“BUKA saja ke publik,” saran saya kepada pasangan calon wali kota Surabaya itu. “Ceritakan apa adanya,” tambah saya.
Sudah beberapa hari medsos di Surabaya heboh: calon wali kota Surabaya itu Machfud Arifin, kena Covid-19. Lalu heboh politik: bagaimana bisa, orang kena Covid-19 datang ke KPU untuk mendaftarkan diri.
Saya salut. Machfud tidak malu. Tidak jaim. Ia langsung mau membuka diri. Jumat siang lalu.
MA pun melakukan konferensi pers. Secara daring. Dari rumahnya. Didampingi istrinya. Para wartawan mengikuti konferensi pers itu dari kantor atau rumah masing-masing. Link itu dibuka secara live untuk siapa saja. Saya diminta mengikutinya –meski saya dalam perjalanan mobil.
Dari mobil itu saya pun minta Pak MA –singakatan namanya– berdiri dan berjingkrak. Yakni ketika ada wartawan yang bertanya apakah MA sehat.
Di acara itu MA tidak hanya membuka diri tapi juga mendoakan pasangan Ery Cahyadi–Armuji untuk tetap sehat. Agar bisa bersaing di Pilkada secara afiat. “Biarlah rakyat yang menentukan,” ujar MA.
Ternyata MA memang positif Covid-19. Pernah. Asal usulnya pun jelas. Suatu hari salah seorang terdekatnya, Mahmud, melapor: istri Mahmud positif Covid-19. Padahal Machfud setiap hari bersama Mahmud.
“Kita semua harus tes,” ujar MA. Maka seluruh lingkungan MA dites. Mahmud sendiri juga positif. Sedang MA nonreaktif.
MA pun bertanya kepada dokternya: apakah masih perlu swab test. “Dokter bilang tidak perlu. Kan nonreaktif,” ujar MA, menirukan ucapan dokter. Apalagi, secara fisik, tidak ada tanda-tanda yang biasa muncul di penderita Covid-19.
Ia tidak batuk. Tidak sesak. Hanya suaranya parau –tapi itu sudah sejak beberapa hari sebelumnya. Akibat sehari bisa sembilan kali pidato.
Suhu badan MA juga normal: 36 derajat. Dan ketika dilakukan oksitest tingkat penyerapan oksigennya bagus: 98.
Sama sekali tidak ada simptom di tubuhnya. Tapi MA mau lebih waspada. Ia orang berpendidikan dan berpangkat: inspektur jendral polisi purnawirawan. Ia tahu apa yang harus dilakukan. Maka tanpa sepengetahuan si dokter, MA melakukan swab test sendiri.
Hasilnya: positif. Ia merasa aneh. Kok tidak ada rasa apa-apa.
MA pun melakukan apa yang harus dilakulan: karantina mandiri. Ia menempati lantai atas rumahnya. Sendirian. Istrinya, yang wong kito Palembang itu, di lantai bawah. Sang istri juga sudah swab test: negatif. Demikian juga seisi rumah: mulai pembantu sampai sopir. Sekitar 20 orang. Semua diswab: dua orang yang positif. Tapi, keduanya, kini sudah sembuh.
Selama karantina itu MA olahraga sendiri di lantai atas. Treadmill. Ada treadmill di atas. Juga berjemur sendiri.
Makanan dikirim dari bawah. Lebih banyak buah dan sayur. Obat-obatan tersedia di lantai atas: mulai empon-empon sampai berbagai vitamin.
Selama 13 hari karantina itu suhu badan tetap normal. Kemampuan menyerap oksigen tetap 98. Dan tetap tidak ada batuk maupun sesak nafas. Bahkan kerongkongannya ikut normal –lebih karena puasa bicara berhari-hari.
Selesai karantina itu, MA swab lagi. Dilakukan di salah satu rumah sakit swasta terbesar di Surabaya. Hasilnya negatif. Itu tepat sehari sebelum pendaftaran calon wali kota. Maka, keesokan harinya, hari Minggu, batas akhir pendaftaran, MA merasa aman untuk datang langsung ke KPU –dengan protokol kesehatan.
Kenapa MA positif tapi tanpa pertanda apa-apa?
Sebagai laki-laki (1 poin), di atas 60 tahun (1 poin), berhubungan dengan penderita Covid-19 (5 poin), MA tergolong tahan bantingan. Padahal, setidaknya, ia sudah mengumpulkan 7 poin untuk berisiko besar.
Tapi ia positif tanpa simptom.
Mungkin karena ia tidak punya sakit jantung (5 poin), diabetes (5 poin), darah tinggi (5 poin), radang paru (5 poin).
Kalau saja ia punya salah satu dari empat penyakit itu, pengumpulan poinnya sudah 12. Kemungkinan besar tertular dengan level berat. Apalagi kalau punya tambahan 2 di antara empat itu: bisa tertular berat sekali.
Teori nilai poin itu saya ambil dari doktrin Prof Dr Budi Warsono. Yang meninggal dunia karena Covid-19 pekan lalu (Disway 7 September 2020: Prof Elvis Warsono).
Beberapa hari sebelum tertular itu, Prof Budi masih ceramah. Lewat Zoom. Di depan teman seangkatannya di SMAN 1 Blitar. Temanya: bagaimana menghadapi Covid-19 dengan cara Golden Way.
Prof Budi adalah ahli penyakit dalam dari Unair. Sudah 20 tahun menyandang guru besar. Ia selalu menyarankan agar kita itu bisa berhitung. Agar bisa menentukan tingkat kewaspadaan.
Ia menganjurkan agar semua orang ingat McD: masker, cuci tangan, distancing. Atau ada juga istilah JajaCutaPama (Jaga Jarak, Cuci tangan, Pakai masker).
Selain itu, Prof Budi juga diminta kita semua agar hidup dalam 3E: exercise, eat well, dan enjoy life. Olahraga, makan bervitamin, dan banyak gembira.
Khusus untuk poin enjoy life itu, Prof Budi memasang foto Elvis Presley di slide-nya. Maksudnya: banyaklah menyanyi. Dan lagunya harus Elvis Presley –ia penggemar beratnya.
Lihatlah penampilannya saat ceramah itu: rambutnya, kausnya, bentuk lengan atasnya, dan terutama –ehm– godeknya itu. Ia seperti tidak mau berumur 74 tahun.
Perhatikan juga saat Prof Budi menjawab pertanyaan mengenai dokter yang tidak mau praktik –takut Covid-19. “Pada dasarnya dokter itu sudah melanggar sumpahnya,” ujar Prof. Budi.
“Saya sendiri,” katanya, “Masih terus praktik. Pasien saya tiap hari 20 sampai 30 orang. Covid semua. Sembuh semua.”
Ia menerapkan Golden Way pada setiap pasien. Ia melihat dulu apakah pasiennya batuk, panas dan sesak nafas. Kalau pasiennya seperti itu ia lakukan oksitest. “Alat ini kan murah. Juga sederhana. Tinggal menjepitkannya ke ujung jari,” katanya. Ia pun memperagakannya di Zoom itu. Mudah sekali.
Melihat sederhananya alat oksitest itu saya langsung telepon anak wedok saya: Isna Iskan. Agar dia segera membeli alat itu. Sekadar untuk jaga-jaga. “He he… telat. Sudah beli,” katanyi. “Dua hari lagi tiba.”
Terima kasih Prof.
Prof Budi tidak gampang minta pasiennya untuk melakukan swab test. Itu akan memakan waktu. Padahal pasien harus segera diobati.
Maka ia pilih melakukan oksitest. “Kalau angka di oksitest di atas 94 berarti belum tentu terkena Covid,” katanya.
Pun bila angka itu di bawah 94, Prof Budi masih akan melakukan satu tahap lanjutan. Juga bukan swab test. Tapi cukup dengan foto paru-paru. Dari foto paru-paru itu –ditambah hasil oksitest dan batuk-panas-sesak– dokter sudah bisa mengambil kesimpulan: Covid-19. Lalu bisa segera ambil tindakan: memberi obat. Prof Budi lantas menunjukkan foto paru penderita Covid di layar Zoom.
Prof Budi membocorkan juga apa saja obat yang diberikan ke pasien Covid-19. Nama obatnya. Dosisnya. Berapa kali seharinya.
“Kalau harus swab test dulu pasien kehilangan golden time. Swab test itu bukan untuk menentukan jenis pengobatan. Dengan Golden Way itu tanpa swab dokter sudah bisa bertindak,” katanya.
Saya setuju dengan prinsip-prinsip itu –meski saya tidak punya hak untuk bicara setuju atau tidak. Sayangnya Prof Budi tidak bisa menggunakan Golden Way untuk dirinya sendiri. Ia meninggal dunia.
Ia laki-laki (1 poin), di atas 60 tahun (1 poin), bersentuhan dengan penderita Covid tiap hari 20 orang (5 poin x 20), pernah punya asma (5 poin).
Hitung sendiri, berapa poin yang dikumpulkan Prof. Budi.
Pun, istri Prof Budi masih di ICU RS Darmo. Sampai tadi malam. Masih kritis. Tapi, kita doakan, beliau terus mampu bertahan. Dia masuk ICU hampir bersamaan dengan sang suami.
Sang istri, wanita (nol poin), di atas 60 tahun (1 poin), pernah bersentuhan dengan penderita- suami (5 poin), memiliki sakit gula (5 poin).
Poin beliau memang sangat tinggi, tapi manusia tidak boleh hilang harapan.
Maka MA beruntung sekali tanpa simptom sama sekali. Ia bersyukur tiap hari berolahraga: pingpong. Satu jam. Di rumahnya. Lawannya pelatihnya.
MA mengaku berhenti golf sejak menjabat kapolda. Tidak ada waktu lagi. “Kalau pingpong kan bisa di rumah,” katanya.
Dan lagi pingpong adalah olahraga lamanya. Waktu kecil ia selalu pingpong lawan bapaknya. Di asrama polisi Ketintang Surabaya.
Machfud bermain tenis meja dengan bos Maspion Alim Markus.
Machfud Arifin ketika masih menjabat Kapolda Jatim pernah menggelar kejuaraan nasional tenis meja. Ia menang untuk kategori pejabat. (Foto-foto: Detik.com)
Yang membuat Machfud Arifin senang adalah: waktu tes itu istrinya negatif.
Dan ternyata, opo tumon, calon wakil wali kota yang jadi pasangannya, Mujiaman, juga pernah terkena Covid-19. Juga tanpa simptom sama sekali. Wakil ketua ikatan alumni ITS itu juga sudah negatif.
Kebiasaan mengungkapkan sakitnya pejabat publik sudah biasa di dunia maju. Kini sudah dimulai di sini. Santai saja. Semoga berkelanjutan.
MA juga santai. “Kalau istri saya positif bahaya sekali,” ujarnya berseloroh. Sang istri sudah tahu ke mana arah kata-kata itu. “Masak saya harus punya anak lagi,” guraunyi.(dis)