektar tambang berada di kawasan hutan lindung dan ada 793.000 hektar yang masuk kawasan hutan konservasi. Selain proyek tambang, ekspansi perkebunan sawit yang saat ini tercatat seluas 22,2 juta hektare (Sawit Watch, 2018), turut memperburuk kondisi hutan Indonesia.
Dengan kondisi hutan Indonesia yang terus mengalami deforestasi, sebagaimana yang digambarkan di atas, maka bencana ekologis seperti banjir dan longsor akan menjadi permasalahan serius yang telah, tengah dan akan terus mengancam kehidupan masyarakat Indonesia.
Tak hanya di darat, krisis ekologis juga terjadi di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia. Statistik Sumberdaya Pesisir dan Laut 2017 mencatat, di desa-desa pesisir dan pulau-pulau kecil telah terjadi bencana longsor sebanyak 737 kali dan banjir sebanyak 2.958 kali.
Bencana ini disebabkan oleh pertambangan pasir yang merusak pegunungan serta perbukitan di sekitar pesisir untuk kepentingan 42 proyek reklamasi di seluruh Indonesia. Sebanyak 1.895 IUP Proyek pertambangan pesisir dan pulau-pulau kecil pun turut menjadi penyebab utama bencana di desa pesisir seluruh Indonesia.
Bencana di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil diperburuk oleh hilangnya hutan mangrove yang memiliki fungsi penting, yaitu sebagai pelindung kawasan pesisir dari abrasi dan gelombang tinggi. Berdasarkan catatan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), luasan hutan mangrove pada tahun 2014 tercatat seluas 4,4 juta hektar. Namun, pada tahun 2017, luasannya hanya tersisa 3,5 juta hektar.
Sikap Abai Kita
Meskipun fakta-fakta kerusakan lingkungan dan dampaknya bagi kehidupan masyarakat begitu terang benderang terlihat, tetapi kebanyakan kita masih bersikap abai terhadap persoalan ini. Pemilu 2019 menunjukkan, betapa kita tidak mampu menjadikan momentum ini sebagai gerakan untuk mendorong keadilan ekologis serta gerakan keberlanjutan lingkungan hidup. Dengan demikian, ada satu pertanyaan penting yang harus menjadi refleksi bersama: apakah kita telah terjebak dalam demokrasi elektoral yang bersifat ritual?
Hal lain yang menyebabkan kita abai terhadap krisis ekologis adalah terlalu kuatnya paham skeptisisme lingkungan. Paham ini melihat bahwa krisis ekologis tidak berhubungan dengan aktivitas manusia yang mengekstraksi dan mengeksploitasi bumi. krisis ekologis, murni dipahami sebagai mekanisme alam untuk menjaga keseimbangannya. Sekilas, pandangan ini terlihat benar. Namun jika kita membaca lebih dalam, paham ini ingin memisahkan manusia dengan alam. Lebih jauh, paham ini memberikan justifikasi terhadap kepentingan korporasi skala besar yang telah mencuri banyak hal dari planet bumi.
Dalam sejarahnya, paham skeptisisme lingkungan memiliki hubungan yang sangat erat dengan kepentingan dunia bisnis di Amerika. Di dalam buku, “Lingkungan Hidup dan Kapitalisme” yang ditulis oleh Fred Magdoff dan John Bellany Foster, disebutkan bahwa telah sejak lama, aktor-aktor besar bisnis atau multimiliarder di AS telah banyak berinvestasi dalam menyebarkan keraguan tentang kebenaran ilmiah krisis iklim atau skeptisisme lingkungan. Kepentingan bisnis besar untuk mempertahankan skeptisisme lingkungan ini terus dipertahankan serta menjadi agenda politik dan agenda intelektual sejumlah lembaga riset untuk menentang pelajaran pemanasan global di sekolah-sekolah (hal. 104-105).
Penyebab lainnya dari sikap abai kita adalah kegagalan kita untuk menangkap pesan keadilan sosio-ekologis dari ajaran agama. Padahal, ajaran agama mengajarkan bahwa manusia adalah makhluk ekologis, yang sangat tergantung dengan sumberdaya alam. Bahkan asal-usul manusia dinyatakan berasal dari sari pati tanah. Di tempat lain, Nabi Muhammad menyatakan “Jika seandainya esok adalah hari kiamat, sedangkan di tanganmu engkau memegang bibit, maka tanamlah.”
Kearifan serupa dapat kita temukan dalam tradisi agama-agama lain, seperti konsep Tri Hita Kirana dalam agama Hindu. Poin pentingnya, adalah setiap ajaran agama mengajarkan konsep keadilan ekologis dan keberlanjutan lingkungan, namun para penganutnya tak banyak yang berhasil menangkap pesan ini. Padahal kelestarian bumi adalah pesan inti setiap agama.
Bumi adalah rumah kita. Di planet inilah kita hidup, mencari makan dan minum serta melahirkan keturunan. Jika bukan kita yang melindungi, lalu siapa lagi? Selamat hari bumi.(*)
Sumber: https://rmol.co/read/2019/04/22/387086/krisis-ekologis-bencana-alam-dan-sikap-abai-kita