EdukasiHalutOpini

TKA dan Masa Depan Evaluasi Pendidikan: Antara Validasi dan Kompleksitas

×

TKA dan Masa Depan Evaluasi Pendidikan: Antara Validasi dan Kompleksitas

Sebarkan artikel ini

Oleh: Gufran Usman
Mahasiswa Program Doktoral Penelitian dan Evaluasi Pendidikan
Universitas Negeri Jakarta

 

KEBIJAKAN Tes Kemampuan Akademik (TKA) yang digulirkan Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah pada 2025 berdasarkan Permendikdasmen No. 9/2025 tentang TKA, serta turunannya Kepmendikdasmen no. 95/2025 tentang Pedoman Penyelenggaraan TKA sampai pada Perkaban No. 45 & 47/ 2025 tentang kerangka Asesmen TKA Jenjang SMA, SD dan SMP layak disambut sebagai terobosan signifikan dalam peta evaluasi pendidikan nasional. Berbeda dengan Ujian Nasional (UN) maupun Asesmen Nasional (AN) yang kerap dikritik, TKA hadir dengan posisi unik: sebagai alat validasi eksternal terhadap nilai rapor sekaligus penunjang Seleksi Nasional Berbasis Prestasi (SNBP) untuk masuk perguruan tinggi negeri.

Secara konseptual, TKA menjawab kegelisahan lama mengenai kesenjangan kredibilitas nilai akademik antarsekolah. Dengan memposisikan hasil tes sebagai “validator”, TKA berpotensi meningkatkan akuntabilitas sistem penilaian di tingkat satuan pendidikan. Integrasinya dengan SNBP juga menjadi sinyal kuat bahwa pemerintah serius menciptakan sistem seleksi yang lebih transparan dan terukur. Namun, di balik potensinya, implementasi TKA menghadirkan setidaknya tiga tantangan kompleks yang perlu disikapi secara kritis.

Pertama, konsep validasi yang menjadi roh TKA masih menyisakan ruang tafsir. Dokumen TKA menyatakan bahwa perbedaan signifikan antara nilai rapor dan skor TKA akan menjadi “sinyal” bagi panitia seleksi. Namun, bagaimana mendefinisikan “signifikan” secara operasional? Tanpa metodologi yang jelas dan transparan, proses validasi berisiko menjadi subjektif dan berpotensi merugikan pihak tertentu. Perlu standar baku yang dipahami semua pemangku kepentingan.

Kedua, kebebasan memilih mata pelajaran pilihan meski secara prinsip mendukung agency peserta menciptakan kompleksitas pengukuran. Dua siswa dengan kombinasi mata pelajaran berbeda sebenarnya diukur pada konstruk yang tidak sepenuhnya setara. Hal ini mempersulit interpretasi skor agregat dan mempertanyakan kesetaraan pengukuran (equity in measurement).

Ketiga, integrasi TKA dengan peta prodi melalui Kepmendikdasmen 102/2025 berpotensi membatasi eksplorasi akademis siswa. Seorang dengan bakat fisika yang ingin berkarier di hukum akan didorong memilih sosiologi, yang mungkin bukan kekuatan utamanya. Di sini, TKA tidak lagi sekadar alat ukur, tapi juga mekanisme pengarah (steering mechanism) kurikuler.

Dari sisi operasional, ketergantungan pada infrastruktur digital dan mekanisme “menumpang” bagi sekolah dengan fasilitas terbatas berpotensi memperlebar kesenjangan kualitas pelaksanaan. Pengalaman tes yang tidak setara dapat mengancam prinsip keadilan assessment.

Lalu, bagaimana seharusnya?
Pertama, transparansi metodologi validasi mutlak diperlukan. Publik berhak memahami bagaimana perbandingan nilai rapor dan skor TKA diinterpretasikan. Kedua, perlu kajian mendalam mengenai dampak kebijakan pemilihan mata pelajaran terhadap kesetaraan pengukuran. Ketiga, mekanisme pendampingan bagi sekolah dengan infrastruktur terbatas harus menjadi prioritas, bukan sekadar opsi “menumpang”.

Yang tak kalah penting, TKA harus dipandang sebagai bagian dari ekosistem evaluasi yang lebih holistik. Hasil TKA seyogianya tidak menjadi akhir perjalanan, tapi awal untuk refleksi perbaikan proses pembelajaran.

Sebagai penutup, TKA adalah langkah progresif yang patut diapresiasi. Namun, kesuksesannya tidak hanya diukur dari kelancaran teknis pelaksanaan, tapi juga dari kemampuan kita mengelola kompleksitasnya dengan bijak, agar assessment benar-benar menjadi alat memajukan Pendidikan yang fairness, bukan sekadar ritual administratif.(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *