Oleh: Ali Akbar Djaguna
Ada satu angka yang dalam beberapa pekan terakhir beredar di ruang-ruang diskusi, rapat birokrasi, dan pembicaraan publik Morotai: Rp573,93 miliar. Itu adalah rancangan APBD Kabupaten Pulau Morotai untuk tahun anggaran 2026. Sebuah angka yang jauh lebih kecil dari tahun sebelumnya. Sebuah angka yang dalam diamnya menyimpan tanda bahaya, sekaligus pertanyaan besar tentang masa depan pembangunan di sebuah daerah kepulauan yang selama ini masih berjuang membangun dirinya pelan-pelan di tengah segala keterbatasan. Ia bukan sekadar kalkulasi teknis dalam dokumen perencanaan. Ia adalah gambaran tentang badai fiskal yang perlahan mulai terasa.
Setiap kali anggaran menciut secara drastis, yang pertama terguncang bukanlah angka-angka itu sendiri, melainkan asumsi, tradisi, dan kenyamanan birokrasi yang selama ini terbentuk oleh rutinitas. Dalam dunia pemerintahan daerah, rutinitas itu bernama incremental budgeting. Sebuah cara menyusun anggaran yang selama puluhan tahun dianggap sebagai kewajaran. Caranya sederhana: mulai dari anggaran tahun lalu, lalu tambahkan atau kurangi sedikit. Tidak perlu analisis mendalam, tidak perlu menggugat relevansi program, tidak perlu mengguncang kenyamanan siapa pun. Praktis, aman, dan dapat dipertanggungjawabkan secara administratif. Tetapi pola ini juga menyimpan bahaya besar, yaitu matinya evaluasi dan tumbuhnya segala jenis pemborosan kultural yang sulit diidentifikasi.
Ketika anggaran daerah besar, kelemahan incremental budgeting tertutupi oleh kelimpahan. Ketika anggaran daerah menyusut, semua cacat struktural tiba-tiba tampak jelas. Morotai hari ini berada pada posisi itu. Penurunan drastis pendapatan daerah, terutama dari dana transfer pusat, membuat ruang fiskal menyempit. Belanja wajib seperti gaji, tunjangan, dan pelayanan dasar tetap harus dibayar dengan prioritas tertinggi. Sementara urusan pembangunan, inovasi, dan terobosan menjadi yang pertama tertekan. Daerah seperti Morotai, yang masih sangat bergantung pada APBN, merasakan guncangan ini lebih keras dari yang lain.
Namun tidak ada gunanya meratap panjang terhadap angka yang terlanjur mengecil. Pertanyaan yang lebih penting adalah bagaimana memosisikan diri di tengah keterbatasan. Apakah Morotai memilih tetap mempertahankan pola lama, atau berani mengambil keputusan radikal untuk menyelamatkan kualitas pembangunan dan masa depan fiskal daerah? Dalam situasi seperti ini, pilihan itu sebenarnya tidak lagi bersifat alternatif. Ia nyaris bersifat deterministik. Untuk keluar dari tekanan, Morotai harus meninggalkan incremental budgeting dan mulai mengadopsi Zero-Based Budgeting — sebuah pendekatan yang selama ini terasa terlalu teknokratis, terlalu melelahkan, dan terlalu tidak nyaman bagi birokrasi yang terbiasa pada rutinitas warisan tahun sebelumnya. Tetapi ketidaknyamanan itu justru menjadi kebutuhan.
Zero-Based Budgeting—atau ZBB—bukan hanya soal metode. Ia adalah perubahan cara berpikir. Dalam ZBB, tidak ada kegiatan yang otomatis dilanjutkan hanya karena ia ada pada tahun lalu. Semuanya dimulai dari nol. Tidak ada “program rutin” yang kebal kritik. Tidak ada “kegiatan tahunan” yang bebas evaluasi. Setiap rupiah harus dibenarkan, dijustifikasi, dibuktikan relevansinya. Pemerintah daerah dipaksa untuk menjawab pertanyaan yang selama ini sering dihindari: apa manfaat program ini bagi masyarakat? Mengapa harus dibiayai? Apa dampaknya? Siapa penerimanya? Seberapa besar urgensinya dibanding program lain? Dan apakah program ini masih layak dilanjutkan pada saat fiskal sedang cekak seperti sekarang?
Pertanyaan-pertanyaan itu memang melelahkan. Tetapi justru di situlah inti kesehatan fiskal dibangun. Anggaran publik seharusnya tidak berjalan seperti mesin otomatis yang sekadar menyalin tahun sebelumnya. Ia harus bergerak mengikuti kebutuhan real masyarakat, bukan mengikuti sejarah administrasi sebuah dokumen.
Penerapan ZBB bagi Morotai bukan sekadar pilihan cerdas pada saat fiskal menyusut. Ia adalah jalan untuk mengembalikan rasionalitas anggaran. Selama ini, banyak kegiatan menghabiskan anggaran tanpa memberikan dampak signifikan. Berbagai program berjalan hanya karena “selalu ada”. Sementara kebutuhan pembangunan riil justru kerap tertunda: infrastruktur desa yang belum tuntas, layanan kesehatan yang membutuhkan peningkatan fasilitas, pendidikan yang butuh tenaga guru dan sarana belajar, konektivitas antarwilayah yang sangat mahal bagi kabupaten kepulauan, serta pengembangan ekonomi bahari yang menuntut investasi jangka panjang. Ketika anggaran terbatas, semua ini harus menjadi fokus. Tetapi fokus tidak pernah bisa dicapai jika pola penganggaran masih didasarkan pada kelanjutan otomatis masa lalu.
Kolom ini tidak sedang memuji ZBB sebagai jalan tanpa cacat. Tentu saja penerapannya berat. Ia menuntut keberanian politik dari kepala daerah. Ia menuntut ketegasan pemerintah daerah untuk mengatakan “tidak” kepada program yang tidak jelas hasilnya. Ia menuntut perangkat daerah bekerja lebih keras menyusun argumentasi, bukan sekadar menyusun daftar belanja. Ia menuntut DPRD mengganti pendekatan politik anggaran dari pembagian kue menjadi penajaman prioritas. Bahkan jika diterapkan dengan setengah hati, ZBB hanya akan menjadi ritual yang merepotkan tanpa perubahan nyata. ZBB hanya efektif jika disertai komitmen moral yang kuat: bahwa anggaran adalah instrumen pembangunan, bukan instrumen kenyamanan birokrasi.
Namun jika resistensi itu dijadikan alasan untuk bertahan dengan cara lama, konsekuensinya jauh lebih berbahaya. Morotai tidak sedang memasuki tahun-tahun mudah. Penurunan fiskal bisa menjadi tren jangka menengah. Belanja wajib akan terus membesar. Harga kebutuhan dasar dan biaya pembangunan di wilayah kepulauan akan makin meningkat. Jika struktur anggaran tidak dirombak, belanja pembangunan akan terus menyusut. Dalam beberapa tahun ke depan, daerah bisa menghadapi situasi di mana 80 persen anggaran habis untuk belanja rutin. Dalam kondisi seperti itu, berbicara mengenai pembangunan hanyalah wacana kosong.
Dengan kata lain, ZBB bukan lagi sekadar metode teknis. Ia adalah pilihan moral untuk menyelamatkan masa depan pembangunan Morotai. Tanpa keberanian itu, apa yang bisa diharapkan? Pembangunan akan tersendat, pelayanan publik akan stagnan, dan daerah tidak akan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Di tengah kompetisi antarwilayah, daerah yang berani melakukan reformasi anggaran justru akan lebih cepat pulih dan tumbuh daripada daerah yang tetap bertahan dalam zona nyaman.
Selain itu, penerapan ZBB juga dapat menjadi momentum untuk memperkuat tata kelola pemerintahan secara menyeluruh. ZBB menuntut data yang akurat, perencanaan yang berbasis bukti, evaluasi yang sistematis, serta digitalisasi proses anggaran. Ketika ZBB diterapkan secara konsisten, birokrasi daerah terpaksa membangun kapasitas baru: analisis masalah, pengukuran dampak, dan kemampuan merancang solusi yang efektif. Pada ujungnya, kualitas pemerintahan akan meningkat. Jika teknologi dan data diterapkan untuk memperkuat proses ini, pemerintah daerah dapat menjadi lebih transparan dan akuntabel. Masyarakat akan lebih mudah memahami ke mana anggaran diarahkan dan apa hasilnya. Kepercayaan publik dapat tumbuh dari sini.
Namun pembenahan mentalitas birokrasi mungkin menjadi tantangan terbesar. Dalam birokrasi anggaran, kenyamanan adalah musuh perubahan. Program-progam rutin memberi ruang aman bagi pejabat strategis. Kegiatan yang sama dari tahun ke tahun membuat proses penyusunan anggaran lebih cepat dan tidak berisiko. ZBB mengguncang semua itu. Ia memaksa perubahan. Ia memaksa pejabat untuk berargumen, bukan hanya mengusulkan. Ia memaksa penilaian objektif atas kinerja. Ia memotong program yang tidak efektif. Tidak semua orang senang dengan itu. Tetapi perubahan besar memang tidak pernah disukai pada awalnya.
Namun jika Morotai ingin mempertahankan kesinambungan pembangunan, ia tidak punya banyak pilihan lain. APBD kecil tidak harus membuat masyarakat pesimis. Yang membuat pembangunan mandek bukan kecilnya anggaran, tetapi salah kelola anggaran. Banyak daerah di Indonesia membuktikan bahwa anggaran kecil bukan hambatan jika tata kelolanya kuat. Yang diperlukan adalah disiplin fiskal, arah prioritas yang jelas, dan komitmen untuk tidak lagi menutup mata terhadap pemborosan anggaran.
Morotai hari ini sedang diberi peluang untuk memperbaiki dirinya. Anggaran yang menyusut bisa menjadi momentum untuk bersih-bersih. Untuk mengurangi beban-beban lama yang selama ini dibiarkan berjalan begitu saja. Untuk memotong kegiatan yang tidak bermanfaat. Untuk menghentikan proyek yang hanya menghabiskan anggaran tetapi tidak menyentuh kebutuhan rakyat. Untuk mengarahkan seluruh energi fiskal kepada program yang berkaitan langsung dengan kesejahteraan masyarakat: kesehatan, pendidikan, ketersediaan air, konektivitas wilayah, pemberdayaan ekonomi lokal, dan penguatan layanan publik.
Kolom opini ini meyakini satu hal: keberanian untuk memulai dari nol adalah tindakan tertinggi dalam kepemimpinan fiskal. Bukan karena mudah, tetapi justru karena ia sulit. Bukan karena ia memberi kenikmatan, tetapi karena ia melindungi masa depan. Ketika anggaran menciut, ketidakberanian justru menjadi kemewahan yang tidak lagi bisa ditoleransi. Morotai membutuhkan kepala daerah yang bersedia mengambil risiko politik demi kesehatan fiskal daerah. Birokrasi yang berani mengubah cara kerja demi kepentingan rakyat. DPRD yang menomorsatukan integritas anggaran. Dan masyarakat yang memahami bahwa reformasi anggaran tidak hanya menyelamatkan tahun ini, tetapi juga tahun-tahun panjang ke depan.
ZBB adalah panggilan untuk kembali ke akal sehat anggaran. Ia adalah ajakan untuk jujur menilai kebutuhan, berani memotong pemborosan, dan menempatkan masyarakat sebagai tujuan akhir. Jika Morotai ingin keluar dari tekanan fiskal dengan kepala tegak, cara berpikir ini harus segera diadopsi. APBD bukan hanya dokumen keuangan. Ia adalah cermin keberanian politik. Ia adalah ukuran kecerdasan teknokrasi. Ia adalah penanda arah masa depan.
Pada akhirnya, APBD 2026 yang mengecil bukanlah kabar buruk. Ia adalah undangan. Undangan untuk berubah. Undangan untuk menata ulang prioritas. Undangan untuk meninggalkan kenyamanan masa lalu. Undangan untuk membuktikan bahwa Morotai bukan sekadar daerah yang hidup dari transfer pusat, tetapi daerah yang mampu mengelola dirinya dengan visi, keberanian, dan ketegasan.
Dan dalam undangan itu tertera satu pesan: inilah saatnya memulai dari nol. Untuk pertama kalinya, bukan karena terpaksa, tetapi karena memang itulah satu-satunya jalan yang waras. Morotai bisa berjalan di jalan itu, atau tetap bertahan pada pola lama yang sudah terbukti tidak efektif. Pilihannya jelas. Masa depan terlalu berharga untuk diserahkan pada rutinitas administratif. Masa depan hanya bisa dibangun dengan keberanian. Dan keberanian itu bernama Zero-Based Budgetin.(**)













