Opini

Sambut Ekonomi Atraktif

×

Sambut Ekonomi Atraktif

Sebarkan artikel ini
Rhenald Kasali (Foto : Jawa Pos)

Oleh: Rhenald Kasali
Guru besar FE UI & founder Rumah Perubahan

 

RESESI. Kata itu sering muncul belakangan ini, menghantui pikiran banyak orang, termasuk para pelaku bisnis. Isu liar bahwa ekonomi Indonesia akan terperosok ke jurang resesi jelas ibarat jauh panggang dari api.

Mari berpikir dengan logika yang jernih. Resesi ekonomi terjadi ketika selama dua triwulan berturut-turut produk domestik bruto (PDB) negatif .

Triwulan II 2019 yang lalu, PDB atau ekonomi Indonesia masih tumbuh 5,05 persen. Sepanjang tahun ini pun ekonomi diperkirakan masih solid dengan angka pertumbuhan di kisaran 5 persen.

Ada yang menyebut ancaman resesi dipicu perang dagang antara dua kekuatan utama ekonomi dunia, Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok. Gaya koboi Presiden AS Donald Trump memang berpotensi menyebabkan perlambatan pertumbuhan ekonomi global.

Tapi, bukan hanya itu. Dunia tengah menghadapi era disrupsi yang membuat konsumsi lebih hemat. Akibatnya, banyak yang kehilangan peran, tergusur mesin digital.

Benar, enam hari yang lalu (16/10), Chief Economist IMF Gita Gopinath memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global tahun ini dari 3,2 persen menjadi 3,0 persen. Melambat jika dibandingkan dengan tahun lalu yang tumbuh 3,6 persen. Tapi, tetap tumbuh, tidak mengalami kontraksi seperti tahun 2009.

Sebagai gambaran, ketika terjadi krisis keuangan global parah pada periode 2008–2009, ekonomi Indonesia pada 2009 masih bisa tumbuh di angka 4,63 persen. Padahal, ekonomi global saat itu mengalami kontraksi atau minus 1,68 persen. Jadi, jika tahun ini ekonomi global saja masih bisa tumbuh 3 persen, ekonomi Indonesia tentu bisa melaju di atas angka tersebut.

Mesin Ekonomi Kuat

Jika kita bicara perang dagang dan perlambatan ekonomi global, benang merahnya terhubung ke kinerja ekspor. Bagi negara yang selama ini menggantungkan ekonominya pada perdagangan internasional, seperti negara tetangga kita Singapura, isu perang dagang memang akan langsung memukul kinerja ekonominya.

Tapi, postur perekonomian Indonesia tidak seperti Singapura. Kita ambil contoh PDB yang pada triwulan II 2019 tumbuh 5,05 persen. Jika kita lihat struktur PDB tersebut, separo lebih atau 55,79 persen masih ditopang konsumsi rumah tangga. Berikutnya, 31,25 persen disokong pembentukan modal tetap bruto atau investasi. Adapun ekspor hanya memiliki porsi 17,61 persen. Beberapa komponen lain memegang porsi lebih kecil.

Analoginya, Indonesia ibarat sebuah kapal besar yang memiliki 100 mesin penggerak. Dari 100 mesin itu, yang berpotensi langsung terdampak gelombang perang dagang dan pelemahan ekonomi global adalah 17 mesin.

Itu pun bukan berarti 17 mesin tersebut akan benar-benar berhenti bergerak atau mati. Melainkan hanya power-nya yang sedikit berkurang, tapi mesin tetap bergerak. Sedangkan mesin-mesin lainnya masih sangat kuat menopang laju kapal besar. Jadi, sangat tidak beralasan jika ekonomi Indonesia disebut akan terempas oleh resesi.

Tentu saja kita tidak boleh terlena. Perang dagang dan perlambatan ekonomi global tetap ada imbasnya. Misalnya, terhadap harga sejumlah komoditas. Karena itu, sektor-sektor yang terkait dengan komoditas seperti batu bara, kelapa sawit, karet, dan yang lain harus melakukan mitigasi lebih cermat.

Tapi, kita harus meyakini bahwa konsumsi yang menjadi mesin utama perekonomian Indonesia masih kuat untuk menopang laju pertumbuhan ekonomi. Lantas, bagaimana isu daya beli?

Disrupsi Bukan Resesi

Dalam beberapa kesempatan, saya mendengar keluhan sebagian pelaku usaha yang menyatakan ekonomi sedang sulit. Saya melihat keluhan itu sebagai cara pandang lama.

Misalnya, dalam industri mi instan, ada merek A, B, C, dan D. Dengan cara pandang lama, kompetisi produk itu dianalisis berdasar dinamika yang terjadi dalam industri tersebut atau industry analysis. Karena itu, ketika penjualan seluruh merek mi instan turun, disimpulkan bahwa daya beli melemah.

Dengan cara pandang baru, industry analysis harus diperluas menjadi arena analysis. Selama ini banyak orang mengonsumsi mi instan karena nilai ”praktis”-nya. Mudah dimasak untuk dikonsumsi dan murah harganya.

Jadi, bukan income effect yang terjadi, melainkan substitution effect. Begitu seni ekonominya kalau kita benar-benar menguasai ilmunya.

Tiba-tiba muncul banyak produk yang juga bisa menawarkan nilai ”praktis” layaknya mi instan. Bahkan, lebih mudah cara mendapatkannya dan bisa lebih murah harganya. Apa itu? Ada banyak sekali. Nasi goreng, bakso, mi ayam, ayam geprek, sate, nasi padang, dan lain-lain.

Dulu orang makan mi instan karena bisa memasaknya sendiri di rumah atau kos-kosan. Kini orang bisa memesan makanan yang lebih enak dan lebih variatif pilihannya, tanpa perlu memasak, bahkan bisa sambil rebahan atau duduk santai, langsung dari handphone melalui Go-Food atau Grab Food. Harganya pun bisa lebih murah karena beragam promo dan diskon bertebaran.

Itulah disrupsi. Yang memicu terjadinya great shifting atau perpindahan besar-besaran dari satu jenis produk ke produk lain yang dihadirkan oleh teknologi.

Power of Ecosystem

Gelombang disrupsi teknologi itu mengakibatkan pasar yang dikuasai pemain-pemain lama tergerus oleh pendatang baru. Mengalami great shifting, terimbas substitusi, dan mengakibatkan sumber-sumber pendapatan usaha yang utama kehilangan relevansi.

Jika para penguasa teknologi yang mendisrupsi ini begitu hebat, mengapa sebagian di antaranya goyah? Misalnya, Bukalapak yang melakukan PHK karyawan. Apakah itu menunjukkan bahwa memang ekonomi sedang dalam masa sulit?

Untuk menjawab itu, mari kita lihat petanya. Saat ini ada kekuatan lama (old power) dan kekuatan baru (new power) dalam dunia bisnis. Old power adalah pemain lama, cirinya cash rich dan assets rich. Uang atau modalnya banyak, asetnya banyak. Sementara itu, new power mengandalkan kekuatan teknologi.

Potensi besar membuat investor berbondong-bondong menanamkan modal ke start-up yang menjadi bagian dari new power. Maka, tak mengherankan jika valuasi start-up bisa melesat sangat cepat menjadi unicorn (tembus USD 1 miliar) atau bahkan menjadi decacorn seperti Gojek (di atas USD 10 miliar).

Melihat itu, tak sedikit grup konglomerasi dari old power yang memiliki banyak uang ikut menanamkan modal seperti yang dilakukan oleh venture capital. Sayangnya, mereka masih menggunakan cara pandang lama, yaitu menjadikan mesin ekonomi tunggal atau bahasa ekonominya resource control.

Karena itu, ketika start-up yang disuntik modalnya tak kunjung meraup untung, mereka melakukan hal yang biasa dilakukan oleh old power untuk mengejar bottom line alias profitabilitas. Apa itu? Efisiensi.

Itulah beda cara pandang old power dan new power. Start-up bersifat ekspansif, sedang berada pada fase pertumbuhan. Objective-nya adalah menjadi pemain besar dengan mengorkestrasi ekosistem yang lengkap atau menjadi bagian ekosistem global dan dijual kepada platform besar.

Jadi, begitulah dilema bisnis hari ini. Ada tiga hal yang perlu dipahami para pengusaha. Pertama, dewasa ini kita dituntut berbisnis dengan dinamis. Harus terus beradaptasi dengan teknologi baru.

Kedua, harus bisa membedakan antara resesi dan disrupsi. Ketiga, ketika banyak hal telah dibuat lebih baik, tak selalu menjamin kehidupan menjadi lebih baik. Jangan-jangan, bisnis kita telah kehilangan relevansi.

Itu artinya sudah memasuki ”When the main is no longer the main”. Ketika the main dalam bisnis kita tak bisa lagi diandalkan sebagai the main, maka harus bergerak cepat dan berinovasi untuk menemukan the main yang baru.(*)

Sumber: https://www.jawapos.com/opini/22/10/2019/sambut-ekonomi-atraktif/

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *