ADA istilah biaya politik (cost politic) dan politik uang (money politic). Tidak hanya masyarakat awam, kaum cendekia pun masih dibingungkan dengan dua istilah ini. Bukan pada tataran definisi, tapi dalam implementasi di lapangan.
Seperti dua sisi uang logam. Sangat tipis dan sulit dibedakan. Apalagi tujuan politik saat ini lebih mengarah pada perebutan kekuasaan. Segala cara akan dilakukan untuk menggapai tujuan politik itu. Termasuk dalam momentum Pemilu serentak saat ini.
Sebagaimana Harian Halmahera pada edisi Rabu (27/3) menurunkan berita, ‘Kursi Legislatif Mahal’. Penilaian redaksi memilih berita tersebut, memang sangat tepat dalam hajatan lima tahunan. Apalagi saat ini dilakukan serentak.
Lihat saja hitung-hitungan minimal yang diungkap para pengamat dan peneliti politik. Untuk lokal saja, butuh Rp 50 sampai Rp 200 juta. Makin luas wilayah politik, makin besar pula angkanya.
Kegiatan politik memang membutuhkan uang. Namun, ambisi memenangkan perebutan kursi itulah yang membuat biaya politik berubah menjadi politik uang. Segala cara dilakukan agar bisa meraih kursi.
Apalagi saat ini, banyak politisi-politisi instan. Tanpa melalui proses penjenjangan, langsung ingin menjadi caleg. Hanya berbekal koneksi politik dan memiliki modal uang yang banyak. Tak heran, banyak politisi yang tertangkap korupsi.
Kemudian, jika dilihat lebih detil lagi, kok kenapa anggota legislatif yang tidak memiliki prestasi masih bisa duduk lagi, dan duduk lagi dalam kelembagaan legislatif. Hal ini tentunya menjadi indikasi, prestasi legislatif bukan menjadi daya tarik kuat.
Namun, bukan berarti politik tanpa uang tidak bisa terjadi. Bisa, tapi butuh waktu yang panjang dan sangat sulit. Karena banyak faktor yang mempengaruhi. Faktor internal adalah partai dan faktor eksternal adalah pemilih itu sendiri.
Kedua faktor ini sudah sangat kompleks. Sudah ada ketergantungan yang ujung-ujungnya dilematis. Tidak bisa menyalahkan partai, tidak bisa juga menyalahkan pemilih.(*)