Catatan Dahlan Iskan

Kaget Dor

×

Kaget Dor

Sebarkan artikel ini
Oleh : Dahlan Iskan

 

AKANKAH Joe Biden mati tertembak? Demikian juga Kamala Harris?

Setidaknya acara deklarasi kemenangan Biden-Harris kemarin malam itu aman. Memang, suami Kamala Harris sempat kaget ketika mendengar suara ”dor” dari jauh. Ia tampak secara refleks memegang bahu istrinya. Ternyata ”dor” itu suara petasan.

Saat itu, presiden terpilih Amerika Serikat tahun 2020, Joe Biden, lagi berada di atas panggung. Disertai istrinya, Prof Dr Jill Biden. Beserta anak-anak dan cucu-cucu.

Kamala Harris juga ada di atas panggung. Bersama suaminyi, Douglas Emhoff. Juga anak-anak mereka.

Mestinya Douglas tidak perlu terkejut atas suara ”dor” itu. Panggung tersebut disekat oleh kaca anti peluru. Kacanya selebar panggung. Sangat bening. Hampir tidak terasa ada kaca pemisah di bagian depan panggung itu.

Memang Joe Biden dipilih oleh 75 juta suara. Lebih banyak dari yang memilih Barack Obama dulu. Bahkan itu suara terbanyak yang pernah diberikan pada seorang calon presiden dalam sejarah Amerika.

Namun, yang memilih Donald Trump juga banyak: 70 juta juga. Lebih banyak dari suara Obama ketika jadi presiden. Pun lebih banyak dari suara yang ia dapat empat tahun lalu.

Berarti betapa banyak hati yang terluka sekarang ini di sana. Sebanyak 70 juta orang kecewa. Pasti cebong dan kampretnya tidak mudah diminta rukun.

Satu-satunya harapan adalah jiwa besar Biden. “Ia itu tokoh yang hatinya besar. Ia tokoh pemersatu, bukan pemecah belah,” ujar Kamala Harris.

Tapi militansi pendukung Trump tidak bisa disamakan dengan cebong atau kampret. Mereka bersenjata. Pun pembelian senjata meningkat drastis di masa kampanye kemarin.

Betapa banyak borok Trump diungkap selama kampanye. Dan sebelumnya. Toh mereka tetap fanatik memilih Trump. Di mata mereka, Trump sudah berubah status: bukan lagi tokoh bisnis atau politik. Ia sudah dianggap setengah dewa. Mereka tidak mau tahu lagi kelakuan Trump itu seperti apa. Mereka itu pejah-gesang sudah nderek Trump.

Trump itu, di mata mereka simbol tugas suci. Sampai-sampai Trump itu dianggap punya kesaktian. Maka mitos dan mistis pun diselimutkan pada Trump. Yakni bahwa Trump itu dilahirkan ke dunia sebagai lambang The Storm. Yang tugasnya sangat gaib: untuk membasmi komplotan misterius yang punya mata di dahi. Itulah kelompok rahasia yang berusaha menguasai dunia sampai Hari Kebangkitan kelak.

Dengan kepercayaan seperti itu mereka tidak rela kalau ada yang menjelekkan Trump. Pihak yang menjelekkan itu  selalu dinilai musuh nyata The Storm.

Bagi mereka fakta tidak penting. Kebenaran realitas pun kalah dengan kebenaran keyakinan.

Pokoknya mereka yakin Trump itu utusan Tuhan sebagai lambang The Storm. Yang tugasnya membasmi komplotan rahasia bermata tiga. Hanya Trump-lah yang akan mampu memberantas dijajal bermata tiga berikut komplotan rahasianya.

Mereka yang berpegang pada ”kebenaran keyakinan” seperti itu bisa melakukan apa saja. Termasuk mewujudkan perang suci. Salah satu Facebook mereka sudah ada yang mengindikasikan perlunya ada perang sipil lagi.

Itu bisa seperti ketika bangsa Spanyol membasmi suku asli di Amerika Latin. Lebih dari 500 tahun lalu. Pasukan pembasmi itu datang dari Spanyol. Dengan senjata yang belum pernah dikenal di Amerika Latin: senjata api. Yang bisa membunuh orang dari jarak jauh.

Para penyandang senjata itu membawa misi suci: menyelamatkan penduduk asli dari dosa kafir. Dengan dibunuh itu mereka pun diyakini bisa masuk surga.

Di mata penduduk asli mereka melakukan pembunuhan besar-besaran. Di mata pembunuh mereka melakukan penyelamatan besar-besaran.

FBI sendiri sudah mulai mengidentifikasi kelompok ekstrem pendukung Trump ini. FBI sudah menyatakan mereka itu berpotensi menjadi teroris lokal.

Dan lagi FBI sudah berpengalaman bagaimana John F. Kennedy tewas ditembak di dekat simpang tiga di Dallas, kota terbesar di  Texas. Pengamanan pada seorang presiden kini sudah lebih canggih. Biden akan aman di tangan Paspampres zaman modern ini.

Kecuali nasib berkata lain.

Rasanya situasi yang diwarisi Joe Biden sekarang ini tidak mirip dengan zaman Kennedy. Kekalahan Trump sekarang ini lebih mirip dengan zaman terbunuhnya Presiden Abraham Lincoln.

Waktu itu, 1861, sebanyak 13 negara bagian di selatan minta memisahkan diri dari Amerika Serikat. Mereka membentuk negara sendiri: Konfederasi Amerika. Pun punya bendera sendiri.

Setelah perang empat tahun, 1865, mereka menyerah. Mereka kalah dalam perang sipil melawan negara-negara bagian di utara itu.

Panglima perang mereka, Jenderal Robert E Lee menyerahkan diri.

Ketika mengunjungi tempat penyerahan diri Jenderal Lee itu –di Appomattox Court House di pelosok Virginia– saya bisa merasakan pahitnya kekalahan ”Selatan” ini. Yang begitu ironi dibanding saat memulai perang.

Kekalahan itu begitu pahitnya. Di tengah masyarakat Selatan tetap hidup keinginan seharusnya Jenderal Lee jangan menyerah. Ideologi konfederasi itu tetap hidup. Sampai sekarang. Bendera mereka pun masih banyak berkibar di pinggir-pinggir jalan di Selatan. Sesekali saya lihat ukurannya besar sekali. Dan dipasangnya di tiang yang tinggi sekali.

Tidak lama setelah Jenderal Lee menyerah, seseorang dari kelompok ini menyelinap ke dalam gedung teater. Di pinggangnya tersembunyi pistol.

Presiden Lincoln malam itu akan nonton teater. Di situlah Abraham Lincoln ditembak.

Lincoln-lah pemersatu Amerika ­–lewat senjata dan perang sipil. Ia sendiri mempertaruhkan nyawanya untuk persatuan itu.

Kini kekalahan Trump itu juga begitu pahitnya. Apalagi Trump sendiri suka menuangkan bensin ke dalam emosi yang kalah.

Daerah-daerah yang masih suka memasang bendera konfederasi itulah yang kini  Trump menang mutlak –dan kini kembali merasakan kepahitan yang dalam.

Siapa pun Capres dari Partai Republik pasti menang di daerah-daerah itu.

Kali ini mereka kembali  dikalahkan oleh negara-negara bagian di utara yang umumnya memilih Biden. Atau capres siapa pun dari Partai Demokrat.

Maka secara umum, Trump menang di negara bagian yang dulunya ingin memisahkan dari dari Amerika Serikat. Yang kala itu diperangi habis-habisan oleh Presiden Abraham Lincoln.

Berarti, sampai hari ini, belum ada tokoh yang benar-benar jadi pemersatu Amerika. Tiap empat tahun luka lama itu masih berdarah kembali.

Bidenkah yang dipilih Tuhan untuk mempersatukan Amerika itu? (dis)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *