Oleh: Yerik Afrianto Singgalen
Dosen Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya
ASPIRASI rakyat tentang pembangunan seyogianya didukung oleh transparansi penyelenggara pembangunan. Dalam konteks pembangunan pariwisata di daerah, masyarakat lokal seyogianya memperoleh manfaat yang secara langsung dan tidak langsung mampu meningkatkan taraf hidup atau kesejahteraan sosial serta memberikan peluang dan akses terhadap pasar, sebagai pengusaha barang atau jasa untuk meningkatkan perekonomian rumah tangga.
Selain itu, keberlanjutan lingkungan menjadi prioritas yang mendukung aktivitas ekonomi. Meskipun demikian, hal tersebut masih sangat ideal dan abstrak dalam konsep pembangunan berkelanjutan. Kenyataannya, persoalan pembangunan pariwisata tidak selalu memberikan manfaat positif melainkan berdampak negatif.
Pembangunan pariwisata yang berdampak negatif, secara teori telah diuraikan oleh George Doxey sejak tahun 1970-an dengan mengklasifikasikan tahapan penerimaan hingga penolakan terhadap sektor pariwisata.
Tahap awal digambarkan sikap euforia (euphoria) dimana masyarakat menyambut dengan ramah para wisatawan dan pemodal asing untuk mengembangkan industri pariwisata, yang menyebabkan minimnya partisipasi dalam perencanaan pembangunan pariwisata, sehingga implikasi pembangunan pariwisata jangka panjang cenderung diabaikan.
Tahap kedua ialah apati (apathy), interaksi sosial antara masyarakat lokal dengan wisatawan dan pemodal asing tidak lagi leluasa karena semuanya menjadi sangat formal, dan semua aspek perencanaan pengembangan pariwisata mengarah kepada pemasaran destinasi.
Pada tahap ketiga gangguan (annoyance) yakni kondisi dimana maysarakat mulai merasa tertanggu dengan banyaknya wisatawan yang berkunjung dan dominasi pemilik modal di industri pariwisata yang mengambil keputusan secara sepihak hanya untuk kepentingan pertumbuhan industri pariwisata.
Keempat, antagonis (antagonism) yang menggambarkan kondisi dimana masyarakat mulai mengekspresikan rasa kekesalan secara verbal dan fisik, berperilaku tidak ramah terhadap wisatawan dan pemilik modal industri pariwisata. Pada tahap akhir, sektor pariwisata tidak dapat berkelanjutan karena teror dan vandalism yang meresahkan wisatawan sehingga kuantitas wisatawan yang berkunjung menjadi berkurang.
Keempat tahap ini dijadikan sebagai kerangka konseptual Irritation Index yang dikenal sebagai Doxey Irridex sebagai konsep yang sering digunakan para peneliti di bidang pariwisata untuk menghubungkan aspek keberlanjutan pariwisata berdasarkan perspektif Richard William Butler tentang Tourism Life Cycle.
Signifikansi permasalahan pembangunan pariwisata di Halmahera Utara dengan perspektif Doxey Irridex dapat dilihat dari trajektori tidak terlaksananya pengembangan pariwisata berbasis masyarakat sehingga menyebabkan perdebatan di ruang virutal dalam bentuk pro dan kontra bahkan berujung penolakan.
Hal ini menimbulkan pertanyaan kemanakah arah kebijakan dan kelembagaan kepariwisataan di Kabupaten Halmahera Utara (Quo Vadis Pariwisata Halmahera Utara)?. Pertanyaan ini merupakan tuntutan transparansi penyelenggara pembangunan bagi masyarakat lokal sehingga pengendalian terhadap dampak negatif dari pembangunan pariwisata daerah dapat diantisipasi.
Dalam konteks sosiologi, aktivitas wisata dapat menyebabkan akulturasi dan asimilasi yang dipicu oleh intensifitas interaksi sosial antara masyarakat lokal dengan wisatawan. Intensifitas interaksi sosial yang dimaksud ialah interaksi sosial yang intensif dalam hubungan ekonomi (transaksi) dan politik (kontrak yang sifatnya mengikat) mampu mengakibatkan konvergensi pemahaman lintas budaya, mengubah pola komunikasi interpersonal menjadi komunikasi formal, hingga mendominasi konteks sosial-budaya lokal.
Hal ini menunjukkan pentingnya arah pengembangan sektor pariwisata yang jelas orientasinya (pro-poor, pro-growth, pro-environment), sehingga tidak melembahkan budaya lokal sebagai karakteristik perekat sosial otentik, serta mengubah hubungan sosial berbasis kearifan lokal “higaro, babari, makiriwo, balelan, hirono” menjadi hubungan yang sifatnya transaksional.
Sebagai contoh kasus pembangunan jalan setapak di jalur pendakian wilayah Desa Mamuya ke arah Gunung Dukono, pro dan kontra di media sosial menunjukkan adanya desakan untuk transparansi program pengembangan pariwisata daerah secara struktural.
Hal ini menunjukkan bahwa para pemerhati pariwisata daerah, baik secara individu maupun komunitas hendak memproyeksikan konsekuensi dari setiap pembangunan sarana dan prasarana penunjang pariwisata terhadap aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan.
Sebagai pemangku kebijakan pembangunan pariwisata, kolaborasi dan sinergitas pelbagai pemangku kepentingan di sektor pariwisata menjadi esensi keberlanjutan pariwisata daerah. Oleh sebab itu, trasparansi sektor publik diperlukan sebagai katalistator partisipasi aktif sektor swasta, media, universitas, dan komunitas.
Pembangunan infrastruktur seyogianya diseimbangkan dengan pembangunan manusia sebagaimana kerangka konseptual pendekatan penghidupan berkelanjutan (Sustainable Livelihood Approach) yang dirumuskan oleh agen pembangunan internasional (Department for International Development) kemudian secara kontekstual diadopsi oleh para peneliti di bidang pembangunan khususnya negara berkembang.
Seperti Diana Carney, menunjukkan bahwa penghidupan masyarakat desa di negara-negara berkembang dapat mencapai keberlanjutan kalau tersedia aset (modal alam, modal manusia, modal finansial, modal sosial dan modal fisik) dan kapabilitas akses terhadap aset tersebut.
Sektor publik, sebagai penyelenggara pembangunan berperan penting dalam memobilisir kapabilitas akses masyarakat lokal terhadap aset secara kelembagaan dan kebijakan, sehingga masyarakat memiliki strategi koping dan bertahan hidup menghadapi konteks kerentanan (shock, trend, seasonality).
Pariwisata dapat dioptimalkan untuk mendukung keberlangsungan matapencaharian masyarakat lokal yang dominan sebagai petani dan nelayan. Ketersediaan sumberdaya hutan dan laut dapat dioptimalkan melalui konsep ekowisata yang terintegrasi dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan.
Sumberdaya budaya dapat dikembangkan sebagai atraksi wisata budaya yang sifatnya sakral bukan untuk dikomersialkan, dengan demikian degradasi nilai budaya tidak menjadi pokok permasalahan dalam perdebatan antara para pemerhati pariwisata dengan penyelenggara pembangunan pariwisata atau pengelola objek wisata.
Selain itu, konteks kultur Hibualamo dalam pendekatan komunikasi interpersonal seyogianya digunakan sebagai strategi mediasi dalam setiap kegiatan sosialisasi program pembangunan yang kontekstual, dengan demikian partisipasi masyarakat dalam pembangunan tidak dipengaruhi oleh hubungan transaksional (Proyek) tetapi didorong oleh hubungan sosial dan tradisional (Higaro).
Keberhasilan pengembangan pariwisata tidak seyogianya dilihat dari aspek estetika tetapi lebih pada etika, sikap dan perilaku yang mencermintkan sapta pesona dan sadar wisata akan mendukung estetika di setiap destinasi pariwisata.
Oleh sebab itu, perpaduan budaya lokal dengan konsep pengembangan menjadi penting untuk diintegrasikan sehingga aspek kultural selaras dengan struktural. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat lokal menjadi subjek pembangunan atau pelaku pariwisata bukan menjadi objek yang menyaksikan pembangunan pariwisata dan menerima dampak dari pembangunan tersebut.
Opini penulis dalam artikel ini merupakan refleksi empiris konteks pembangunan pariwisata daerah di Kabupaten Halmahera Utara dalam perspektif George Doxey tentang tingkat penerimaan masyarakat terhadap pembangunan pariwisata (Irritation Index) dan Diana Carney tentang penghidupan berkelanjutan (Sustainable Livelihood Approach).
Hasil refleksi menunjukkan bahwa orientasi pembangunan pariwisata di Kabupaten Halmahera Utara masih dominan pada pembangunan infrastruktur penunjang pariwisata dibandingkan pembangunan manusia untuk meningkatkan kapasitas sumber daya manusia di bidang pariwisata. Quo Vadis Pariwisata Halmahera Utara?(*)