Oleh: Syamsul bahri abd. Rasyid
(Pengajar UNAIM Yapis Wamena)
Pada 12 Maret 2019 lalu, para golputers mendapatkan kritikan yang sangat keras dari Maria Franz Anton Valerian Benedictus Ferdinand von Magnis, atau lebih dikenal dengan nama Franz Magnis-Suseno, melalui rubrik opini Kompas. Tanggapan kemudian datang dari berbagai pihak. Salah satunya adalah peneliti ISEAS-Yusof Ishak Institute Singapore, Antonius Made Tony Supriatma (atau lebih dikenal dengan nama Made Supriatma), dengan tanggapan satire − sebagaimana ciri khasnya − yang tidak kalah nyelekitnya, pada 14 Maret 2019, lewat laman IndoPROGRESS. Supriatma menyebut bahwa ia mencium bau-bau chauvinisme dengan rasa fasis atau semacam hyper-nationalism ala Nazi atau setidaknya ala Orba, dalam dakwaan Romo Magnis, yang menyebut para golputers bodoh, berwatak benalu, dan bermentak tidak stabil (psycho-freak). Belakangan, Romo Magnis kemudian menyesali pemilihan kata yang ia gunakan dan kemudian menganggap bahwa ia telah melakukan kesalahan besar (Tempo.co, 2019).
Selain kedua penulis ini, banyak pula tokoh-tokoh yang berbeda pandangan (pro-kontra) soal golput. Tokoh-tokoh seperti Buya Ahmad Syafiie Ma’arif dan Mahfud MD misalnya, adalah tokoh yang kontra dengan golput. Kedua tokoh ini memiliki alasan yang sama dengan Romo Magnis, bahwa sikap golput dapat mereduksi kualitas demokrasi. Karenanya, menurut mereka, sikap yang paling paling tepat untuk diambil adalah dengan mencegah yang terburuk terpilih. Sementara itu, tokoh dan aktivis lain yang mendukung golput, misalnya; Gus Dur, Azyumardi Azra, Haris Azhar, Dandhy Laksono, Alissa Wahid, dan tentu saja para penggagas dan penggerak istilah golput, Imam Walujo Sumali, Arief Budiman (Soe Hok Djin), dkk. Yang pasti, pilihan ini didasari oleh beragam pertimbangan, sebelum menentukan sikap. Gus Dur misalnya, dikenal sebagai guru bangsa yang paling sering mengambil sikap golput karena dugaan kecurangan KPU. Bahkan, berdasarkan penuturan Alissa Wahid, keluarganya juga kerap mengambil sikap golput. Baginya, golput adalah hak warga negara. Dalam buku “Mengapa Kami Memilih Golput,” Gus Dur mengatakan “kalau tidak ada yang bisa dipercaya, ngapain repot-repot ke kotak suara? Daripada nanti kecewa (2009: 1).”
Istilah Golput sendiri, baru muncul setelah dipicu oleh artikel Imam Walujo Sumali di Harian KAMI edisi 12 Mei 1971 dengan tajuk “Partai ke Sebelas untuk Generasi Muda” sebagai alternatif dari semua partai politik peserta pemilu (Prayana, 2023). Disusul dengan pertemuan sekelompok eksponen pemuda pada awal Juni 1971, dideklarasikanlah Golongan Putih, yang dimotori Arief Budiman dkk, sebagai alternatif menghadapi iklim politik pemilu 1971. Pada perkembangannya, istilah ini kemudian menjadi bola salju dalam setiap kontestasi pemilu. Bermula dari gerakan moral, istilah golput kemudian mengalami perambahan tafsiran (bila tidak dikatakan “pengembungan definisi”). Banyak pengambilan sikap dan tindakan oleh sebagian pemilih, dimasukkan dalam cluster golput. Padahal, golput sendiri merupakan keputusan yang diambil, karena telah melalui aneka pertimbangan yang ketat.
Pengamat politik dari PolMark Indonesia, Eep Saefulloh Fatah dalam Arianto (2011: 54), mengklasifikasikan golput atas empat golongan. Pertama, golput teknis, yakni mereka yang karena sebab-sebab teknis tertentu berhalangan hadir ke tempat pemungutan suara, atau mereka yang keliru mencoblos sehingga suaranya dinyatakan tidak sah. Kedua, golput teknis-politis, seperti mereka yang tidak terdaftar sebagai pemilih karena kesalahan dirinya atau pihak lain (lembaga statistik, penyelenggara pemilu). Ketiga, golput politis, yakni mereka yang merasa tak punya pilihan dari kandidat yang tersedia atau tak percaya bahwa pileg/pilkada akan membawa perubahan dan perbaikan. Keempat, golput ideologis, yakni mereka yang tak percaya pada mekanisme demokrasi (liberal) dan tak mau terlibat di dalamnya entah karena alasan fundamentalisme agama atau alasan politik-ideologi lain.
Namun, ada satu hal yang patut dicatat dari empat klasifikasi golput ini, bahwa golput adalah pengambilan sikap yang sudah melalui pertimbangan-pertimbangan matang. Karenanya, walau keputusan memilih untuk tidak memilih sudah dipilih, namun bila tidak melalui pertimbangan matang, hal itu tidak bisa dikatakan golput. Golput, berbeda dengan apatisme. Apatisme adalah sikap acuh tau. Ia tidak sama dengan golput. Hanya saja, oleh beberapa kalangan, sikap apatisme di saat pemilu, dinilai sebagai golput. Berbeda dengan Eep Saefulloh Fatah, Made Supriatma justru meletakkan definisi golput pada taraf yang lebih ketat. Beberapa klasifikasi golput oleh Fatah, dalam penjabaran Supriatma, tidak dianggap sebagai golput. Kasus-kasus berikut barangkali dapat membantu.
Pemilih Register 45 di Kabupaten Mesuji, Lampung, tidak memilih karena tidak ber-KTP. Mereka dianggap mendiami tanah negara secara ilegal. Apakah mereka golput? Bukan. Pemilih (transmigran) ber-KTP Papua Pegunungan, di beberapa perkampungan, tidak memilih karena mendapat tekanan dari OAP (Orang Asli Papua), dengan alasan identitas genealogis. Apakah mereka golput? Bukan. Karena alasan keyakinan agama, orang tidak memilih. Apakah golput? Bukan. Sekalipun sikap keagamaan, agak rancu untuk dikatakan bahwa itu adalah sikap politik. Banyak orang yang tidak memilih karena beragam alasan, entah karena sistem administrasi pemilihan yang berbelit-belit, karena pekerjaan, karena lupa, karena sengaja apatis, dan lain sebagainya. Ini juga tidak bisa dikatakan golput. Karena ini bukan sikap.
Mengutip tanggapan Supriatma terhadap Romo Franz, terdapat penekanan bahwa golput adalah statemen politik. Ia adalah sikap, bukan tindakan (Supriatma, 2019: 4-5). Dengan mengontekskannya pada pemikiran Supriatma, maka beberapa kasus yang dinilai golput, nyatanya bukan golput, bila berkaca pada gerakan golput 1971. Barangkali, maksud Supriatma, lebih tepatnya dimasukkan ke dalam cluster pengklasifikasian golput menurut Arbi Sanit (1992), yakni; menusuk lebih dari satu gambar partai, menusuk bagian putih dari kartu suara, dan tidak mendatangi kotak suara dengan kesadaran untuk tidak menggunakan hak pilih. Untuk klasifikasi ketiga, contoh kasus yang paling trend adalah hadirnya film dokumenter “Sexy Killers (2019)” yang disutradarai oleh Dandhy Laksono. Adapun kampanye Nurhadi-Aldo pada pemilu 2019 melalui laman media sosial, dapat diklasifikan pula sebagai gaya baru gerakan golput (Duile, 2020).
Bonus Demografi: Peran Vital Generasi Muda
Pada Minggu, 2 Juli 2023, bertempat di gedung KPU, telah ditetapkan Daftar Pemilih Tetap (DPT) secara nasional untuk pemilu 2024, dengan jumlah DPT sebanyak 204.807.222 pemilih (kpu.go.id, 2023). Bila melihat data terakhir dari BPS –sebagaimana dikutip katadata.co.id– untuk jumlah penduduk berdasarkan usia secara nasional, jumlah penduduk Indonesia sudah mencapai angka 275,77 juta jiwa, dimana 69,25%-nya adalah kelompok usia produktif (15-64 tahun). Dengan mengacu pada jumlah penduduk berdasarkan usia yang diterbitkan oleh BPS dan jumlah DPT yang ditetapkan oleh KPU, dapat disimpulkan bahwa generasi milenial dan generasi Z (centenial) yang direpresentasikan sebagai generasi muda, adalah daftar pemilih mayoritas dengan persentase 61,5% dari jumlah DPT total. Artinya, mereka memegang peranan vital dalam menyukseskan jalannya pemilu. Bila mengacu pada gerakan golput 1971, telah terjelaskan bahwa anak muda menjadi pelopor gerakan ini. Sehingganya, tingkat kesuksesan pemilu, sangat ditentukan oleh besarnya tingkat partisipasi politik generasi muda (sebagai pemilih). Melihat sejarah dari pelaksanaan pemilu ke pemilu, angka pemilih yang tidak memilih selalu menunjukkan tren peningkatan. Dengan demikian, pelaksana, peserta pemilu, dan partai politik, dituntut untuk pandai membaca kebutuhan dan aspirasi mereka, jika tak ingin persentase pemilih yang tidak memilih merajalela.
Tanggung Jawab Siapa?
Dalam banyak literatur, KPU dan Bawaslu disebut sebagai dua lembaga yang paling berperan dalam menarik simpati pemilih, terutama pemilih pemula. Namun, jika ditelaah secara lebih mendalam, tanggung jawab paling besar yang semestinya dipikul adalah partai politik. Memang benar bahwa kinerja KPU dan Bawaslu seperti kecurangan, pemihakan serta manipulasi yang kedapatan dalam beberapa tempat yang melaksanakan pemilu, juga dinilai sebagai faktor yang membuat orang-orang memilih golput. Bahkan, tidak jarang jumlah suara hanya dianggap angka semata, serta diotak-atik dan dikalkulasikan sedemikian rupa –mirip anak kecil belajar berhitung– demi meraih kemenangan. Namun, dibanding partai politik dan calon yang diusungnya, KPU dan Bawaslu memiliki porsi yang lebih kecil dalam wacana oral publik. Kebanyakan pemilih, biasanya akan melihat partai politik, calon yang diusung, identitas, dan besaran sogokan sebagai acuan untuk memilih. KPU dan Bawaslu boleh saja mengimbau kepada para pemilih untuk menolak politik identitas dan politik uang, namun, itu persoalan lain. Karena proses itu sudah masuk ke dalam tahap untuk penentuan pilihan diantara para calon yang tersedia, bukan bagian dari mengajak pemilih untuk tidak golput. Karenanya, partai politik, simpatisan, hingga peserta pemilu, mesti serius dalam menarik minat para pemilih, terutama generasi muda. Tentunya, peran KPU dan Bawaslu juga tak luput.
Partisipasi Politik Pemilih Tinggi = Semakin Baik Kualitas Demokrasi?
Ada pendapat-pendapat yang menyatakan bahwa partisipasi politik pemilih, berbanding lurus dengan kualitas demokrasi. Salah satunya, Ali Mochtar Ngabalin, yang berkoar-koar menyerukan itu. Bila demikian, maka logika itu mutlak cacat karena tidak relevan dengan data tingkat partisipasi politik pemilih yang terjadi saat pemilu di era orde baru, atau Korea Utara sebagai contoh kasus lain. Sehingganya, perlu analisis yang lebih tajam dari sekedar pengukuran partisipasi politik pemilih sebagai acuan penilaian kualitas demokrasi.
Lebih lanjut, klaim sepihak bahwa pemilu sebagai jaminan menghasilkan pemimpin yang dapat menjawab kebutuhan orang banyak, pun masih keliru, karena kita tidak memiliki banyak pilihan terhadap figur-figur yang telah disediakan. Walau begitu, realias politik menempatkan pemilu sebagai sarana kita untuk memilih. Pada sisi yang lain, ada pula orang-orang yang memilih bersikap golput, serta memilih untuk tidak memilih karena faktor lain. Asalkan, golput tidak sampai difatwakan haram oleh MUI, seperti tahun 2014 dan 2019. Karena, keputusan itu semacam menyerah dengan keadaan, sehingga agama dijadikan tameng untuk melancarkan doktrinasi. Pada akhirnya, Golongan Putih, akan selalu menjadi perhatian sekaligus kekhawatiran dalam setiap kontestasi pemilu. TABEA.