Catatan Dahlan Iskan

Menara Gereja

×

Menara Gereja

Sebarkan artikel ini
Kebaktian pakai toa di sulawesi utara (Foto : disway.id-01)
Oleh : Dahlan Iskan

Saya terpaksa minta bantuan Nixen Veidy Temo, 37 tahun. Ia wartawan koran Posko Manado yang tugasnya di Tomohon.

Saya sudah tidak bisa minta bantuan ke siapa lagi.

Peristiwa itu terlalu menarik bagi saya. Tidak boleh dilewatkan. Untuk pertama kali ada kebaktian hari minggu dilaksanakan di rumah masing-masing dengan panduan dari toa di gereja.

Yang dimaksud ‘toa’ adalah pengeras suara. Begitulah orang di Manado berbahasa.

Sejak waspada virus corona tidak ada lagi kebaktian bersama di gereja.

Tapi mereka menemukan jalan itu: pendeta tetap memimpin kebaktian dari gereja lewat toa. Ada yang berdiri di teras. Sambil menghadap ke gereja di kejauhan. Ada juga yang di dalam rumah saja. Toh suara toa itu cukup keras.

Saya tidak berhasil menelusuri siapa pemilik ide itu. Saya sudah menghubungi empat pendeta. Lewat telepon dari Surabaya.

“Saya tahu itu. Tapi rumah saya jauh dari gereja,” ujar seorang pendeta. “Saya tidak tahu pelaksanaannya seperti apa,” tambahnya.
Saya hubungi pendeta lain. “Oh, itu gereja GMIM (Gereja Masehi Injili di Minahasa). Saya dari Pantekosta,” ujarnya.

Saya telepon pendeta lain lagi. “Saya bukan pendeta. Saya dokter,” ujar orang ketiga yang saya hubungi itu. Ia adalah dr Richard Sengkey. Menurut teman saya ia pendeta. Ternyata bukan.

Dari tiga kali salah langkah itu saya tahu: pemilik ide tersebut adalah Pendeta Dr Hein Arina.

Ia adalah Ketua Sinode GMIM. Mayoritas gereja di Sulawesi Utara memang anggota GMIM.

Saya pun mencari nomor telepon Dr Hein Arina. Lewat banyak cara. Akhirnya dapat. Saya pun kirim WA ke beliau.

Rupanya beliau sangat sibuk. Atau tidak ingin menonjol. Saya gagal mendapat jawaban.

Dari salah langkah itu saya jadi tahu: yang banyak melakukan kebaktian toa itu di Minahasa, Tomohon, dan Tondano. Bukan di kota Manado.

Maka saya cari tahu lagi. Siapa wartawan yang tinggal di Tomohon. Mungkin saya bisa minta tolong kepadanya.

Salah lagi.

Ia memang wartawan di Tomohon tapi rumahnya di Manado. Tiap hari pulang ke Manado. Ketika saya hubungi ia sudah di Manado. Tidak sampai hati minta tolong untuk balik ke Tomohon. Saya sudah bukan bosnya lagi.

Akhirnya saya tersambung ke Nixen tadi. Yang saya sangka ia tinggal di Tomohon –kota pegunungan di antara Manado dan Tondano.

Saya pun kirim WA kepadanya:

Apakah Anda tinggal di salah satu kampung yang kebaktiannya pakai toa itu. Atau dekat dg kampung itu?

Nixen:  Izin pak, saya tinggal di Tondano, tapi pos liputan saya  di Tomohon dan Minahasa.

Saat ini sudah pulang ke Tondano atau masih di Tomohon?

Nixen: Sudah balik ke Tondano pak.

Apakah Anda tahu salah satu kampung yang kebaktiannya lewat toa?

Nixen: Sekarang masuk ke Tomohon harus memakai surat keterangan dari Puskesmas atau Rumah Sakit.

Kapan terakhir ke Tomohon?

Nixen: Kemarin saya ke Tomohon dan siang tadi

Pakai surat seperti itu?

Nixen: Untuk surat itu baru berlaku hari ini. Saya hanya menunjukan KTP.

KTP Anda Tomohon?

Nixen: Minahasa, pak

Jadi boleh ke Tomohon tanpa surat puskesmas?

Nixen: Tadi saya masih bisa ditoleransi oleh petugas.

Oh… Yang periksa KTP di perbatasan? Polisi atau satpol?

Nixen: Dari tim Gugus, yang di dalamnya Dinas Kesehatan dan Satpol PP, serta pemerintah kecamatan.

Di KTP Anda ada keterangan pekerjaan wartawan? Jadi boleh…

Nixen: KTP saya tidak ada keterangan wartawan, hanya pekerjaan swasta.

Adakah Anda lihat ada orang yang ditolak masuk Tomohon sehingga mereka balik ke Tondano?

Nixen: Tidak ada pak. Karena aktivitas warga melintasi Tomohon sudah kurang.

Untuk besok ke Tomohon Anda sudah minta surat ke Puskesmas? Untuk sekali pakai atau sebulan?

Nixen: Hari ini pak saya mau minta di Puskesmas. Dan itu untuk sebulan.

Apakah di Tondano juga ada kampung yang kebaktiannya seperti di Tomohon?

Nixen: Ada pak.

Jauh dari rumah Anda?

Nixen: Kebetulan dekat pak.

Anda sendiri hari Minggu kemarin kebaktian di mana?

Nixen: Di rumah pak, sejak ada imbauan dari pemerintah.

Pakai bimbingan dari Toa?

Nixen: Pakai liturgi atau tata ibadah yang disebarkan ke jemaat.

Apakah gereja di dekat rumah anda melaksanakan kebaktian lewat Toa?

Nixen: Semua pak. Sesuai imbauan dari denominasi gereja.

Lho kenapa Anda tidak ikut kebaktian lewat Toa dari rumah Anda?

Nixen: Ikut pak. Selain mengikuti ibadah di Toa, kami juga punya panduan dari Liturgi pak.

Oh. Jadi di kampung Anda sendiri orang-orang juga ikut kebaktian lewat Toa?

Nixen: Betul Pak.

Anda jemaat dari gereja GMIM?

Nixen: Iya Pak, di Jemaat GMIM Eben Haezer Ranomuut, Kecamatan Eris.

Menurut pengamatan Nixen, mana yang lebih banyak kebaktian pakai Toa itu: Tomohon, Minahasa, Tondano, atau Manado?

Nixen: Paling banyak di Minahasa pak.

Nixen, saya ada repot sedikit, 15 menit lagi kita online lagi ya. Maafkan menyita waktu Anda.

Nixen: baik pak.

Saya tidak memberitahu Nixen bahwa di Surabaya sudah terdengar azan maghrib. Habis itu saya hubungi lagi Nixen.

Nixen, kita pernah baku muka?

Nixen: belum pernah pak.

Pernah baku dapa?

Nixen: juga belum pak.

Maafkan ya, kita belum pernah ketemu tapi saya sudah minta tolong ke Anda. Saya mau nulis untuk disway. Anda pernah akses ke disway.id?

Nixen: Belum pernah pak.

Anda pernah membaca tulisan saya?

Nixen: Pernah pak, selalu. Ada di halaman depan pak. Khususnya di harian Posko Manado dan harian Manado Post.

Anda dulu wartawan media online lalu pindah ke koran. Asyik mana?

Nixen: Asyik jadi wartawan koran pak.

Boleh tahukah di mana asyiknya jadi wartawan koran?

Nixen: Selain brand, jadi wartawan koran lebih menantang.

Istri saya memanggil. Ia tetap di musala belakang seusai salat magrib. Tadi saya janjian untuk membaca Yasin (Satu surah dalam Alquran) setelah salat magrib berjamaah. “Tunggu sebentar,” kata saya.

Saya pun meneruskan WA ke Nixen. Ia kelahiran salah satu desa di Bolaang Mongondow.

Istri Anda kerja atau di rumah?

Nixen: Guru honorer di TK.

Salam untuk istri. Semoga Tuhan memberkati. Kalau ayah kerja apa?

Nixen: Petani pak.

Di Bolaang Mongondow? Petani kelapa?

Nixen: Iya pak, kelapa.

Punya pohon kelapa berapa ribu?

Nixen: Cuma kerja orang punya pak.

Baik. Jarak rumah Anda dengan gereja yang pakai Toa itu berapa meter kira-kira?

Nixen: Sekitar 300 meter pak.

Anda bisa mendengar jelas suara Toa yang Anda ikuti itu?

Nixen: Iya pak, sangat jelas.

Waktu itu Anda di dalam rumah atau di teras/depan rumah?

Nixen: di dalam rumah pak.

Dari rumah Anda, Anda bisa melihat gereja?

Nixen: hanya melihat menara gereja pak.

Waktu kebaktian itu di dalam rumah Anda ada berapa orang? Siapa saja?

Nixen: Saya, istri, dan tiga anak saya.

Anda siap kebaktian jam berapa? Lalu toanya mulai berbunyi jam berapa?

Nixen: Kebaktian jam 09.30 Wita beriringan dengan Toa.

Anda sekeluarga duduk di kursi tamu atau di mana?

Nixen: di kursi tamu dengan menjaga jarak.

Anda, di rumah, punya berapa Bible?

Nixen: Empat pak.

Hehe, jadi, kurang satu ya?

Nixen: Anak saya yang satu masih 3 tahun pak.

Maafkan. Menurut perkiraan Anda berapa rumah di sekitar gereja itu yang kebaktian di rumah lewat Toa?

Nixen: mungkin perkiraan saya sekitar 70 rumah pak.

Anda pakai jas, dasi, sepatu? Atau pakaian apa?

Nixen: Hanya pakaian rumah pak, dan pakai sendal.

Kampung di situ berbukit atau datar? Berapa jauh dari Danau Tondano?

Nixen: Datar pak, rumah saya hanya di pesisir Danau. Dan diperkirakan hanya 400 meter menuju Danau.

Hari Minggu depan kebaktian di rumah lagi?

Nixen: Iya pak.

Nixen, terima kasih ya. Cukup. Apakah Anda punya foto waktu kebaktian di rumah?

Nixen: Mohon maaf pak, tidak sempat foto karena semua fokus ibadah.

Istri saya sudah memanggil untuk kali kedua. Pada malam nisfu syaban seperti tadi malam kami punya kebiasaan: yasinan. Kali ini hanya saya, istri, Sahidin, dan Pak Man.

Di kampung istri saya, Samarinda, malam nisfu sa’ban itu meriah sekali. Dulu. Pertanda 15 hari lagi mulai puasa Ramadhan.

Sepanjang pinggir jalan menyala-nyala obor berderet. Bukan obor biasa. Itulah obor dari kayu damar. Yang ditancapkan di sepanjang pinggir jalan. Setinggi satu meter.

Nyala obor itu menghidupkan suasana kota –karena listrik masih langka saat itu.

Kini tidak ada lagi kayu damar. Hutan sudah dibabat habis. Yang ada tinggal virus Corona.(dahlan iskan)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *