Oleh: Asmar Ali Rahim dan Mauludin Wahab Kharie
Warga Morotai, Penggiat di Yayasan AIR/AJAR, Pemerhati Masalah Sosial dan Budaya
MOROTAI, Negeri indah di bibir Pasifik. Sensual Tubuhnya menggoda (tempting). Cerita-cerita Heroic perang Pasifik, tidak hanya menggema di hati dan sanubari orang Morotai semata, tapi dicatat dan tercatat dalam Altar dan Teras Depan Sejarah Peradaban Umat Manusia.
Bak Putri Nan Jelita (Beautiful Princes), Morotai menghipnotis banyak orang. Sejarah kejatuhan Iwojima, melalui Perang Pasifik yang Berdarah-darah (Bloody), ternyata dimulai dari Pulau Sensual ini. Kalimat-kalimat bernada provokatif dan menantang (challenge) terhadap Tantara Jepang, seperti I Shall Return dan Lep frogging dari seorang Mic Arthur—Kreator sekaligus Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Amerika di Pasifik— terhadap Tantara Jepang yang Perkasa, menggema ke Seantero Dunia.
Sejarah Heroism Tentara Jepang dalam mempertahankan otoritasnya di Morotai, menuai decak kagum musuh-musuhnya, walau pada akhirnya Tantara Jepang menderita kekalahan terhadap sekutu di Morotai, tapi setidaknya jiwa patriotism, dan semangat pantang menyerah patut diapresiasi.
Adalah Nakamura, seorang Tentara Jepang yang secara ksatria, menolak menyerahkan diri (menyerah) kepada otoritas sekutu yang secara defakto maupun dejure Telah Memenangkan Pertempuaran. Sebagai seorang ksatria sejati, Nakamura memilih bersembunyi dibelantara hutan Morotai yang saking jauh dan lebatnya, sehingga sulit ditemukan.
Diawal tahun 70-an, jejak persembunyian sang ksatria, mulai merendus dan tiga tahun kemudian, tepatnya pada pertengahan Tahun 1974 Nakamura ditemukan dan kemudian dipulangkan ke negeri leluhur dan untuk mengenang sang pesohor, Pemerintah Kabupaten Pulau Morotai membangunan monument (Patung) Nakamura di Desa Dehegila, sembari memberi pesan kepada generasi muda (Young Generation) Morotai bahwa di negeri ini pernah hidup seorang tantara sejati yang cinta akan tanah airnya, sampai rela hidup berdarah-darah di tengah , sunyi dan sangarnya hutan Tltanpa bekal.
Cerita-cerita mashur mentang Morotai, datang juga dari angkernya Pantai Armydock, sebuah pantai eksotik dengan pulir pasir yang memutih tatkala di terpa sang mentari di sepenggal siang yang terik. Angkatan Laut Amerika di paruh pertama tahun 1944 sampai awal tahun 1945, menjadikan pantai Armydock sebagai basis utama perlawanan terhadap Bala Tantara Jepang yang telah lebih dulu bercokol di Morotai.
Sebagai Pangkalan Angkatan Laut, Armydoc menjadi sangat strategis karena di tempat ini, aktifitas Militer, Administrasi Medis (Rumah Sakit), dan lainnya berlangsung disini. Adalah Douglash Mic Arthur—lahir 26 Januarin 1880 meninggal 5 April 1964 sang Jenderal Cinclong yang menjadikan Armydock sebagai Pangkalan Militer Sekutu, untuk kemudian menggempur basis-basis pertahanan Jepang di Iwojima.
Sang Jendral yang dianugerahi penghargaan Medal Of Honor, selain menjadikan Armydock sebagai Pangkalan Utama Militer Sekutu, juga membangun jembatan terapung yang menghubungkan antara Armydock dan Pulau Zum-zum, untuk mensuplai keperluan dan kebutuhan logistic, medis dan air bersih ke Pulau Zum-zum. Pulau Zum-zum sendiri, merupakan rumah perjuangan Mic Arthur, tempat mengatur strategy dan taktik, dalam rangka melakukan ofensif terhadap kantong-kantong pertahanan Jepang.
Morotai bak ratnamutumanikam. Bulir-bulir mutiara terus menyembul, memancar menutup jagat gelap. Pantainya indah tak terkira. Pulaunya berderet , berbaris indah nan rapi. Kilau rasir sungguh menggoda, sensual lautnya tak terkira. Di kedalaman 21 meter, blacktip dan reefshark hilir mudik berpatroli.
Para penikmat bawah laut sungguh mengagumi, tatkala reka melakukan Shark Diving, Hiu Sirip Hitam (blacktip) dengan Glgagah dan sedikit pongah, berpamer ria di wilayah tradisionalnya (laut Morotai), beragam cerita heroic seakan tak pernah habis walau diexplor terus tanpa henti.
Cerita tentang kedigdayaan Leo Watimena yang sangat fenomenal, justru lahir di teras depannya Negeri Morotai, di tengah lebatnya Hutan Wawama yang kesohor itu, lahir juga cerita Mashur, kadang sedikit horror, tentang keperkasaan kehebatan dan kedigdayaan para pilot-pilot pesawat Tempur Sekutu Dalam Menggempur basis-basis pertahanan Jepang, baik di Halmahera, Pilipina bahkan sampai ke Iwojima.
Sejarah Morotai, tidak hanya bercerita tentang serangan hegemonic dari para pilot-pilot handal Indonesia yang berpangkalan di Pitu Strip ke berbagai basis pertahanan tantara Belanda di Irian Jaya, dalam skema penyerangan Operasi Mandala dalam rangka membebaskan Irian Barat dari cengkeraman Belanda.
Morotai memanglah digdaya, budayanya sangat heterogen, beragam suku hedup rukun dan bersahaya di rumah besar Morotai. Tak berlebih memang, kalua disebut miniaturnya Indonesia ada di Morotai. Beragam adat budaya tradisi dan kebiaasaan hidup berdampingan dengan sangat harmoni musiknya juga beragam, baik gendre maupun notasi karena berasal dan lahir dari berbagai suku.
Salah satu gendre music yang hidup, yang nilai filosofinya menerobos merangsek tubirnya nilai-nilai spiritual, adalah Bambu Tada. Gerigi seni music Bambu Tada, semakin menghentak, mengaum. Daya eksplosifnya melebihi detonator nuklir. Bambu Tada yang aroma tradisional begitu kental, skarang telah bermetamorfosis, menjadi gendre music yang walaupun masih berpeluk mesra dengan atribut ketradisionalannya tapi music yang satu ini—Bambu Tada—telah berhasil memasuki wilayah kemoderenan (modern region) dengan sejumlah artefak kemoderenan yang tentu saja sangat asing untuk di cicipi, oleh para penabuh music bambu tada itu sendiri.
Harkat martabat wibawa dan kehormatan(dignity of honor) Morotai mengaung mengangkasa. Atribut kemoderenan dengan sejumlah eskalasinya, telah terdobrak (breaking in) oleh music Bambu Tada. Prestasi yang prestisius yang ditoreh oleh para pemusik Bambu Tada, dalam ajang festival Morotai, dengan diraihnya rekor Muri Indonesia bahkan Rekor Dunia, selain sebagai ajang pembuktian, bahwa music ini bambu tada, patut membusungkan dadanya ke etalase kemoderenan, juga patut diapresiasi, dan diberi ruang lebih secara patut dan terhormat.
Raungan music ini, memanglah dahsyat. Masyarakat Maluku Utara secara gentel memberi hormat, atas prestasi besar yang ditoreh Pemerintah Kabupaten Pulau Morotai. Di teras Laut Dodola yang jernih dan di sensual bibir Pasifik yang tersembunyi, nama Morotai dan Bambu Tada, mengaum, mengalahkan AUm-an sang Harimau. Bak princes bertubuh mulus, Bambu Tada telah memikat hati pihak Istana.
Ketika Pemda Kabupaten Pulau Morota, melalui ibu Sherly dan Eko (Pece) Suprianto mengumumkan, bahwa grup Bambu Tada yang baru saja berhasil memecah rekor Muri akan diundang mengikuti upacara 17 Agustus di Istana Negara, seluruh pemain penabuh, pelatih koreografer serta seluruh pencinta,penikmat dan praktidi Bambu Tada bersujud syukur. Air mata berbuncah, meluber membasahi tanah negeri para Moro.
Pelukan haru riuh mengguncang. Bang Jefri terdiam tertunduk, dadanya terguncang mata berkaca-kaca, tanpa bisa berkata-kata. Sumringah, bahagia, gembira, teronggok melata menembus pusat pikir dan peradaban manusia, sembari berbelok naik melintasi cakrawala transcendental, menuju sang pemilik kekuasaan sejati, Tuhan yang maha kuasa.
Disudut panggung utama, seorang anak muda kreatif, boleh dibilang sebagai creator administrative dibalik suksesnya pemecahan rekor muri Arfiant morena, terlihat menadahkan tangannya, sementara airmatanya membanjir membasahi seluruh tubuh. Sebagai orang yang terlibat, berdarah-darah diterkam panas sang mentari pada saat latihan selama berminggu, bahkan berbulan-bulan, Arfiant Morena sangat teranyuh, gembira senang, bahagia, melompati Batasan ruang dan waktu, oleh karena segala jerih payah terbayar sudah.
Dan tanggal 15 Agustus, menjadi moment paling mengharukan dalam sejarah perjalanan anak-anak para penabuh bambu tada. Hari itu, mereka berbaris rapi, sambal memegang dengan sangat erat sang bambu. Sekitar 50 anak beserta pendamping dan perwakilam orangtua, satu demi satu menaiki tangga pesawat yang akan membawa mereka menuju ke lambang kedigdayaan bangsa, yaitu Istana Negara.
Ada cerita haru menyembul menyelumuti kisah perjalanan ini. Seorang anak dengan lugu dan polos bertanya kepada salah seorang pendamping, ‘Kak kalu tongnae di pesawat, tong buka sandal? trus kalu tong buka, tong isi dmana? Kita baru bablii sandalni kak. Pertanyaan pertanyaan inspiratif ini membuat alam imaginative saya tentang etalase kemoderenan dari anak-anak ini terdobrak. Istana yang digdaya, alat transportasi pesawat yang supercanggih, bandara yang supermewah, tidak lalu menjadi mesin pongah yang akan dan telah melunturkan bahkan mengeroposkan nilai dan dimensi ketradisionalan anak-anak ini.
Yang pasti, Bambu Tada telah membusungkan dadanya ke depan, seiring dengan pengakuan tak terduga dari Negara. Ketua rombongan, curator, sekaligus mantan penari latar penyayi kelas dunia sekaligus penanggungjawab tampilnya bambu tada di Istana, Eko Pace Suprianto mengaku bangga lagu-lagu daerah Morotai, dapat dinikmati dalam Istana oleh para petinggi negeri, termasuk para duta besar negara sahabat.
Selamat mengukir prestasi anak-anak negeri Morotai. Bhaktimu dinanti.(*)