HARIANHALMAHERA.COM–Kemarin merupakan tahun kedua Hari Perawat Nasional diperingati di tengah pandemi Covid-19. Ketua Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Harif Fadillah berharap, hari ini merupakan perayaan terakhir di tengah Covid-19.
Dia meminta masyarakat terus mematuhi protokol kesehatan. Cara itu dapat membantu tenaga kesehatan. Tak terkecuali perawat. ’’Laksanakan protokol kesehatan untuk mengurangi transmisi dam persebaran Covid-19,’’ bebernya.
Dia juga meminta pemerintah membuat aturan dan kebijakan yang efektif dalam menangani pandemi ini. ’’Termasuk di sektor penyelenggaraan pelayanan kesehatan,’’ ungkapnya kemarin. Tracing, testing, dan (3T) harus diketatkan.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin sebelumnya mengungkapkan dua skema pemberian insentif bagi nakes. Insentif tersebut berdasar rumah sakit tempat kerja nakes. Jika rumah sakit berada di bawah pemerintah daerah, pembiayaan insentif dilakukan oleh pemda.
Dananya berasal dari Kementerian Keuangan yang langsung ditransfer ke pemda. ’’Kalau rumah sakit di bawah Kemenkes, pembiayaan ada di kami,’’ ungkapnya.
Terpisah, anggota Komisi IX DPR Edy Wuryanto menilai, para perawat sudah bekerja sangat keras dalam melawan pandemi. ”Apresiasi tertinggi untuk kerja perawat se-Indonesia,” ujarnya.
Menurut dia, perawat merupakan nakes yang paling banyak terpapar dan meninggal akibat Covid-19 (lihat grafis). Namun, fakta tersebut berbanding terbalik dengan insentif yang diterima.
Meski Kemenkes telah mengeluarkan surat edaran soal besaran insentif untuk perawat yang menangani Covid-19, nyatanya banyak yang menerima angka di bawah ketentuan. Bahkan, ada yang hanya menerima Rp 200 ribu per bulan. ”Mungkin ada juga yang tidak menerima sama sekali,” ungkapnya.
Karena itu, dia mendorong agar insentif nakes, termasuk perawat, tidak hanya mengandalkan APBN. Tapi, juga APBD. Dengan begitu, insentif untuk nakes bisa lebih layak. ”Kami juga telah mengusulkan adanya kenaikan anggaran insentif untuk nakes dari Rp 5,9 triliun menjadi Rp 14 triliun,” sambungnya.
Selain soal insentif, yang menjadi perhatian pihaknya ialah status 82 ribu perawat honorer. Dia berharap mereka mendapat kejelasan status.
Pengabdian mereka selama pandemi dapat dijadikan catatan untuk pengangkatan sebagai aparatur sipil negara (ASN), baik pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) maupun pegawai negeri sipil (PNS). ”Harapannya, seiring berakhirnya pandemi, mereka bisa diangkat menjadi ASN. Ini harus sejalan dengan pengangkatan PPPK guru,” tegasnya.
Keluh kesah juga disampaikan Aneu Diara, perawat yang bertugas di RSUD di Kabupaten Bogor. Dia mengatakan, bekerja di masa pandemi tentu lebih berat jika dibandingkan dengan masa normal.
Ada risiko besar yang membayangi. Namun, dia menganggap risiko itu adalah bagian dari sumpah jabatan. Semua dijalankan sesuai dengan amanah yang diberikan kepadanya.
Bekerja di ruang instalasi bedah sentral, dia mendapat dua sif. Pukul 08.00–16.00 WIB dan 16.00–08.00. Sif sore sampai pagi diakuinya lumayan menguras tenaga. Sebab, selalu ada sisa operasi dari sif pagi sebelumnya. Belum lagi kalau ada cito operasi Covid-19. Sebab, petugas jaga untuk satu sif cuma lima orang.
Aneu bersyukur, di tengah pekerjaannya yang berisiko tinggi tersebut, dirinya sudah mendapatkan perlindungan maksimal. Selama bekerja, dia disediai APD lengkap dan memadai. (jpc/pur)