Kadang-kadang saya terpaksa. Termasuk terpaksa mendefinisikan ”apakah bahagia itu”.
Tema seminar hari itu sebenarnya ”pengaruh instrumentasi dalam industri 4.0”.
Penyelenggaranya pun Departemen Instrumentasi Fakultas Vokasi Institut Teknologi 10 Nopember Surabaya. Pekan lalu.
Tapi pembicara sebelumnya sudah membahas tema itu. Termasuk wanita muda cantik berjilbab dari PT Yokogawa. Yang produk instrumentasinya juga pernah saya beli untuk bisnis saya waktu itu.
Saya tidak punya pengetahuan lebih baik dari para pembicara itu. Materi yang saya siapkan pun ya yang begitu-begitu itu.
Maka saya semilih tema lain: pentingnya manusia di balik semua itu. Atau tidak pentingnya manusia di era itu nanti. Tergantung manusianya.
Pertanyaan peserta pun jauh dari tema utama. Misalnya bagaimana saya bisa terus kelihatan antusias. Atau bagaimana bisa banyak senyum. Bagaimana pula tahan menghadapi tekanan –utamanya tahun-tahun itu.
Saya lihat banyak psikolog yang hadir. Termasuk seorang ibu dari Semarang. Yang konsultasi psikologi onlinenyi laris sekali –dan tidak mau berbayar.
Hari itu sang psikolog mengungkap soal meningkatnya bunuh diri remaja –bahkan sudah ada panduan untuk bunuh diri di dunia maya.
Maka pembicaraan pindah dari industri 4.0 ke soal bahagia. Saya pun terdesak untuk terpaksa berteori. Tentang bahagia.
Tapi saya takut pada para psikolog di situ. Maka saya minta merekalah yang lebih dulu berteori. Dari buku pun boleh. Siapa tahu sudah ada buku yang menulis definisi ”apakah bahagia itu”.
Tidak satu pun mau bicara. Saya minta ibu Semarang itu yang bicara. Juga tidak mau.
Maka terpaksa saya sendiri yang mendefinisikan apakah bahagia itu.
”Bahagia adalah tercapainya keinginan”.
Kian tercapai sebuah keinginan kian bahagia seseorang.
Kian agak tercapai kian agak bahagia.
Kian tidak tercapai kian tidak bahagia.
Maka mencapai kebahagiaan itu mudah: jangan menaruh keinginan terlalu tinggi. Yang terlalu sulit mencapainya. Taruhlah keinginan Anda di ketinggian yang Anda bisa mencapainya.
Bagaimana dengan pameo ”taruhlah cita-citamu setinggi langit?”
Tentu itu baik. Asal bisa mencapainya. Kalau tidak, cita-cita itu hanya untuk ditaruh saja di langit.
Untuk apa?
Lantas ada yang bertanya: apakah gerangan cita-cita saya.
Saya agak gagap menyawabnya.
”Saya ini merasa beruntung karena tidak pernah punya cita-cita.”
Ah, masaaak…
Ups… Mungkin punya juga. Tapi derajatnya di bawah cita-cita. Hanya sebatas keinginan.
”Cita-cita itu untuk dicapai”.
”Keinginan itu untuk diharap”.
Mungkin karena keluarga saya sangat miskin, di lingkungan tetangga yang miskin dan di desa yang miskin, di kecamatan yang miskin.
Rasanya hidup itu tidak layak kalau harus punya cita-cita. Topik cita-cita tidak pernah dibicarakan di desa saya dulu. Dan itu bukan topik sama sekali.
Topik di lingkungan seperti itu hanyalah bagaimana bisa hidup besok pagi. Termasuk harus utang beras ke tetangga yang mana lagi.
Keinginan saya waktu kecil pun hanyalah bagaimana bisa tidak sekolah. Kadang saya memang berangkat ke sekolah. Tapi di tengah jalan belok ke sungai. Mencari ikan.
Keinginan naik kelas pun tidak pernah ada. Dan saya pernah tidak naik kelas. Saya gagal naik dari kelas 3 ke kelas 4 Muallimin (sebelum akhirnya dipisah menjadi Tsanawiyah dan Aliyah).
Waktu SMA (Aliyah) barulah saya punya keinginan: untuk punya sepatu. Bekas pun sudah sangat membahagiakan. Saat itu saya satu-satunya yang tidak pakai sandal atau sepatu di kelas SMA itu.
Di kelas 2 Aliyah sepatu itu terbeli. Bekas. Bagian depannya sudah berlubang. Saya hanya berani memakainya seminggu sekali. Tiap hari Senin saja. Agar tidak cepat rusak.
Tiap hari Senin memang ada upacara bendara. Saya sesekali harus menjadi komandan upacara. Itu pun sudah membuat tumit lecet.
Setahun kemudian barulah punya keinginan lanjutan: memiliki sepeda. Yang minimalis sekali pun. Yang penting ada roda, rantai, sadel dan stangnya.
Itu pun baru tercapai setelah di akhir tahun kelas 3.
Begitulah. Keinginan saya itu datang bertahap. Satu tercapai muncul keinginan berikutnya.
Kian lama keinginan itu datang kian cepat. Levelnya pun kian tinggi. Akhirnya sampai ke langit juga. Alhamdulillah. Puji Tuhan. Amitohu. Rahayu.
Apa kelebihan punya keinginan berjenjang?
Tentu, mencapainya lebih mudah. Tidak dicapai pun bisa datang sendiri.
Dengan keinginan yang tidak tinggi pikiran bisa lebih fokus. Hanya memikirkan ”itu”. Tidak terganggu oleh ”ini itu”.
Tenaga bisa sepenuhnya dicurahkan ke ”situ”. Tidak diecer kemana-mana.
Ada energi tersembunyi di balik keinginan bertahap itu. Yang datangnya energi misterius itu mungkin tidak bisa diteorikan. Atau bisa –kalau ada yang mau membuat teorinya.
”Setiap kali seseorang berhasil mencapai keinginan, setiap itu pula rasa percaya dirinya meningkat”.
Bukan hanya memunculkan percaya diri, tapi juga ini: bisa memunculkan gairah plus antusiasme.
Adanya gairah dan antusiasme itulah yang akan membuat lebih mudah mencapai keinginan tahap berikutnya.
Langit memang penting –untuk tempat gantungan. Tapi langit kadang juga terlalu tinggi untuk didaki. (dis)