Apa kesibukan utama saya selama 14 hari di rumah sakit Covid?
Yang paling banyak adalah nonton wayang kulit. Lewat YouTube. Lalu membaca –termasuk yang berat-berat seperti filsafat cancel culture.
Tidak terhitung berapa lakon yang saya lihat. Yang terbanyak yang dimainkan dalang-kondang-mati-muda Seno Nugroho. Yang dari Jogja itu. Begitu kagum saya padanya.
Lalu, untuk objektivitas, saya lihat lagi beberapa lakon yang dimainkan Ki Manteb Sudarsono.
Lalu, sebagai pembanding, saya nonton juga beberapa lakon yang dimainkan dalang muda Bayu –putra dalang kondang Anom Suroto.
Dan tiba-tiba saya ingin nonton lagi pergelaran lama dalang legendaris masa lalu –almarhum Ki Narto Sabdho. Meski yang terakhir ini hanya mendengar suaranya –belum ada teknologi video zaman tahun 1960-1970 itu.
Sebenarnya sudah terlalu banyak lakon dari Narto Sabdho yang pernah saya dengar. Dari kaset. Satu lakon 12 kaset. Belum ada CD apalagi DVD atau USB.
Saya perlu melihat/mendengar semua itu agar tahu di mana posisi Seno Nugroho. Saya kan juga penggemar dalang-mati-muda lainnya: Ki Enthus Susmono. Yang saat meninggal menjabat sebagai Bupati Tegal –yang kelihatannya mengatur satu kabupaten lebih sulit dari mengatur satu kerajaan Hastinapura.
Seno memang istimewa.
Ia dalang untuk zamannya –zaman milenial ini. Ia melangkah lebih ke kekinian dari gurunya: Ki dalang Manteb Sudarsono. Ia beda benar dengan bapaknya: dalang Suparman.
Rasanya gaya Seno tidak akan lahir tanpa Ki Manteb –yang memang diakuinya sebagai gurunya.
Pak Manteb memang perintis adegan flash back dalam wayang –sepengetahuan saya. Gaya film beliau adopsi ke wayang.
Misalnya dalam lakon Bharatayuddha episode matinya Pandita Durna. Yang ia gelar selama 7,5 jam itu: adegan pertamanya langsung mengejutkan. Aneh sekali. Adegan pertama itu berupa berseliweran panah di layar. Tokoh pemeran pembuka di lakon itu: panah!
Bahkan di pergelaran Seno Nugroho praktis tidak ada lagi pertunjukan yang diawali dengan ”jejer”. Yakni rapat kabinet kerajaan. Yang monoton. Yang lambat. Yang panjang. Adegan rapat kabinet itu bisa satu jam sendiri.
Di adegan selanjutnya pun kita tidak tahu siapa urutan wayang yang muncul ke layar. Banyak unsur kejutannya.
Seno adalah Ki Manteb dalam bentuk yang lebih maju. Juga lebih kreatif. Meski juga lebih ”rusak-rusakan”. Dengan aransemen gamelan yang juga lebih kaya dan lebih masa kini.
Setelah pulang dari RS kemarin saya ragu: apakah masih punya waktu untuk mengamati perkembangan wayang kulit seintensif ini.
Saya bangga: wayang kulit, tontotan utama saya masa kecil, mengalami kemajuan begitu pesat. Adegan perangnya juga sudah lebih jumpalitan. Pakai salto segala. Saya tidak tahu siapa duluan memulai adegan salto itu: Bayu atau Seno.
Tapi Ki Manteb memang masih top. Termasuk dalam adegan perang. Ki Manteb menyiapkan wayang khusus untuk adegan bunuh-membunuh. Ketika Durna dibunuh, misalnya, kepala wayangnya bisa terpisah sungguhan dengan badan wayang. Lalu kepala Durna itu dijadikan bal-balan sungguhan.
Demikian juga ketika Werkudara membunuh Dursasana. Tangan wayang Dursasana bisa dimutilasi. Demikian juga kakinya.
Tentu adegan seperti itu pernah ditampilkan dalam wujud yang lebih dramatis di wayang golek Sunda. Yakni oleh dalang Sunda pujaan saya: Asep Sunarya, almarhum.
Ups… Terlalu panjang saya menulis soal wayang. Siapa yang masih mau membacanya.
Baiklah saya pindah topik. Ke filsafat cancel culture yang banyak saya baca tadi.
Saya tidak tahu bagaimana harus menerjemahkan cancel culture ke dalam bahasa Indonesia. Tapi melihat konteksnya, cancel culture baiknya diterjemahkan menjadi budaya penolakan. Atau budaya pengucilan.
Korban terbesarnya –dan terbarunya– adalah Donald Trump. Presiden Amerika pada masanya itu. Ia ditolak untuk ”tetap bersama kita”. Ia dikucilkan.
Yang melakukan penolakan adalah Twitter, Facebook, dan YouTube. Trump dibredel secara permanen di medsos itu.
Perdebatannya adalah: siapa sebenarnya yang berhak melakukan cancel. Dalam hal apa cancel boleh dilakukan. Politik? Ekonomi? Gaya hidup? Atau di semua bidang?
Lalu siapa yang boleh di-cancel. Apa saja kriteria cancel itu.
Lebih rumit lagi: apakah budaya cancel tidak melanggar hukum? Lebih tinggi mana filsafat atau hukum? Mengapa ada tindakan ”menghukum” di luar hukum?
Bacaan pun melebar ke mana-mana. Termasuk ke sejarah: kapan cancel culture itu dimulai? Di mana?
Ternyata saya harus ke Yunani. Ke zaman tahun 500 sebelum Masehi. Internet benar-benar tanpa batas. Dari kamar sebuah rumah sakit bisa menjelajah ke perpustakaan mana pun di dunia. Zaman benar-benar gila!
Ternyata filsafat cancel culture ini lahir bersamaan dengan lahirnya filsafat demokrasi. Atau sedikit setelahnya. Cancel culture boleh dikata sebagai kelengkapan demokrasi. Artinya: demokrasi tidak jalan tanpa diikuti cancel culture.
Dalam praktik, di sebuah negara demokrasi, tetap saja banyak orang yang anti demokrasi. Di zaman itu. Tetap saja banyak pemimpin yang mengembangkan sikap otoriter.
Maka di zaman yang begitu kuno di Yunani diputuskanlah untuk dilakukan ”cancel” pada orang-orang yang anti demokrasi.
Cara meng-cancel-nya pun pakai cara demokrasi. Rakyat diminta mengajukan usul siapa saja orang yang dianggap anti demokrasi. Dalam satu periode tertentu. Satu tahun. Maka akan didapat sejumlah nama yang bersikap anti demokrasi.
Daftar nama itu lalu disajikan ke publik. Diadakanlah pemungutan suara. Siapa saja dari nama itu yang ”layak cancel”.
Mereka yang terpilih itulah yang akan di-cancel. Yakni tidak boleh hidup di Yunani selama 10 tahun. Harta bendanya dijamin aman. Mereka juga bisa mengajukan ”pertobatan” agar bisa pulang lebih awal.
Tentu waktu itu belum seperti sekarang. Coba kalau sekarang. Mereka tidak boleh tinggal di suatu negara. Akan pergi ke mana.
Dulu orang bisa hidup di luar negara. Sekarang semua tanah sudah ada pemiliknya.
Dan Twitter, rupanya sudah menjadi seperti negara. Trump harus hidup di luar negara itu. Seumur hidup –seumur hidupnya Twitter tentunya.
Bagi Trump hidup seperti itu tentu sulit. Apalagi ia tidak suka nonton wayang. (dis)