Oleh: Novet Charles Akollo
Peneliti The Indonesian Power for Democracy (IPD),
Mahasiswa Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa (APMD) Yogyakarta
POLEMIK pemilihan kepala daerah langsung kembali mencuat kepermukaan dalam beberapa pekan terakhir di penghujung tahun 2019. Hal tersebut bermula dari pertanyaan Menteri Dalam Negeri saat pertemuan bersama komisi II DPR RI tak lama setelah ia dilantik oleh presiden Joko Widodo.
Mantan Kapolri itu menilai bahwa selama ini banyak kepala daerah yang terjerat kasus korupsi tidak terlepas dari mahalnya biaya politik. Sehingga Tito kemudian melontakan wacana untuk mengganti system Pilkada langsung menjadi tidak langsung.
Pilkada langsung sudah mulai dipercakapkan agar kembali dikaji semenjak era Mendagri Gamawan Fauzi. Rencana tersebut didasarkan atas banyaknya persoalan yang terjadi di daerah sepanjang pelaksanaan pesta demokrasi pasca reformasi. Namun keingingan itu menuai beragam tanggapan.
Partai Politik Tidak Konsisten
Ada sebagian partai politik menolak tetapi ada pula yang mendukung. Di samping itu, beberapa elemen masyarakat pun tidak bersepakat dengan rencana pemerintah yang ingin merevisi Undang-Undang Pilkada sebab nantinya akan berujung pada pergantian system pemilu yang bertentangan dengan demokrasi.
Partai politik tampak jelas tidak konsisten dalam mengawal isu ini. Sebelum menjadi partai penguasa, Megawati Soekarnoputri selaku ketua umum PDI-P mengatakan seperti dikutip dari kompas.com (30/09/2014) “Kami PDI Perjuangan, menolak dikembalikannya pemilihan kepala daerah oleh DPRD karena ini sama saja mengembalikan orde baru dimana kedaulatan rakyat kembali terkungkung”.
Sikap partai berlambang banteng bisa dibilang plin-plan. Sebab pernyataan yang disampaikan oleh Mega pada tahun 2014 bertolak belakangan dengan posisi partai dewasa ini. Entah ada kepentingan apa dibalik semua itu? namun sebagai orang awan saya tidak mau berspekulasi lebih jauh dan biarkan masyarakat menilai sendiri.
Pembenaran demi kepentingan elit
Pelbagai tudingan-tudingan negatif pun semakian gencar dilontarkan oleh para elit politik yang esensinya hanya ingin mengembosi demokrasi demi kepentingan pribadi maupun kelompok. Pembenaran demi pembenaran menghiasi ruang publik yang kerap menimbulkan kegaduhan.
Jika kita mencermati lebih jauh, sejujurnya tampak jelas pemerintah sedang mencuci tangan atas kegagalannya membangun budaya politik yang baik dan bermartabat. Wacana ini semestinya sebelum menjadi komsumsi publik harus dilakukan kajian secara komprehensif di internal pemerintah dengan melibatkan berbagai unsur, terutama akademisi agar tidak terkesan asal bunyi.
Setelah itu ruang-ruang diskusi di buka selebar-lebarnya biar seluruh elemen bisa ikut berpartisipasi membedah Pilkada langsung maupun tidak langsung menggunakan beragam perspektif. Hal ini bertujuan agar masyarakat mampu melihat sejauh mana kelebihan dan kekurangan serta relevansinya dengan sistem demokrasi yang kita anut.
Harapannya pemerintah jangan terburu-buru mengambil kesimpulan dan keputusan yang pada dasar hanya akan merugikan rakyat Indonesia. Karena memperjuangkan demokrasi bukanlah sesuatu yang mudah dan banyak hal sudah dikorbankan termasuk nyawa.
Konflik dan Politik Uang
Sistem pilkada asimetris yang diusulkan merupakan konsep lama. Pada zaman orde baru konsep ini pernah pakai dan terbukti gagal lantaran hanya menguntungkan oligarki serta kartel politik dikalangan partai. Di sisi lain juga tidak ada jaminan bahwa pemilihan kepala daerah lewat DPRD akan bebas dari politik uang.
Karena tidak dapat pungkiri praktik seperti ini pasti akan selalu ada, tetapi mungkin cara mainnya agak sedikit berbeda. Kalau pemilu langsung jual beli suara melalui masyarakat yang kuantitasnya cukup banyak, semetara pemilu tidak langsung hanya lewat wakil rakyat dalam jumlah sedikit yang memudahkan proses transaksi.
Jika pemerintah sungguh-sungguh ingin memberantas politik uang maka perlu dirumuskan mekanisme baru yang murah tanpa merusak tatanan demokrasi. Seperti mendorong parpol agar benar-benar memaksimalkan peran dalam melaksanakan pendidikan politik di internal maupun masyarakat, serta berkomitmen tidak meminta mahar politik kepada setiap kandidat.
Pendidikan politik sangat penting dilakukan supaya masyarakat bisa berpatisipasi secara aktif dalam ruang-ruang politik, mengikut pemilu dan yang terpenting adalah kedewasaan berdemokrasi biar tidak mudah di adu domba hanya gara-gara perbedaan pilihan.
Namun tak dipungkri bahwa seringkali konflik juga disebabkan oleh ulah aktor politik yang sengaja memprovokasi masa pendukung lantaran kurang puas dengan hasil pemilu yang diumumkan oleh penyelenggara. Dengan demikian masyarakat tidak bisa sepenuhnya harus di salahkan atas rentetan peristiwa yang terjadi sepanjang pemilu berjalan maupun sesudah.
Pengalaman pahit di masa orde baru jangan sampai terulang kembali. Oleh karena itu jangan pernah memberikan ruang kepada elit politik yang ingin membajak demokrasi. Sebab semenjak Pilkada langsung diselenggarakan ada begitu banyak manfaat yang di rasakan. Masyarakat bisa secara leluasa mengontrol dan memilih pemimpin.(*)