Oleh: Fitra Booko
Pemerhati Sosial Lingkungan
“Tidak pernah aku bisa berburuh dalam diam apa yang mencengkeram jiwaku dalam penghambaan, tidak pernah ‘aku akan’ beristirahat tenang dan puas, aku akan selalu bergelorah” (Karl Marx).
PASCA kemerdekaan tahun 1945 hingga kini, masalah buruh (tenaga kerja) di Indonesia seolah menjadi sebuah cerita “dongen” belaka yang sengaja diwariskan turun temurun. Pada hal, secara substansial, kaum buruh lah yang menjadi bagian integral dari geliat produksi komoditas yang ada dibalik (lahan suburnya) industrial.
Sementara itu, lahan subur dari suatu industri modern adalah tempat tumbuh berkembangnya kelompok buruh, yang didalamnya mengakar kuat sistem produksi. Secara kondisional, kaum buruh dibentuk dirinya sebagai miniatur mesin produksi massal, sekaligus memasungnya melalui formulasi pejoratif, yang berujung pada matinya sang buruh (ketiadaan fungsi) dari makna-makna yang ada.
Sepanjang sejarah umat manusia, praktisnya sistem kapitalisme terus menghisap, menindas, dan menyebabkan kemiskinan sekaligus penderitaan bagi suatu lapisan luas masyarakat demi memperkokoh kepentingan kelas pemodal. Kaum buruh selain harus menanggung sederet penderitaan atas perampasan “nilai lebih” (upa kerja) juga menderita akibat sistem kerja kontrak dan atau outsourcing, yang mana mereka dapat diupah dengan rendah, dipaksa lembur tidak dibayar (kalaupun dibayar seringkali tidak sesuai), resiko pemecatan sewaktu-waktu dengan cara sewenang-wenang. Akibat atas resiko ini, kebanyakan (kalau bukan sebagian besar) buruh dengan terpaksa migrasi ke kota untuk menjadi buruh migran.
Belum lagi, sejumput derita penghisapan yang dialami kelas buruh dari praktik ‘calo agen’ yang rentan menderita kekerasan domestik, manakala ke luar negeri. Adalah kapitalisme merupakan suatu sistem dimana minoritas penguasa kapital (kelas borjuasi) memonopoli alat-alat produksi (pabrik, tambang, mall, bank dan seterusnya), mengeksploitasi kelas buruh, serta beroperasi dengan dorongan proses akumulasi kapital (nilai tukar dan atau nilai guna) tanpa henti. Pada konteks ini, kelas buruh terus dieksploitasi tenaganya dan nilai surplus yang dihasilkan buruh tidak dinikmatinya.
Sebaliknya, nilai lebih masuk ke kantong para pemodal yang menguasai atau mengendalikan alat-alat produksi. Ya, mayoritas para pemilik modal (kapitalis) di dunia menjalankan sistem ini dengan begitu masif, terstruktur dan sistematis. Kapitalisme dengan corak produksi bisa dijelaskan dalam beberapa ciri. Pertama, baik input atau output produksi, dikuasai secara pribadi dimana barang dan jasa dilabeli dengan harga di pasar.
Kedua, produksi dijalankan untuk memenuhi kebutuhan pasar dan bertujuan untuk meraup keuntungan. Ketiga, penguasa alat produksi yaitu kapitalis, merupakan kelas yang dominan atau berkuasa, yaitu kelas borjuis (pemilik modal), yang memperoleh pendapatan mereka dari surplus atau “nilai lebih” yang dihasilkan dari barang (atau produk) yang diproduksi oleh kelas buruh atau kelas pekerja, dan dialokasikan secara bebas sesuai kemauan kapitalis.
Dan keempat, fitur penentu dari kapitalis adalah ketergantungan pada kerja upahan sebagai suatu segmen yang luas dari populasi jumlah produksi, khususnya bagi kelas pekerja yang tidak memiliki atau tidak menguasai alat produksi, dan harus bertahan hidup dengan menjual tenaga kerjanya untuk memperoleh upah sebagai gantinya.
Berdasarkan ciri diatas, jelas bahwa kapitalis (pemodal) dalam menjalankan kegiatan ekonomi bukan untuk memenuhi kebutuhan pribadinya, melainkan untuk menumpuk keuntungan. Dari sini dapat dilihat bahwa kelas buruh (kaum pekerja), mengalami penindasan dan penghisapan paling besar (secara dramatis) dari kapitalis. Karena meskipun kelas buruh menciptakan “nilai lebih” (komoditas), namun mereka tidak menikmatinya.
Nilai kerja (upah buruh) yang diterima oleh kelas buruh, dengan menjual tenaga kerjanya untuk memproduksi komoditas ditentukan serendah-rendahnya. Dari nilai kerja berbentuk upah kerja itu pun kemudian dikembalikan lagi kepada kapitalis agar membeli komoditas (barang), yang ironisnya mereka hasilkan barang tersebut. Inilah sebenarnya “ritus” dari akumulasi dan ekploitatif kapitalis terhadap kelas buruh selama ini.
Sejalan dengan hal diatas, maka menurut Marx, “sejarah dari semua masyarakat yang ada hingga saat ini adalah sejarah perjuangan kelas”_(Orang merdeka dan budak, bangsawan dan orang biasa, tuan dan pelayan, pemilik modal dan kaum buruh, penindas dan tertindas), selalu ada dalam pertikaian kelas yang berlangsung tanpa henti, baik secara terbuka maupun tertutup (Lihat, dalam Doyle Paul Johnson, 1986: 146).
Dalam pengertiannya yang sederhana, kelas adalah sekelompok orang yang berada di dalam situasi yang sama dalam hubungan mereka dengan kontrol alat-alat produksi. Bagi Marx, suatu kelas sosial akan eksis hanya ketika seseorang menyadari bahwa ia sedang berkonflik dengan kelas-kelas lain. Marx, memandang bahwa kelas sosial dapat dianggap sebagai kelas dalam arti yang sebenarnya.
Kelas (sosial) tidak hanya secara “obyektif” (dalam arti yang lemah) sebagai kelompok sosial dengan kepentingannya sendiri, tetapi juga secara “subyektif” (arti kuat) untuk mewujudkan dirinya sebagai kelas, menjadi kelompok khusus dalam masyarakat yang memiliki kepentingan tertentu, dan ingin berjuang untuk kepentingan mereka (lihat, Franz Magnis Suseno, 2017: 117-118).
Singkatnya, agen utama perubahan sosial bukanlah individu tertentu, tetapi kelas sosial. Menurutnya bahwa “keadaan sosial lah yang menentukan kesadaran”, bukan sebaliknya, “kesadaran manusia yang menentukan keadaan” (Lihat, George Ritzer & Barry Smart, 2015:81).
Dunia usaha semakin “pipih” tampak dari pola vertikal struktural yang ditandai dengan bergesernya ke ranah yang makin horizontal. Implikasinya adalah berubahnya peran dan fungsi setiap kaum buruh yang tidak hanya bisa dilihat sebatas faktor produksi semata. Kapitalisme primitif (yang ditandai oleh dominasi faktor modal) semakin merosot manakala peran unsur manusia (kelas pekerja) harus dilihat sebagai subyek belaka.
Pada kenyataannya, buruh merupakan motor penggerak (motivator, kreator, pemikul resiko, dan pengembang jaringan) dalam siklus reorientasi ekonomi suatu industri yang begitu luas basis peran dan atau fungsinya. Dalam banyak praktik, suatu industri perusahaan yang menghitung uang pesangon karyawan (tenaga kerja) yang di-PHK hanya berdasarkan masa kerja karyawan.
Hal ini tentu tidak tepat dan cacat prosedural. Dalam kasus ini, semestinya pihak perusahaan dapat menghitung Uang Pesangon (UP) karyawan, termasuk Uang Penghargaan Masa Kerja (UPMK) didalamnya. Selain itu, masa kerja seorang buruh juga harus diperhitungkan manakala alasan dilakukannya PHK, karena hal ini turut menentukan besarnya uang pesangon yang harus diterima oleh buruh bersangkutan. Bukan dengan semena-mena melakukan PHK dan mengabaikan hak kaum buruh yang selama ini memberi kontribusi besar terhadap suatu proses akumulasi produksi.
Banyak kasus berkaitan dengan ini dapat dilacak dengan mudah (mulai dari buruh BUMN hingga swasta) yang menjadi bagian dari ledakan PHK (Pemutusan Hubungan Kerja), menyeret ratusan bahkan ribuan buruh di mana-mana. Belum lagi urgensi PHK buruh akhir-akhir ini, semakin membludak dengan alasan akibat pandemi Covid-19.
Sehingga nasib kelas buruh di suatu tempat (industri) baik industri yang bergerak dibidang manufaktur (padat karya maupun modal) sampai pada industri tekstil, garmen, otomotif, ritel dan industri pertanian (pangan), yang acapkali menanggung resiko masalah PHK sepihak.
Dari sekian banyak kasus PHK, dengan (sengaja) “disanderakan” pada pihak buruh (tenaga kerja), salah satu diantaranya adalah sebanyak 80 karyawan yang di-PHK. Masalah ini terjadi di salah-satu perusahaan yang sedang bergerak dibidang industri pertanian (Tapioka), Kerjasama Operasional (KSO) antara Capidol Casagro (CSO) sebagai mitra kerja PT. Buana Wira Lestari Mas (PT. BWLM), tepatnya di kawasan Desa Ngidiho, Kecamatan Galela Barat, Kabupaten Halmahera Utara.
Beberapa sumber (pekerja) yang di[1]PHK membeberkan bahwa, tercatat mulai pada tanggal 24 Desember tahun 2020, merger KSO (Kerjasama Operasional) sebagai unit mitra, ingin memutuskan hubungan kerja dengan buruh tanpa membayar masa kontrak atau uang pesangonnya. Ironisnya, tidak ada alasan yang jelas dari pihak perusahaan tersebut terkait PHK. Jelas bahwa ini merupakan tindakan yang ‘latah’, alpa (juga) diskriminatif dan kelaliman pihak perusahaan yang bersangkutan.
Pemerintah daerah (dalam hal ini Pemda Halut) melalui Dinas Ketenagakerjaan (Disnakertrans) harus dengan serius memutuskan pilihan kolektifnya, untuk berkata tidak kepada penistaan kehormatan dan martabat terhadap kelas buruh, akibat dari PHK sepihak yang dilakukan oleh pihak perusahaan, yang mendahulukan kepentingan sempit belaka. Kecenderungan itulah yang membawa kemerosotan di dalam tubuh kelas pekerja, kekerasan sosial dan penistaan martabat kemanusiaan yang dengan sengaja dicangkokan.
Menyoal kondisi buruh yang begitu kompleks ini, adalah Friedrich Engels menyebutnya sebagai “pembunuhan sosial”. Konsep ini menunjukan bahwa “pembunuhan sosial” (terbunuh secara ekonomi, sosial dan politik) terjadi ketika elit penguasa membuat kebijakan-kebijakan yang mengakibatkan terbunuhnya kelompok miskin (proletar/buruh) dan masyarakat secara umum yang tidak berdaya. Selain kasus PHK, masalah buruh tidak berhenti disitu saja.
Lebih ironisnya, ketentuan mengenai waktu kerja, istirahat kerja dan upah kerja lembur yang telah diatur dalam rancangan UU Cipta Kerja melalui PP No. 35 Tahun 2021, dengan UU Ketenagakerjaan (lihat, UU No. 13 Tahun 2003), tidak dipatuhi oleh kebanyakan pihak industri tertentu. Perubahan di dalam UU ini terutama hanya meliputi jumlah maksimal jam kerja lembur, yang awalnya maksimal tiga jam sehari, dan maksimal empat belas jam dalam seminggu sesuai isi pokok UU Ketenagakerjaan, menjadi maksimal empat jam sehari dan delapan belas jam seminggu, sesuai rumusan UU Cipta Kerja didalam PP No. 35 tahun 2021 (pembahasan ini tidak sedang menjelaskan rumusan UU dimaksud, hanya sebatas menyinggung poin pokok), sebagai rujukan dalam “menodong” masalah kelas pekerja yang selama ini “dimitoskan” oleh pihak-pihak tertentu.
Sebelum mengakhiri diskusi tulisan ini, berikut merupakan elaborasi secara singkat penulis uraikan yang semestinya menjadi hak dan kewajiban kaum buruh, harusnya diterima sesuai diatur dalam pokok peraturan pemerintah. Dengan mengurai beberapa poin penting, dapat sedikit membantu (kalau bukan menolong) dari kekalutan, ketimpangan, dan ketertindasan kaum buruh selama ini menjadi tumpuan (kalau bukan estafet) suatu bangsa yang seharusnya dimuliakan dalam bentuk dan kondisi apapun.
Pertama, besarnya Uang Pesangon (UP) sesuai masa kerja yang diatur dalam pasal 40 ayat 2 PP No.35 tahun 2021 dan Uang Penghargaan Masa Kerja (UPMK) sesuai masa bakti kerja, telah diatur dalam pasal 40 ayat 3. Maka, apabila A dan B adalah karyawan yang bekerja di perusahaan yang sama, dan keduanya bertugas di procurement department sebagai staf dan kemudian keduanya telah bekerja selama 4 tahun 3 bulan lamanya dengan ketentuan gaji yang juga sama (misalnya, gaji pokok Rp. 5.000.000/bln dan tunjangan tetap Rp. 750.000/bln).
Apabila karena suatu perusahaan sedang melakukan efisiensi untuk mencegah terjadinya kerugian, perusahaan tempat mereka bekerja ketika melakukan PHK terhadap si A, kemudian pada waktu yang bersamaan, perusahaan juga terpaksa harus melakukan PHK terhadap si B, dikarenakan melakukan pelanggaran terhadap perjanjian kerja dan peraturan perusahaan meskipun telah memberi SP-1, SP-2 dan atau SP-3. Maka perusahaan yang bersangkutan juga berkewajiban dalam memenuhi kompensasi sebagaimana diatur.
Kedua, alasan PHK dan besarnya Uang Pesangon sekaligus Uang Penghargaan Masa Kerja yang diatur sesuai PP. No.35 tahun 2021, harus dipenuhi oleh setiap perusahaan. Dan ketiga, Uang Pengganti Hak seharusnya diterima pekerja, sebagaimana diatur dalam pasal 40 ayat 4 PP. No. 35 tahun 2021. Uang penggantian Hak sebagaimana dimaksud tersebut adalah cuti tahun yang belum diambil dan belum gugur, ongkos transportasi pekerja/buruh dan keluarganya ke tempat dimana pekerja/buruh diterima bekerja. Kemudian hal-hal yang ditetapkan dalam Perjanjian Kerja Peraturan Perusahaan atau Perjanjian Kerja bersama.
Hal ini juga harus dipenuhi manakala terjadinya PHK buruh di suatu perusahaan tertentu. Apapun alasannya, setiap perusahaan harus taat akan hukum dan peraturan perundang-undangan di bangsa ini. Karena terjadinya pemiskinan massal dan semakin parahnya ketertinggalan dan keterbelakangan sosial khususnya kaum buruh, dibanding buruh di bangsa lainnya.
Ketergantungan asing menjadi sebuah keniscayaan, bahkan untuk urusan primer seperti kecukupan pangan sekalipun. Dalam mengapit situasi ini, apapun resikonya, pemerintah dan negara tidaklah jatuh pada “lubang heroisme buta” atas nama ekonomi.
Akhirnya, semoga ini menjadi sebongkah ‘cahaya’ bagi kaum buruh di ujung “terowongan gelap” penghisapan ‘nilai surplus’ yang selama ini dikapling oleh pemodal. Masih panjang jalan yang harus ditempuh. Kaum buruh dapat menentukan pilihan sendiri dengan menggunakan akal sehat, untuk membangun kembali kehidupan beradab dan bermartabat. Karena itu, buruh memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan (jalan) hidupnya.
Kaum buruh harus menolak sikap netral dan bebas nilai, manakala perkara keadilan dan nasib masa depannya dipertaruhkan. Sebab jika hal ini dibiarkan, berarti mendukung kelanjutan situasi yang ada. Dengan dasar itu, atas nama diri rakyat tertindas, mari kita mewujudkan persaudaraan bersama sesama anak bangsa (persamaan hak dan keadilan), membangun kesejahteraan sosial.
Pada pendirian tersebut, menegaskan penolakan terhadap praktik penyalahgunaan “kuasa” dari bandit kapital sekaligus cara bernegara yang “ompong” (juga) “macet” dengan jelmaan pemusatan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan, hingga “abai” akan segala embrio kemanusian yang “menyandera” buruh diseluruh penjuru negeri ini.(*)