HARIANHALMAHERA.COM– Manajemen PT Indonesia Weda Bay Industrial Park IWIP kembali membuat pemerintah Kabupaten Halmahera Tengah (Halteng) kesal. Sebelumnya perusahan asal Cina ini melakukan pembebasan lahan di Kecamatan Weda Utara dan Weda Timur tanpa melibatkan pemkab Halteng, kini pembahasan revisi dokumen Analisi Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) IWIP juga tidak hadirkan DPRD maupun pemkab Halteng.
Sikap PT IWIP itu ternyata mendapat sorotan keras dari Alias Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Malut. Bahkan menunding manajemen PT IWIP terkesan tidak menghargai pemda dan masyarakat Halteng sebagai ‘tuan tanah’.
Pemabahsan AMDAL IWIP yang tertutup ini menurut Ketua AMAN Malut, Munadi Kilkoda, tentu ada indikasi yang telah disembunyikan dan menunjukan sikap yang terburu-buru mengingat perusahan menguasai 47 ribu hektar yang di dalamnya ada sekian banyak hak-hak masyarakat, termasuk ekosistem penting yang berhubungan langsung dengan kehidupan manusia.
“Jangan tertutup seperti ini, harusnya pembahasannya kita bisa tahu apa yang akan dilakukan oleh perusahan, apa dampaknya dan bagaimana meminimalisir dampak tersebut,”katanya, kamis (10/3).
Munadi menuturkan bahwa pembahasan AMDAL ini tidak asal-asalan untuk memenuhi syarat administrasi lalu korbankan masyarakt lingkar tambang.
“Kita perlu mendapat penjelasan soal itu. Masyarakat mana yang terlibat, apakah keterlibatan mereka itu mewakili kepentingan masyarakat atau tidak, Kenapa keterlibatan masyarakat terdampak itu tidak dilakukan secara luas, hanya terbatas pada orang-orang tertentu yang belum tentu mereka representative kepentingan masyarakat,”tuturnya.
Selain tanpa Pemda Halteng dalam pembahasan AMDAL ini lanjut Munadi, dipastikan manajemen PT IWIP juga tidak melibatkan orang Tobelo Dalam di Akejira yang merupakan kelompok masyarakat yang terdampak langsung dari kegiatan tambang WBN. Semestinya menurutnya, hak mereka untuk memperoleh informasi dan memberi masukan terhadap AMDAL itu dipenuhi, hak itu sudah jelas diatur dalam UU 32/2009 tentang PPLH.
“Jadi jangan bikin pembahasan AMDAL yang sekedar akal-akalan, yang pesertanya baik masyarakatnya maupun LSM tidak representatif. Sementara LSM yang konsen mengawal isu-isu lingkungan dan hak-hak masyarakat adat di Maluku Utara, tidak diberikan kesempatan untuk terlibat dalam pembahasan tersebut,”tegas Munadi.
Munadi menambahkan bahwa pembahasan AMDAL oleh manajemen IWIP secara online atau meeting zoom dengan durasi waktu terbatas tentu tidak efektif, karena kajian dan telaah soal dokumen AMDAL harus dilakukan secara langsung.
“Saya minta pembahasan AMDAL WBN ini dilakukan ulang, dengan metode offline, yang melibatkan para pihak secara representative, baik masyarakat maupun LSM yang konsen dengan isu-isu terkait dengan AMDAL. Termasuk membuat metode konsultasi AMDAL dengan kelompok masyarakat Tobelo Dalam, harus dianggap penting baik oleh pihak WBN maupun pemrakarsa,”tekannya.(tr-01)