HARIANHALMAHERA.COM–Penolakan atas Pilkada serentak 2024 yang akan digelar 27 November terus bermunculan. Kali ini penolakan tersebut datang dari Bupati dan wakil bupati (wabup) Halmahera Utara (Halut), Frans Manery-Muchlis Tapi Tapi.
Pasangan kada-wakada dengan akronim FM-Mantap itu mengajukan gugatan uji materi Pasal 201 ayat 7 Undang-Undang (UU) Nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada ke Mehkamah Konstitusi (MK).
Pasal tersebut menyebutkan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil Pemilihan tahun 2020 menjabat sampai dengan tahun 2024.
Keduanya keberatan, sebab adanya pasal tersebut, FM-Mantap yang dilantik pada 9 Juli 2021 lalu hanya memimpin selama 3,5 tahun.
“Bahwa jika mengacu pada ketentuan Pasal 201 ayat 7 UU Nomor 10/2016, maka masa jabatan para pemohon sebagai Bupati dan Wakil Bupati Halmahera Utara hanyalah 3 tahun 5 bulan,” kata keduanya dalam berkas permohonan yang dilansir website MK, Senin (31/1).
Dengan dampak memperpendek masa jabatan, Frans-Muchlis tidak terima karena telah melanggar hak konstitusional keduanya. Yaitu Pasal 28D ayat 1 UUD 1945 di mana warga negara mendapatkan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil.
“Telah mengabaikan hak konstitusional para pemohon sebagaimana diatur dalam pasal 28D ayat 3 UUD 1945 yang menyatakan setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan,” tuturnya.
Dengan digelarnya pilkada serentak pada November 2024, secara faktual dan potensial berdasarkan penalaran yang wajar, itu mereduksi masa jabatan Frans-Muchlis berdasarkan Pasal 162 ayat 2 yang berbunyi:
Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 161 ayat (3) memegang jabatan selama 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan.
“Petitum. Dalam pokok perkara. Menyatakan Pasal 201 ayat 7 UU Pilkada bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat,” pinta Frans-Muchlis.
Terpisah, Perkumpulan Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menyebut ada bagian kerangka hukum dalam Pilkada serentak 2024 yang berpotensi menjadi persoalan. Sebab, UU 16 Tahun 2016 tentang Pilkada tak mengalami perubahan.
Program Manajer Perludem, Fadli Ramadhanil menjelaskan bahwa persoalan ini berkaitan dengan berakhirnya masa jabatan kepala daerah pada 2022-2023. Pemerintah akan menunjuk penjabat (Pj) kepala daerah untuk mengisi kekosongan tersebut hingga terpilihnya kepala daerah definitif hasil pemilihan pada bulan November 2024.
Namun dalam posisi ini, yang menjadi sebuah persoalannya adalah ketentuan Pasal 201 ayat 9 UU Pilkada. Pasal ini mengatur tentang masa jabatan Pj kepala daerah maksimal hanya 2 tahun. Sementara, di 2022 ini saja, akan ada lebih dari 100 kepala daerah yang habis masa jabatannya dan akan diisi oleh Pj kepala daerah.
“Artinya otomatis hampir bisa dipastikan dia akan memegang kursi penjabat kepala daerah itu lebih dari 2 tahun, karena pemilihan kepala daerahnya saja baru di bulan November tahun 2024, belum lagi soal sengketa dan menunggu pelantikan dan lain sebagainya,” kata Fadli dalam paparannya secara daring, Minggu (30/1).
Dia menyebut kerangka hukum yang berpotensi menjadi permasalahan ini ternyata belum menjadi sorotan dari pihak pemerintah maupun DPR sebagai pembuat undang-undang. Fadli menyebut, pihak-pihak ini belum memikirkan bagaimana jika penjabat kepala daerah ini harus melewati batas maksimal masa jabatannya tersebut.
“Misalnya sudah habis 2 tahun lalu setelah itu siapa yang akan mengisi kursi kepala daerah? Karena penjabat sudah tidak boleh lagi karena terbatas hanya boleh dua tahun, sementara kepala daerah yang definitif belum terpilih. Jadi ini satu persoalan,” ujarnya.(dtc/sdc/pur)