Catatan Dahlan Iskan

Utang Besar

×

Utang Besar

Sebarkan artikel ini
Oleh : Dahlan Iskan

 

Kalau diterjemahkan, nama perusahaan ini berarti ‘sejahtera’. Di Singapura ia didaftarkan dengan nama Hin Leong Trading Ltd –bahasa daerah Hokkian, tempat lahir pendiri perusahaan itu: Lim Oon Kuin.

Lim punya nama panggilan yang enak diucapkan: OK Lim. Ia orang terkaya Singapura nomor 12. Bos besar. Bisnisnya perdagangan minyak: minyak mentah, BBM sampai oli.

Hin Leong telah terbukti membawa sejahtera keluarga itu. Juga menyejahterakan dua anaknya –laki-laki dan perempuan. Mungkin juga telah menyejahterakan banyak mantan pejabat: di Indonesia, Malaysia sampai ke Tiongkok.

Tahun lalu Hin Leong meraih laba sampai Rp 1,5 triliun. Luar biasa besar. Itulah angka yang disampaikan ke bank-bank yang memberinya kredit. Berdasar hasil audit salah satu kantor akuntan terbaik di dunia: Deloitte & Touche.

Ternyata perusahaan itu sebenarnya rugi. Sangat besar. Tapi kerugian itu berhasil disembunyikan. Bank-bank internasional terus mempercayainya. Sampai mau menggelontorkan pinjaman jumbo. Mencapai 4 miliar dolar –setara dengan Rp 60 triliun.

Pinjaman terbesar diberikan oleh HSBC: USD 600 juta.

Jaminan utangnya jelas. Dan gampang dicairkan menjadi uang: stok minyak yang sudah ditaruh di kapal-kapal tanker atau di tanki-tanki raksasa. Jenis jaminan seperti itu lebih menggiurkan bank daripada jaminan seperti properti –yang sulit menjualnya.

Bank pun senang saja terus memberinya kredit. OK Lim sangat terpercaya. Sudah puluhan tahu di bidang bisnis yang sama. Sejak amat kecil. Ketika awalnya hanya jualan bahan bakar di perahu kecil. Untuk para nelayan di laut. Itu tahun 1963. Sampai menjadi raksasa seperti sekarang. Dengan memiliki lebih 100 kapal tanker raksasa.

Sampailah dua bulan lalu. Ketika perusahaan itu tidak bisa membayar cicilan utangnya.

Awal April, bank-bank itu pun mulai melayangkan surat tagihan. Tidak juga dibayar. Melayangkan lagi peringatan. Tidak juga mempan.

Lebih 10 bank besar yang melayangkan surat-surat serupa. Betapa bertubi-tubinya surat ancaman.

Akhirnya OK Lim mengaku: tidak punya cukup uang lagi. Alasannya: Covid-19. Penjualan minyak menurun drastis. Harga minyak juga turun.

Awalnya OK Lim masih optimistis: Covid-19 hanya menyerang Tiongkok. Yang sebentar waktu akan berlalu.

Itulah sebabnya OK Lim masih berani menyembunyikan kerugian. Dengan harapan situasi segera berubah.

Ternyata Covid-19 justru meluas ke mana-mana. Termasuk ke Singapura sendiri. Juga ke pasar-pasarnya yang lain: Malaysia dan Indonesia.

Itu pun masih bukan satu-satunya pukulan. Di bulan Maret justru lebih parah: Arab Saudi bertengkar dengan Rusia. OK Lim lagi yang terkena. Harga minyak dunia dijatuhkan oleh Pangeran Mohamad bin Salman. Tinggal 30 dolar/barel. Padahal OK Lim membelinya dengan harga di atas 50 dolar/barel.

Mulailah OK Lim tidak bisa menyembunyikan kesulitan. Tidak mampu membayar utang. Bahwa laba yang dilaporkan itu diakuinya fiktif. Yang sebenarnya terjadi adalah: rugi USD 800 juta.

Kalau saja OK Lim tidak menyembunyikan kerugian itu urusannya hanya dengan bank. Tapi penyembunyian kerugian itu bisa membuatnya lebih repot: masuk ranah kriminal. OK Lim kini lagi menghadapi pengusutan kriminal itu. Ia tidak lari.

“Semua itu, saya yang bertanggung jawab,” ujar OK Lim kepada media di Singapura. “Bagian keuangan memang saya suruh untuk melakukan itu,” katanya. Ketika bagian keuangan mengingatkan risikonya, OK Lim mengatakan ia sendiri yang akan menanggung risiko itu.

Jelaslah OK Lim akan –yang umurnya diperkirakan 75 tahun– menanggung apa pun akibat perbuatan itu. Ia juga harus menyelamatkan dua anaknya. Yang dua-duanya menjadi direktur di situ. Juga menjadi pemegang saham.

Tiga orang bapak-anak itulah pengendali Hin Leong. Tiga orang itu pula pemegang sahamnya –dengan porsi sang bapak 75 persen.

Hin Leong –agak mengejutkan– adalah perusahaan swasta tertutup. Belum pernah go public. Sangat langka ada perusahaan besar Singapura yang tidak melepas saham di bursa.

Dengan status non-public Hin Leong memang lebih bebas mengatur keuangan dan manajemennya.

Tapi Covid-19 dan Pangeran Muhamad bin Salman mengobrak-abrik kerahasiaan perusahaan itu.

Dengan gagal bayar bank-bank pun memasuki jantung perusahaan itu. Bahkan juga otoritas keuangan dan aparat penegak hukum.

OK Lim akhirnya angkat tangan. Ia menjatuhkan pedangnya: menyerah. Ia mengajukan permintaan ke pengadilan untuk dibankrutkan.

Terhitung sejak hari Jumat seminggu yang lalu: 17 April 2020.

Dengan mengirim surat ke pengadilan itu OK Lim tidak perlu lagi tertekan menghadapi pihak-pihak yang berebut menjarah asetnya.

Semua bank sudah ingin lebih dulu menyelamatkan kreditnya. Dengan menekan sang pemilik.

Kini pengadilan-lah yang menjadi ‘pemilik’ perusahaan itu. Pengadilan akan mengangkat manajemen baru yang independen. Biasanya dari kantor akuntan besar –yang lagi tidak mengaudit perusahaan itu. Pasti Deloitte & Touche tidak punya peluang untuk memegang manajemen Hin Leong.

Tugas manajemen itu tidak berat. Hanya saja harus fair. Tugasnya hanya menyelamatkan aset perusahaan. Jangan sampai ada aset yang disembunyikan.

Tapi sudah terlalu banyak aset yang pindah tangan: dijual atau pura-pura dijual. Tergantung manajemen baru itu untuk menyelamatkannya. Kalau bisa.

Aset perusahaan itu ternyata tinggal USD 700 juta. Padahal utangnya USD 3,3 miliar.

Kalau aset itu bisa dijadikan uang maka bank-bank pemberi utang hanya dapat sedikit pengembalian. Tiap utang USD 1 dolar, hanya kembali 18 cent.

Bank mengalami kerugian yang amat besar. Terutama HSBC. Satu bank ini saja bisa rugi Rp 15 triliun.

Selama ini orang lebih banyak membayangkan betapa enaknya bank. Dalam kasus seperti ini betapa pusingnya.

Singapura heboh tidak habis-habisnya. Sebagai negara yang mengandalkan kepercayaan bisnis, kasus Hin Leong sangat mencederai reputasi. Itulah kasus gagal bayar terbesar dalam sejarah Singapura.

Tapi utang gagal Rp 70 triliun seperti itu bukan yang pertama. Bahkan tidak seberapa. Dibanding yang terjadi di Indonesia. Satu perusahaan saja, milik Eka Tjipta Widjaya, gagal bayar utang sekitar Rp 120 triliun.

Itu terjadi tahun 1998. Saat terjadi krisis moneter. Yang berbuntut jatuhnya Presiden Soeharto yang legendaris.

Tapi akhirnya utang itu selesai juga. Tanpa harus ada satu orang pun yang masuk penjara.

Itu karena tidak ada kejahatan yang disembunyikan. Semua akibat krisis moneter.

Bahkan perusahaan milik Eka Tjipta Widjaya, Sinar Mas group, kini justru menjadi konglomerat terbesar di Indonesia. Hanya dalam waktu kurang dari 20 tahun.

Bank-bank telah merestrukturisasi utang yang besarnya tidak terbayangkan itu. Bank yang jadi krediturnya pun lebih dari 50 bank.

Untuk rapat melakukan pembicaraan bagaimana menagih utang pun sudah sulit.

Sampai-sampai beredar lelucon saat itu: kalau mau utang sekalian yang besar sekali. Juga ke bank yang banyak sekali.

OK Lim kelihatannya tidak akan bisa bangkit lagi seperti Eka Tjipta Widjaya. Ia punya kelemahan berat soal menyembunyikan kerugian tadi.

Tapi bank juga tidak mau uangnya hilang. Memenjarakan orang tidak bisa membuat uang kembali.

Betapa serunya perundingan di antara 10 bank itu –mencari cara penyelamatan terbaik.

Nama Hin Leong (兴隆=Xing Long, dalam bahasa Mandarin) artinya masih tetap ‘sejahtera’. Bisa jadi bangkrut hanyalah peristiwa administrasi. Tetap saja sejahtera tidak pergi dari pendirinya.(Dahlan Iskan)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *