HARIANHALMAHERA.COM– Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2019 mulai dibuka, kemarin. Kali ini sistemnya berbeda, sudah menggunakan sistem zonasi. Kebingungan dan antrean panjang pun tampak hampir disemua daerah saat penerimaan hari pertama.
Di sisi lain, PPDB masih saja menjadi pro kontra di masyarakat. Bahkan, tidak sedikit orangtua yang memprotes kebijakan tersebut. Hanya saja, pemerintah bersikukuh tetap melanjutkan program zonasi dengan tujuan pemerataan pendidikan.
Menanggapi itu, Ketua Lembaga Perlindungan Anak Generasi (LPAG) Ena Nurjanah menilai, PPDB berbasis zonasi justru mengendurkan semangat belajar siswa. Sistem tersebut juga telah menafikan bahwa sebaran sekolah negeri hingga saat ini tidak merata.
Ena menegaskan, PPDB berbasis zonasi tetap akan menimbulkan masalah bagi siswa dan orang tua meskipun tahun ini regulasinya sudah disempurnakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Ini karena, siswa yang memiliki nilai akademik menonjol terancam tak bisa melanjutkan pendidikan ke sekolah yang bagus akibat berada di luar zona.
“Kondisi ini sesungguhnya benar-benar menghempaskan semangat anak-anak yang sudah belajar keras untuk mendapatkan nilai UN terbaik namun berada dalam zona yang jauh dari sekolah negeri atau bahkan tidak ada sekolah negeri di wilayahnya,” kata Ena di Jakarta, melansir pikiran-rakyat.com.
Menurut dia, kebijakan zonasi secara tidak langsung menguji hak anak untuk mendapatkan pendidikan terbaik seperti gagasan yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945. Negara tidak boleh membiarkan rakyatnya tertinggal karena tidak mendapatkan hak pendidikan.
Ia mengatakan, jika pendidikan menjadi hak setiap rakyat Indonesia, maka pemerintah bertanggung jawab mengimplementasikan gagasan mencerdaskan seluruh bangsa Indonesia tanpa kecuali. Menurut dia, PPDB berbasis zonasi masih menimbulkan protes dari orang tua siswa akibat khawatir anaknya tak mendapatkan pendidikan berkualitas.
“Orang tua dan siswa masih khawatir meskipun Kemendikbud menganggap sistem zonasi sebagai langkah paling penting dalam mencapai berbagai pemerataan dalam dunia pendidikan. Tidak ada pengistimewaan sekolah favorit – tidak favorit,” ujarnya.
Ena menyatakan, terbatasnya jumlah sekolah negeri akan menimbulkan banyak anak yang tidak tertampung. Terutama pada siswa yang rumahnya jauh dari zona sekolah. Meskipun nilai hasil UN mereka sangat memungkinkan untuk mendapatkan sekolah negeri berkualitas.
“Mencari sekolah bagi keluarga dengan keterbatasan ekonomi tidaklah semudah yang dikatakan Kemendikbud, bahwa ketika anak tidak diterima sekolah negeri, mereka tetap bisa bersekolah, masih ada sekolah swasta yang mau menampung. Mencari sekolah swasta butuh persiapan biaya yang tidak sedikit. Pilihan sekolah swasta yang sesuai dengan budget mereka pun sulit ditemui,” katanya.
Senada, peneliti dari Center fo Indonesian Policy Studies (CIPS) Indra Krishnamurti menuturkan, sistem zonasi yang diterapkan di seluruh SD, SMP, SMA negeri di seluruh nusantara masih dibayangi sejumlah masalah. Di antaranya terkait ketidakseimbangan daya tampung sekolah.
Menurut Indra, kekhawatiran beberapa pemangku kepentingan di dunia pendidikan akan ketimpangan supply dan demand sekolah tak akan bisa dihindari pada PPDB tahun ini. “Supply (daya tampung) yang terbatas dan jumlah pendaftar atau demand yang terlampau tinggi. Hal ini mengancam hak murid untuk menerima pendidikan tidak terpenuhi,” kata Indra.(prc/fir)