Oleh: Ade Mulyono
Pemerhati Pendidikan
SUMPAH Pemuda ialah sintesis dari keberagaman pemuda-pemudi Indonesia yang dicapai jauh sebelum kemerdekaan. Sumpah Pemuda ialah alam pikir jalan politik yang menyatukan pemuda-pemudi dari pelbagai golongan, suku, dan agama sebagai sikap elitis untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Bahkan, jika kita ‘peras’ untuk menemukan intisari social-politics origins dari Sumpah Pemuda ialah pluralisme.
Sumpah Pemuda ialah keberagaman yang dicapai jauh sebelum kemerdekaan–yang sejatinya menjadi modal bangsa ke depan. Bahwa kami Putra-Putri Indonesia: mengaku bertumpah darah satu, berbangsa satu, dan menjunjung bahasa persatuan satu; Indonesia. Hanya dengan terus-menerus mengucapkan sumpah suci itu keberagaman sebagai bangsa yang majemuk akan tetap terawat.
Jika kita mengacu pada Sumpah Pemuda yang diikrarkan 91 tahun silam (28 Oktober 1928), jelas bahwa dalil berwarganegara kita ialah pluralisme. Semangat pluralisme itu mestinya harus kita rawat di tengah era digitalisasi yang destruktif. Semisal berita hoaks yang membanjiri arus media informasi berpotensi memecah belah anak bangsa. Masyarakat yang terpolarisasi pra dan pascapemilu telah mengikis kehangatan antarwarga negara.
Seyogianya, Sumpah Pemuda harus dimaknai sebagai salah satu sikap politik yang menyampingkan ‘identitas’ dengan mengutamakan keberagaman dan persatuan guna memperjuangkan cita-cita luhur: kemerdekaan Indonesia. Sikap etis pemuda-pemudi pada waktu itulah yang seharusnya kita hadirkan ulang di tengah ruang publik kita yang semakin jauh dari pluralisme; toleransi. Itu karena hari ini yang dihadirkan ke ruang publik kita justru sebaliknya; sikap intoleransi. Tidak menghormati perbedaan. Yang tampak di permukaan saat ini ialah ‘identitas’ semata.
Akibatnya, yang terjadi ialah dikotomi; kami golongan ini dan mereka golongan itu. Busa caci maki, fitnah, dan radikalisme tumbuh beriringan.
Jalan Politik Milenial
Pesta akbar demokrasi telah usai. Kabinet presiden telah terbentuk. Peta politik telah terbaca. Ada surplus kekuasaan di istana dan defisit oposisi di luar istana. Memang kita menyaksikan etika moral dalam politik hari ini telah menodai normativisme demokrasi. Terlepas dari situasional politik hari ini yang dinamis dan tak terduga. Tugas utama pemerintah ialah merekatkan kembali benang kewarganegaraan yang berbasis pluralisme, setelah terkoyak dan saling melukai di antara anak bangsa karena polarisasi dan komunalisme.
Tentu kita berharap politik hari ini ke depan dapat menghasilkan jalan politik yang bersih untuk generasi milenial. Akan tetapi, sungguh sangat disesali di era 4.0 generasi milenial yang akan menjadi tulang punggung bangsa masih buta terhadap politik. Bahkan, tidak segan memilih untuk menjadi apatis dengan persoalan politik.
Padahal, ke depan, hajat hidup generasi milenial ditentukan baik-buruknya suatu kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. Kebijakan itu tidak menutup mungkin bersifat politis. Artinya, memungkinkan bertemunya pelbagai ‘kepentingan’ di dalamnya. Kendati kita tidak menginginkan kebijakan yang hanya menguntungkan satu golongan dan segelintir orang.
Menurut laporan survei Alvara Research Center Hasanuddin Ali pada 2018, hanya ada 22% generasi milenial yang mengikuti pemberitaan politik.
Ironisnya, lebih dari 40% generasi milenial menjadi ceruk suara pemilih pada Pemilu 2019. Dengan demikian, generasi milenial masih menjadi ‘objek politik’ daripada memilih mengambil peran sebagai ‘subjek politik’.
Namun, kita tidak bisa begitu saja menjustifikasi bahwa ada ‘persoalan’ mendasar pada generasi milenial hari ini. Itu karena sangat mungkin yang terjadi sebaliknya; generasi milenial lari dari politik sebab kealpaan pendidikan politik (politic educator) dari para elite politik itu sendiri. Yang dipertontonkan hari ini lebih pada transaksi politik daripada normativisme politiknya. Krisis moral para politikus menjadi tontonan setiap saat. Korupsi, pelanggaran HAM yang tak pernah diperhatikan, indeks demokrasi yang menurun, pertumbuhan ekonomi yang jalan di tempat, sempitnya akses lowongan pekerjaan, semua itu kita rasakan saat ini.
Seharusnya persoalan itu mengundang kesadaran dan keprihatinan. Tentu kita sering mendengar sinisme dari generasi milenial; politik urusan orang tua! Sejatinya, politik itu urusan pengetahuan. Padahal, Berthold Brecht pernah mengingatkan, “Buta yang terburuk adalah buta politik. Dia tidak mendengar, tidak bicara, dan tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik. Dia tidak tahu bahwa biaya hidup, harga kacang, harga ikan, harga tepung, biaya sewa, harga sepatu dan obat, tergantung keputusan politik.”
Dengan demikian, jika kita hendak merefleksikan Sumpah Pemuda untuk berjanji pada yang satu; mengaku bertumpah darah satu, berbangsa satu, dan menjunjung bahasa persatuan yang satu. Maka itu, sebaiknya kita generasi milenial juga berjanji untuk setia pada yang satu: politik bersih yang sarat dengan nilai (value). Dengan sendirinya kita insaf, bahwa ada yang suci dalam politik; mendistribusikan keadilan dan kesejahteraan sebanyak-banyaknya.
Oleh karena itu, generasi milenial tidak harus alergi dengan politik.
Hal itu karena di depan akan menjadi jalan politik milenial untuk terus-menerus memperjuangkan haknya yang paling dasar; bahwa mereka ialah ‘subjek politik’, bukan terus-menerus menjadi kuda tunggangan politik atas nama milenial. Sebagaimana Berthold Brecht meyakini jalan politik itu penting, maka generasi milenial pun seharusnya meyakininya.(*)
Sumber: https://mediaindonesia.com/read/detail/267944-jalan-politik-kebangsaan-milenial