HARIANHALMAHERA.COM–Ketergantungan pendapatan daerah di Maluku Utara (Malut) yang bersumber dari APBN melalui dana transfer ke daerah dan dana desa (TKDD) masih tinggi.
Kantor Wilayah Ditjen Perbendaharaan Provinsi Malut mencatat hingga Juli 2022, total pendapatan mencapai Rp5,64 Triliun atau 72,12 persen dari target. Dimana 90,3 persen didominasi TKDD.
Kepala Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Malut Adnan Wimbyarto mengatakan pendapatan APBN di Maluy sampai 30 Juni 2022 mengalami kenaikan sebesar Rp 435,76 Miliar ( 38,86 persen) dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2021.
Ia menyebutkan, Pajak penghasilan non migas menyumbang kenaikan terbesar sebesar Rp340,88 Miliar atau naik 60,48% dibanding tahun lalu.
“Proyeksi penerimaan pada Juni understated (proyeksi lebih rendah dari
realisasi) sebesar Rp34,81 Miliar dengan rincian realisasi Pajak lebih tinggi Rp19,90 Miliar dari proyeksinya, ini disebabkan karena adanya kenaikan PPh Nonmigas dari komitmen Wajib pajak Pertambangan atas setor” bebernyandalam acara Media BriefingnTorang Pe APBN Edisi Bulan Agustus 2022 , Senin (15/8).
“APBN sampai dengan 31 Juli 2022, pendapatan telah terealisasi sebesar Rp1,56 Triliun atau 72,12% dari target, sedangkan belanja telah terealisasi sebesar Rp7,63 Triliun atau 51,39% dari pagu,” ungkap Adnan
Sementara penerimaan Bea Cukai, pada Juni 2022 mengalami understated proyeksi sebesar Rp12,88 Miliar yang disebabkan disebabkan adanya importasi di luar prediksi.
Sedangkan untuk deviasi PNBP dan hibah pada bulan Juni 2022 sebesar Rp2,03 Miliar yang disebabkan karena naiknya capaian
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dibandingkan tahun sebelumnya.
Pada sisi belanja di Malut, realisasi belanja sampai dengan Juni 2022 untuk belanja K/L mengalami penurunan sebesar Rp261,62 Miliar atau 10,91% (yoy) yang disebabkan adanya penurunan belanja barang dan belanja modal masing-masing sebesar Rp109,36 Miliar (12,83%) dan Rp197,91 Miliar (32,93%) (yoy).
Sedangkan pada belanja TKDD secara tahun ke tahun terjadi penurunan sebesar 0,87 persen atau Rp48,18 Miliar
Adnan, penyebab terbesar penurunan belanja TKDD adalah karena tidak adanya
realisasi DBH di Juli 2022. Penurunan DBH juga terjadi secara nasional, karena tahun lalu terdapat percepatan pembayaran kurang bayar DBH pada semester I tahun 2021.
Menurut Adnan, besarnya porsi TKDD dalam komponen pendapatan di Malut menunjukkan bahwa kapasitas fiskal daerah masih rendah.
Untuk itu perlu adanya upaya dari Pemda dalam menggali lebih dalam lagi potensi-potensi yang ada untuk meningkatkan PAD.
Dalam kesempatan yang sama, selain kondisi fiskal, Adnan juga menjelaskan pertumbuhan ekonomi Malut yang memberikan sinyal positif prospek ekonomi di tahun 2022 dan meningkatkan keyakinan pelaku pasar terhadap pemulihan ekonomi Indonesia. “Berbagai indikator ekonomi di Malut mengalami perkembangan yang sangat baik seperti pertumbuhan ekonomi di Triwulan II yang mampu tumbuh sebesar 27,74% jauh di atas pertumbuhan ekonomi nasional 5,44%. Dari sisi pengeluaran, komponen PMTB mengalami pertumbuhan tertinggi sebesar 112,19 persen,” jelas Adnan.
Adnan mengungkapkan, tingginya Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) di Malut ternyata belum mampu mengentaskan kemiskinan.
Dimana pada triwulan II 2022 PDRB Malut mencapai 27,74%, melampaui PDRB nasional 5,54%,
Hal tersebut disebabkan karena industri pengolahan dan pertambangan serta transportasi dan pergudangan masih menjadi penyumbang terbesar PDRB Malut.
Untuk mengatasi ketimpangan tersebut, beberapa solusi yang dapat diterapkan yaitu melalui peningkatan penyaluran KUR sektor pertanian, peningkatan kemampuan SDM melalui program-program pelatihan dari pemerintah, dan peningkatan peran perusahaan tambang dalam mengembangkan BUMDes di wilayah operasionalnya melalui program CSR dan keterlibatan dalam mata rantai pasokan ke industri pertambangan.
Karenya Kanwil DJPb dalam rekomendasinha memberikan masukan diantaranya pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam mengakselerasi vaksinasi dan menerapkan protokol kesehatan melalui sosialisasi kepada masyarakat, perluasan jangkauan skema-skema bantuan sosial yang telah ada.
Kemudian nengkonsolidasikan program pembangunan pemerintah pusat dan pemerintah daerah, mendorong pengembangan sistem jaminan sosial, serta harmonisasi APBN dan APBD dalam upaya penguatan program pengentasan kemiskinan.
“Instrumen-instrumen dalam APBN dan APBD mendukung terciptanya stabilitas ekonomi selama masa pandemi Covid-19 dan risiko global yang masih belum berakhir. Pembiayaan APBN tetap mengedepankan prinsip prudent, fleksibel, dan oportunistik.” tutup Adnan.(lfa/pur)