Oleh : Salim Taib
Wakil Ketua Bid. Idiologi dan Kaderisasi DPD PDIP Malut
BAHWA Islam adalah agama yang fitrih, yang bersifat menyempurnakan segala kebaikan yang sudah dimiliki manusia di bumi. Fitrah merupakan konsep penting dalam Islam yang diterjemahkan dalam berbagai leteratur oleh para Ulama berdasarkan pengertian yang diambil dari tema-tema yang dibahasakan dalam al-Qur’an. Pada pengertian dasarnya fitrah memiliki makna, “sifat asal, asal kejadian, keadaan yang murni, membuka serta membela” dengan pengertian ini sesungguhnya fitrah adalah sebuah dorongan terdalam yang sudah tertanam di dalam diri setiap manusia untuk menemukan Tuhan.
Ali Issya Othman mengawali bukunya tentang manusia menurut Al-Ghazali yang disadur ulang dalam buku NU Pancasila oleh Einar Martahan Sitompul mengungkapkan bahwa “ dorongan hati (fitrah) itulah yang menyebabkan manusia menyerahkan diri (Islam) kepada Allah, (2010: 174). Kepasrahan diri total pada yang Maha Mutlak, atau tunduk dan taat pada Yang Maha menundukan, dengan kepasrahan atau keterpaksaan, dengan ketulusan atau ketidaktulusan, yang kasemuanya telah digariskan dalam garis gerak takdir oleh Sang Pemberi Takdir di awal pra-eksistensi kejadian manusia.
Fitrah dalan Islam yang pada hakekatnya menyerahkan diri (self-commitment) sebagai respon terhadap gerak hati yang tertanam didalam fitrah manusia, merupakan suatu kedamaian bathin yang tidak dapat diperoleh tanpa menemukan Allah dan menyembah kepada-Nya, pada posisi inilah maka, konsepsi fitrah itu dikalah seluruh gerak hidup manusia baik dengan kerelaan maupun keterpaksaan poros dan tujuan sentarnya adalah Tuhan itu sendiri, sekalipun dalam gerak hidup manusia mengalami ketercerabutan atau distorsi ke-Tuhanannya, tidak bisa “me-munafik-kan” apalagi mengingkari untuk meng-kosong-kan, dan menihilkan eksistensi Tuhan dalam dirinya, merasa Tuhan senantiasa hadir atau keyakinan ke-Tuhannnya tidak akan hilang, tetap melekat dalam bathin inilah dinamakan fitrah.
Pertanyaan menariknya adalah dimana sesungguhnya letak alasan bahwa Pancasila itu memiliki basis “spiritualitas-teologis” bersesuaian dengan konsep fitrah dalam Islam, oleh karena pengajuan pertanyaan itu disekitaran basis teologis, maka patut kiranya menghadirkan Pancasila saat mana pidato yang disampaikan oleh Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945, penting meriwayatkan sebuah pengakuan keyakinan theologis dari seorang Bung Karno sebelum melafalkan Pancasila yang menjadi dasar bangunan Indonesia Merdeka.
Bahwa Pancasila dengan jujur diaakui oleh Bung Karno, yang ditulis oleh Yudi Latif, dalam bukunya: Negara Paripurna, Historisitas, Rasionalitas, dan aktulaitas Pancasila: “merupakan Ilham yang diturunkan Tuhan kepadanya, menurut pengakuannya, di malam menjelang tanggal 1 Juni 1945, “ia bertafakkur (menggunakan akal pikirannya dengan sekeras-kerasnya berfikir), menjelajahi lapis demi lapis lintasan sejarah bangsa, menangkap semangat yang bergelorah dalam jiwa rakyat, dan akhirnya menengadahkan tangan meminta petunjuk kepada Allah SWT agar diberi jawaban yang tepat atas pertanyaan tentang dasar negara yang hendak dipergunakan untuk meletakkan Negara Indonesia Merdeka diatasnya, sampai akhirnya didepan sidang BPUPK, Bung Karno mempersembahkan lima mutiara yang disebut dengan pancasila itu, diatasnya berdiri Negara Indonesia Merdeka ” ( 2011:12).
Bung Karno merekonstruksi gagasan, pikiran dan mengolah bathinnya untuk memproduksi Pancasila sebagai dasar Negara Indonesia Merdeka adalah sebuah Ilham dari Allah SWT, pengakuan tersebut tidaklah bermakna hampar, melainkan sebuah kedekatan yang terus menerus dilakukan oleh Bung Karno, yang didorong oleh kuatnya keyakinan akan kekuasan Maha Tunggal. Karena itu boleh dikatakan bahwa Pancasila tidak dilahirkan diluar kuasa, serta diluar campur tangan skenario Allah kepada Bung Karno, melainkan persis adanya keterlibatan Tuhan dalam pikiran dan lisan Bung Karno untuk disampaikan dalam sidang BPUPK.
Bukan panca Dharma namun dasar ini saya namakan dengan Pantja sila, pantja berarti lima dan sila berarti dasar dan diatas kelima dasar itulah Indonesia didirikan, kekal, dan abadi. Bung Karno menyebut dalam pidato 1 Juni itu pada sila ke lima, Ketuhanan yang berkebudayaan. Prinsip Indonesia merdeka dengan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa bahwa prinsip sila kelima daripada negara kita ialah ke-Tuhanan yang berkebudayaan, ke-Tuhanan yang berbudi pekerti luhur, ke-Tuhanan yang homat menghormati satu sama lain.
Sila Ketuhanan yang berkebudayaan ditempatkan pada sila ke lima oleh Bung Karno memiliki dasar dan alasan teologis, sekiranya Bung Karno tidak memiliki alasan keyakinan ke-Tauhidannya sebagai seorang muslim yang taat maka Bung Karno tidak akan pernah mengakuinya dalam sebuah karyanya “Sarinah Kewajiban Wanita Dalam Perdjoangan Republik Indonesia, mengakui dalam ucapanya bahwa “dan.. entah ini dimengerti orang atau tidak.. saya mencintai sosialisme, oleh karena saya ber-Tuhan dan menyembah kepada Tuhan.
Saya mencintai sosialisme oleh karena saya tjinta kepada Islam, dan malahan sebagai salah satu ibadah kepada Allah. Didalam tjita-tjita politikku aku ini nasionalis, di dalam tjita-tjita sosialku aku ini sosialis, didalam tjita-tjita sukmaku aku ini sama sekali theis; sama sekali percaya kepada Tuhan, sama sekali ingin mengabdi kepada Tuhan (1947:325).
Keselarasan makna yang terkandung dalam sila Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan inti dari cakupan makna fitrah dalam Islam itu sendiri, Ulama Nahdlatul Ulama dalam mengahiri perdebatan polimik dari kalangan nasionalis muslim dan nasionalis sekuler dengan menyatakan bahwa prinsip ke-Tuhanan adalah sila yang mencerminkan Tauhid Islam, mencerminkan berarti membayangkan suatu perasaan, keadaan bathin, dan sebagainya, sila ke-Tuhanan Yang Maha Esa dinilai sudah membayangkan atau menggambarkan apa yang diinginkan oleh Tauhid Islam.
- Achmad Siddiq yang pada muktamar 1984 terpilih sebagai Rais ‘Am dalam makalahnya yang disampaikan pada muktamar mengatakan bahwa. Sila ke-Tuhanan yang Maha Esa mencerminkan pandangan Islam akan keesaan Allah yang disebut pula dengan sebutan kalimat Tauhid. Ini bukanlah sebuah pembenaran mencari titik temu keselarasan makna pancasila yang memuat lima sila itu dalam ruang makna yang tercakup didalam kata fitrah. Namun juga kita tidak bisa mengabaikan bahwa konsepsi sila ke-Tuhanan Yang Maha Esa dalam Pancasila mengandung demensi keyakinan atau prinsip Tauhid dalam ajaran Islam, artinya bahwa pengakuan akan keesaan Allah atau Tuhan Yang Maha Esa merupakan bagian yang tak terpisahkan dari makna fitrah manusia.
Mengutib Imam Al-Ghazali dalam sebuah tulisannya tentang asal mula kepercayaan bahwa “ kepercayaan kepada Allah lahir di dalam diri setiap manusia karena fitrahnya (sifat yang ditanamkan Allah ke dalam diri manusia sewaktu menciptakannya), dan tak seorangpun dapat menghindari dorongan fitrahnya untuk mencari pengetahuan mengenai Allah, lagi pula di dalam al-Qur’an kita jumpai banyak sekali penanda-penanda yang dapat berperan sebagai dasar kepercayaan kepada Allah yang mudah di pahami untuk membuatnya percaya kepada Pencipta Yang Tunggal, yang memerintah dan mengendalikan alam semesta.
Merujuk penjelasan Imam Al-Ghazali ini, dapat dijelaskan pula dalam pandangan penulis bahwa pengakuan yang di lafajkan lewat lisan yang diverbalkan dalam kata maupun pidato termasuk pidato Bung Karno 1 Juni 1945 tentang dasar negara Indonesia Merdeka, sila yang berke-Tuhanan Yang Maha Esa itu tak lain dan tak bukan adalah pantulan dari resonansi bentuk keyakinan terdalam dari sesorang yang meyakini dan menyandarkan seluruh gerak hidupnya hanyalah kepada Tuhan.
Tuhan menjadi titik sentral yang mengkomandai gerak hidup Bung Karno dalam mengalirkan pancasila disela-sela tafakkurnya, menerobos lapisan-lapisan admosfir generasi kegenerasi dalam setiap masa yang dilampuinya. Itulah mengapa dasar Idiologi Bangsa Indonesia Pancasila bertahan dan semoga kesadaran kolektif sebagai anak Bangsa terus mempertahankan Pancasila, karena selain menjadi titik temu keragaman, mempertemukan perbedaan untuk harmoni kehidupan Bangsa, namun pancasila yang terdiri dari lima sila tersebut bersesuaian dengan fitrah penciptaan manusia dalam Islam.
Terutama pada sila ke-tuhanan Yang Maha Esa ”Qul huallahu ahad” katakan (Muhammad) Dialah Allah Yang Maha Esa. Atau tepatnya penulis menarasikan sila Ketuhanan Yang Maha Esa adalah bentuk konfirmasi antara keselarasan, kesesuaian, ketersambungan dan tidak adanya perbenturan Pancasila dengan nilai kebenaran yang dikandung kata ke-Fitrahan dalam Islam. Selamat membaca semoga bermanfaat.(*)